Minggu, 15 November 2009

Seleksi Asrama (2000)

Cuaca malam itu benar-benar dingin, untunglah bocah itu telah mengenakan jaket tebal yang dibawakan okaasan untuknya. Badannya kini sudah jauh lebih segar meski rona pucat masih mewarnai wajahnya. Kali ini dia telah memutuskan takkan lagi menunjukkan sisi lemahnya di sekolah. Dia harus jadi Naoto yang ceria dengan segala keisengan dan kekonyolannya.

Begitu turun dari gerbong tadi, para murid baru Ryokubita dipimpin menuju Akademi Ryokubita oleh sepasang kitsune dan dua orang miko dengan api-api biru yang melayang di sekitar mereka. Tiba-tiba saja bocah konyol itu dengan heboh berteriak 'siluman api' sambil menunjuk-nunjuk api-api biru tersebut dengan tatapan super kagum. Bodohnya lagi, bocah itu berusaha menjulurkan tangannya untuk menangkap salah satu api tersebut sampai seseorang menegurnya untuk kembali dalam rombongan yang akan menuju Ryokubita. Memalukan.

“Selamat malam dan selamat datang di Ryokushoku o Obita. Kalian, bibit-bibit penyihir terpilih dengan kemampuan dan bakat istimewa, sudah sepantasnya mensyukuri langkah tepat yang telah kalian pilih untuk menjadi seorang penyihir sejati yang kelak akan mengharumkan nama kaum penyihir di mata negeri. Kalian akan memasuki tahap seleksi selepas ini, untuk menentukan asrama mana yang akan memawa kalian menuju jalan yang terbaik untuk kalian tempuh.”

Tiba-tiba saja seorang wanita cantik memecahkan kesunyian dengan sapaannya. Udara seolah terhenti saat wanita itu berbicara. Terasa sekali otoritas besar yang dimiliki oleh wanita tersebut. Kemudian dia juga mengatakan soal seleksi untuk menentukan asrama dan mengenai jalan terbaik yang akan mereka tempuh. Bocah itu dengan seksama memperhatikan gerak-gerik wanita cantik itu. Kagum karena wanita itu sepertinya jago sulap. Dan saat laron-laron terbang mengerumuni mereka, bocah itu nyaris berteriak lagi. Untung saja dalam sekejap sebuah ruang dimensi menyelubungi mereka dan pecah menjadi koridor panjang dengan sebuah pintu terbuka lebar. Terpampang di balik pintu itu, sebuah ruangan besar yang penuh dengan bantal duduk tiga warna. Beberapa orang sudah ada di dalam. Wow—bocah itu ternganga karena pesona gaib yang baru dialaminya untuk pertama kali. Membayangkan jika kedua adik kembarnya ada bersamanya, apakah reaksi mereka akan sama seperti dirinya?

“Bola kristal di hadapan kalianlah yang akan mengubah warnanya sesuai dengan asrama tempat kalian akan tinggal untuk delapan tahun kedepan. Siswa yang namanya saya panggil, harap maju ke depan dan sentuh bola kristal di hadapan kalian; setelah itu barulah kalian dipersilakan duduk di tempat yang telah dipersiapkan sesuai dengan asrama kalian nanti.”

Bola kristalnya melayang? Pemandangan aneh tersebut mengundang beribu tanya dalam benak sang bocah. Kagum, heran, terpesona dan penasaran. Apakah bola itu melayang sungguhan atau digantung dengan tali yang tak terlihat? Dengan tak sabar, bocah itu menanti gilirannya dipanggil, hendak memeriksa bola kristal tersebut dengan seksama. Well, menunggu memang terasa membosankan. Jemari-jemarinya bergerak gelisah dalam kantong jaketnya saat dia memperhatikan satu-persatu temannya maju ke depan dan menyentuh bola kristal melayang itu. Tak ada satupun dari mereka mencoba memeriksa apakah bola kristal itu sungguh-sungguh melayang atau tidak. Payah.

"Matsushima Naoto"

Oh yeah, akhirnya namanya dipanggil juga. Dengan langkah besar-besar bocah itu maju ke depan dan tanpa banyak basa basi, bocah itu mengayunkan tangannya di atas bola kristal tersebut. Memastikan apakah ada tali yang menahan bola kristal tersebut—tentu saja tidak ada. "Wah." Bocah itu sekarang berjongkok memperhatikan bagian bawah bola kristal, sekali lagi mengayunkan tangannya—tidak ada sesuatu pun yang menahan gerakannya. "Wow." Sekarang bocah itu berjalan mengelilingi bola kristal tersebut, masih penasaran. Tapi, tetap saja tidak ada yang menahan. Berarti bola tersebut benar-benar melayang, saudara-saudara. Dengan bodohnya, bocah itu berbalik menghadap murid-murid baru yang lain dan berteriak, "Minna-san, bola kristalnya benar-benar melayang!!" Dan tentu saja disambut dengan gelak tawa seisi ruangan. Dasar konyol. Bukannya malu, dia malah nyengir lebar dan kembali menghampiri bola kristal tersebut. Waktunya menyentuh dan melihat warna apa yang keluar untuknya. Bukannya mengulurkan kedua tangannya, bocah itu malah membungkuk dan mencium bola kristal itu dengan bibirnya. Bisa juga, kan? Yang penting, disentuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar