Selasa, 10 November 2009

First Letter (2000)

“Nao, kita putus saja ya.”
“Apa? Apa alasanmu?”
“Aku menyukai orang lain.”
“…”



Sial! Ingatan itu terus membayangi benaknya. Membuatnya tak bisa tidur hampir setiap malam. Padahal kejadian itu sudah lewat sekitar 3 bulan. Nagisa, gadis yang sudah bersamanya hampir selama 2 tahun itu tiba-tiba memutuskannya secara sepihak. Dengan alasan yang sangat tidak bisa diterima olehnya. Gadis itu juga telah membuatnya jatuh sakit sehingga harus terbaring selama 3 minggu di rumah sakit. Tidak secara langsung, sih. Tapi karena perlakuan gadis itu, Naoto jadi sangat terluka. Dengan geram, Naoto mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya –hendak membanting sesuatu sebenarnya—namun dia tak berani mengambil resiko membuat ibunya marah dan akhirnya melapor pada ayah. Bisa-bisa dia didetensi tak boleh keluar rumah selama seminggu. Bisa gila.

Bosan! Naoto berdiri dari duduknya –melangkah ke pintu rumah. Hendak berkeliling ke Shibuya dengan motornya. Siapa tahu ada gadis cantik lain yang mungkin mampu memikat hatinya disana. Bukankah gadis-gadis di Shibuya cantik-cantik?
Motornya adalah model terbaru tahun ini. Sudah puas dia memamerkannya pada semua kenalannya. Jelas mereka iri dengan motornya itu. Sebentar Naoto memeriksa kondisi motornya –kemudian memanaskan mesinnya. Supaya tidak mogok di jalan lah.

“Mau kemana, Nao?”

Cih! Haha sejak kapan berdiri di pintu rumah? Bukankah tadi beliau sedang memasak?

Dengan segan, Naoto turun lagi dari motornya. Menghampiri ibunya yang memandanginya dengan tatapan galak. Memberikan pelukan hangat –cara yang sangat efektif untuk meluluhkan hati sang ibu. Trik yang belakangan ini ikut ditiru oleh adik-adiknya, Hayabusha dan Inochi. Seharusnya mereka membayar ongkos menjiplak pada Naoto, tuh.

“Aku mau ke Shibuya. Hanya berkeliling sebentar. Haha mau titip sesuatu?” tanya Naoto –menyunggingkan senyuman yang mampu meluluhkan hati wanita, tak peduli berapa usianya. Terkecuali ibunya, tentu.

“Tak perlu. Kamu masih kepikiran soal Nagisa, Nao?” tanya ibunya prihatin. Dia tahu benar betapa putranya begitu menyayangi gadis itu. Sungguh kesal hatinya saat mengetahui bahwa hati gadis itu kini beralih pada laki-laki lain. Dengan penuh sayang, perempuan tua itu mengelus rambut putra tertuanya.

Naoto terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Toh, ibunya sudah tahu jawabannya. Anak itu hanya melemparkan seulas senyum penuh luka dan berbalik kembali ke motornya.

PPONG!

Sebuah suara keras tiba-tiba terdengar di area rumahnya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Nagisa ada di hadapannya –membawa buntalan hijau sambil nyengir lebar.

“Nagisa?”

"Konnichiwa, tuan-tuan dan nyonya serta calon murid yang terhormat!"

Ee!? Tuan-tuan? Nyonya? Calon murid?

Naoto terpaku menatap Nagisa yang ada di hadapannya –mulutnya megap-megap. Reaksi ibunya pun kurang lebih sama hingga akhirnya beliau menyadari bahwa Nagisa yang ini mempunyai ekor luak yang menjuntai di bokongnya.

“Tanuki?” ujar perempuan tua itu.

“Tanuki? Ini Nagisa, Haha. Bukan Tanuki,” balas Naoto dengan nada suara yang penuh keraguan.

“Lihat ekornya!”

“Ee!? Nagisa, sejak kapan kau punya ekor?” tanya Naoto –masih belum menyadari bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah mantannya.

"Seperti yang sudah bisa Anda duga sebelumnya dan seperti apa yang tertera pada surat tugas saya bahwa dengan ini saya hendak memberitahu bahwa anak Anda mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dan menjadi bagian dari akademi sihir kami; Ryokushoku o Obita,” Nagisa berekor itu melanjutkan.

“Yang benar saja. Nagisa, jangan bercanda!”

Nagisa berekor itu malah tersenyum dan menjejalkan buntalan hijau yang dibawanya pada Naoto. Naoto hanya bisa menelan ludah. Oke—ini sudah jelas bukan Nagisa. Tapi siapa?

“Di dalam buntalan hijau ini terdapat bundelan kertas berisi ketentuan-ketentuan beserta keterangan lainnya mengenai akademi kami, silakan dibaca baik-baik. Harap form yang yang terlampir dikembalikan ke pihak sekolah ketika ketibaan di akademi kami. Dan yaa...siswa-siswi harus berada di stasiun Hakamadote atau stasiun Akita—di ruang bawah tanah lobby selatan—dimana perlu kata kunci khusus untuk mengaksesnya. Bagi siswa-siswi asing, tentunya diharapkan sudah berada di Jepang minimal sehari sebelum keberangkatan. Tentu saja kami akan mengirimkan utusan dari pihak akademi guna membimbing dan membantu anak anda agar tidak kesulitan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan sekolahnya," Nagisa berekor terus meracau. Tak peduli pada 2 manusia yang terbelalak di hadapannya.

"akhir kata, izinkan saya undur diri dari hadapan Anda sekalian. Adiosu, Mata nee!"

Tiba-tiba, Nagisa berekor itu lenyap –meninggalkan serpihan-serpihan daun yang entah berasal darimana.

Naoto menoleh ke arah ibunya.

“Haha mengerti maksud ini semua?” tanya anak itu seraya memeluk ibunya.

Ibunya hanya menggelengkan kepala. Wajahnya sedikit pucat.

“Mungkin Chichi-mu tahu soal ini. Kita tunggu saja ia pulang,” ujar ibunya pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar