Jumat, 19 Maret 2010

MEME GENERATOR as NAOTO MATSUSHIMA

1. Super fun fun adventure amusement park marathon with you, Kazuhiro Matsushima and Hanabi Hasegawa! How will it go?
I want it to be super fun off course. If Hasegawa-san doesn't act like she hates me, it will be very fun. And Kazuhiro will bring Kouhaku with us.

2. Would you open a mystery gift Aoi Mizuno just gave you, without much hesitation?
Yep, definitely. Aoi is my big sister, the one i trust the most at school. No need to hesitate.

3. If Kouhaku Matsushima and Kazuhiro Matsushima were locked in the same (really small) room for longer than a day, what would most likely happen?
They will cuddle each other and make a super big noise inside.

4. Tetsuyama Ikuya suddenly knows all your secrets. What do you have to say about that?
Who said that to you? And then I'll laugh... like there's nothing had happened

5. If Hanabi Hasegawa were to be mistaken for a celebrity, who would it be?
Her visual off course =))

6. What is Hiroshi Nagata's favorite TV show or movie?
The Legend of Mountain Monkey!!

7. Do you trust Rasetsu Hyougaki?
Yeah.

8. Hiromi Fujiwara is actually Hanabi Hasegawa in disguise, you know.
Oh really?! No, i don't believe it. How can Hasegawa-san act so fussy like Hiro-chan!!

9. Have you dreamt of Meguri Mobushoku before?
Not yet..

10. If Yuuji Natsume and Rasetsu Hyougaki teamed up, what would they most likely accomplish?
Err... I have no idea

http://mct421.deviantart.com/art/Question-Meme-Generator-69266481

Kamis, 28 Januari 2010

Bento for Kazu and Kou

Timeline : Pagi hari jam 8, satu minggu setelah seleksi asrama



Pagi itu Naoto terbangun dengan nyeri luar biasa menjalar di lengan kirinya, tepat pada bekas luka tertembus batangan es runcing yang ditembakkan oleh salah seorang pengikut NOH saat invasi terjadi pada undokai term lalu. Meski luka itu tidak meninggalkan bekas pada kulit luar Naoto, namun luka itu meninggalkan efek samping yang tidak main-main pada lengan kirinya. Setiap pagi, pemuda jangkung itu terbangun karena rasa sakit mengiris pada lengannya yang juga terjadi jika udara terlalu dingin. Sewaktu-waktu, lengan kirinya bahkan tak bisa digerakkan selama beberapa saat dan itu selalu terjadi tiba-tiba.

Pathetic.

Naoto menyesalkan kenyataan bahwa dirinya kini memiliki kelemahan tambahan pada tubuhnya; meski ia tidak menyesali keputusannya untuk melindungi Aoi dan Hasegawa saat luka itu didapatnya. Ia akan lebih menyesal bila tidak bisa melindungi kedua gadis itu. Begitu nyeri pada lengannya berangsur menghilang, Naoto bangkit dari tempat tidurnya—mengambil jaket tebal yang hangat dan keluar dari kamar diam-diam. Pemuda jangkung itu berjalan menuju ke dapur.

Memasak selalu menjadi salah satu penghibur yang mampu mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang tak menyenangkan. Pagi itu ia berniat membuatkan dua set bento enak untuk makan siang Kazuhiro dan Kouhaku. Ia tahu, selama ia di rumah, Okaasan hanya memasakkan makanan yang enak-enak untuknya dan hanya memberikan makanan yang sederhana pada kedua adiknya itu. Meski ia sudah berkali-kali bilang pada Okaasan untuk tidak memanjakkan dirinya dengan makanan, wanita tua yang ia sayang itu tak mau mendengarnya—tak peduli meski Naoto hampir tak pernah menghabiskan makanannya.

Naoto menyiapkan dua piring nasi putih yang telah ia tanak sejak semalam. Mencampurkan cuka, garam dan gula sesuai takaran dan mengaduk nasi putih itu sehingga berubah mengkilat—siap untuk dibentuk menjadi onigiri jumbo. Puas dengan nasi cuka yang telah siap, Naoto mengambil beberapa lembar rumput laut yang akan digunakan sebagai pelengkap onigirinya; mengambil sekaleng tuna siap saji dari lemari penyimpanan. Pemuda itu pun kemudian mengambil segenggam nasi cuka dan mengisinya dengan tuna, lalu membentuknya menjadi segitiga besar dan memasangkan selembar rumput laut. Voila—satu buah onigiri tuna jumbo telah selesai dibuat, lalu onigiri kedua, ketiga dan keempat.

Pemuda jangkung itu kemudian melangkah menghampiri lemari pendingin sambil bersiul, membuka pintunya dan mengamati bahan-bahan makanan yang berjejer menggiurkan di dalamnya. Naoto mengambil dua butir telur, sebutir tomat, dua potong besar sosis dan sebutir bawang bombay—ia pun menutup kembali pintu lemari pendingin. Tomat, sosis dan bawang bombay pun kemudian berakhir menjadi potongan-potongan rapi di atas talenan berkat kelihaian Naoto menggunakan pisau dapur.

Dua kotak bento telah berjejer di atas meja dapur, masing-masing dengan dua buah onigiri jumbo di dalamnya. Naoto menjejerkan dua iris tomat pada masing-masing kotak bento dan memberikan beberapa irisan tipis ketimun sebagai penghias. Kemudian pemuda jangkung itu mengolesi bawang bombay dengan tepung terigu dan telur—menggorengnya menjadi onion ring yang renyah bersama dengan sosis yang telah dibentuk serupa gurita mini.

Naoto tersenyum lebar memandang hasil karyanya. Dua kotak bento sederhana yang lezat untuk kedua adiknya. Dengan gembira, pemuda jangkung itu mengambil dua buah serbet dan membungkus kotak bento tersebut ketika—

NYUUUUTT


—jantungnya tiba-tiba saja meminta perhatian.

PRAKKK—

Sebuah kotak bento yang ada dalam genggamannya terjatuh ke lantai dapur. Jerih payahnya hancur berantakan sekarang. Brengsek. Pemuda jangkung itu berlutut di lantai, tangan kanannya meremas dada kirinya dengan gemetar sementara tangan kirinya menopang tubuhnya yang membungkuk. Naoto menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit—mengumpat kesal dalam hati. Berharap dia takkan ambruk disana.

Jangan sekarang.

Fukupi, jantungku kambuh. Bawakan obatku ke dapur, tolong.

Rabu, 27 Januari 2010

Ikuya? - yes I AM !

Naoto tak pernah menyangka bahwa dia begitu merindukan Ryokubita seperti ini. Dia berbaring terlentang di atas sofa yang tersedia di common room dengan Fukupi bertengger di dahinya. Bau harum ichigo daifuku menguar lembut dari tubuh mungil si hamster kecil. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mencium aroma enak tersebut, bukti betapa dia merindukan hari-harinya di Ryokubita. Di tempat di mana dia bebas melakukan apa pun tanpa nasehat-nasehat berlebihan dari Okaasan, tanpa larangan ini-itu yang membuatnya merasa seperti dalam penjara.

Disini Naoto adalah anak yang bebas. Yahooo!

PLAKK

Siapa bilang bebas? Bukan berarti kau bisa seenaknya menyakiti diri sendiri disini.

Fukupi tiba-tiba memukul pelipisnya dan mulai marah-marah seperti biasanya. Tidak sakit, tentu saja. Hanya sedikit mengejutkan. Hampir saja Naoto lupa bahwa hamster kecil ciptaannya itu memiliki kecenderungan sebagai hamster tsundere jika sedang bersamanya. Dendam karena Naoto menciptakan dia bukan seperti hamster normal tapi lebih seperti boneka hamster berwarna biru muda dengan aroma daifuku dan telinga yang lebar.

Kenapa, sih? Bukan berarti aku mau membunuh diriku sendiri, kan?

Kau pikir sudah berapa kali kau nyaris mati selama satu tahun kemarin?!"

Naoto mendengus kesal. Mengangkat Fukupi dari keningnya dan kemudian mengangkat tubuhnya untuk duduk bersandar. Dengan gemas ditiupnya hidung mungil Fukupi yang bergerak-gerak saat hamster kecil itu bernafas. Hamster kecil itu langsung menggosok-gosok hidungnya dan memejamkan mata.

STOP! Kau tahu Fuku tak suka ditiup begitu, kan!

Fukupi menggigit jari Naoto yang menggenggamnya dengan keras sehingga pemuda jangkung itu melepaskan pegangannya karena kesakitan. Bekas gigitan Fukupi mengeluarkan darah segar yang langsung dihisap oleh Naoto. Pemuda jangkung itu menatap marah pada Fukupi, bibirnya mengerucut.

Sekarang main gigit, nih?

Hamster kecil itu membuang muka lalu pergi meninggalkan Naoto entah kemana. Kesal karena keserampangan Naoto pada kondisi tubuhnya sendiri. Tumbang saat pelajaran olahraga tahun lalu, tumbang saat bermain dengan Tomoe dan terakhir tumbang saat NOH menyerang Ryokubita saat undokai tengah berlangsung. Yang terakhir itu bukan salah Naoto. Pemuda jangkung itu hanya berusaha melindungi Aoi dan Hasegawa, tak menyangka bahwa sebuah batang es akan mendarat menembus lengan kirinya dari belakang. Untung saja guru-guru yang memiliki kemampuan penyembuh langsung mengobati lukanya sehingga sama sekali tak meninggalkan bekas.

Meski meninggalkan bekas yang tak terlihat. Lengan kirinya kini cacat; sewaktu-waktu kehilangan kemampuan untuk bergerak; sewaktu-waktu memberikan rasa sakit yang amat sangat jika digunakan terlalu berat. Brengsek.

NOH.

Kemunculan NOH benar-benar mengubah cara berpikir Naoto tentang sihir. Pemuda jangkung yang semula berniat mempelajari sihir untuk menunjang karirnya sebagai pesulap, kini menyadari bahwa dia harus mempelajari sihir untuk tujuan lain yang jauh lebih penting. Melindungi orang-orang yang ia sayangi—terlebih lagi kedua adiknya sekarang berada di sekolah yang sama dengannya.

Browniesnya berpaling ketika menangkap satu sosok yang ia kenal sedang berdiri di depan pintu asrama Sakura dan meneriakan nama Ikuya. Ah, laki-laki berkacamata yang bekerja dadakan sebagai fotografer jalanan itu rupanya. Laki-laki yang sosoknya mengingatkan Naoto pada Tetsu saat di Mahou no Tsue Shop. Sepertinya laki-laki yang bermarga Shibasaki itu dan Tetsu memang memiliki hubungan darah. Sepertinya. Hanya sebuah asumsi dari seorang Naoto.

Pemuda jangkung itu tak habis pikir ketika Shibasaki tiba-tiba saja melayangkan tinju ke wajah Tetsu, bahkan sebelum berbicara apa-apa. Naoto segera beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri kedua orang yang kini terlibat dalam baku hantam yang tak jelas alasannya.

"Ada apa ini?" ujar Naoto keras sembari menarik pundak Shibasaki. "Jangan sembarangan memukul temanku, Shibasaki."

Sabtu, 19 Desember 2009

Scar

[Nagata]

”Cepat, Yamada! Sebentar lagi kita sampai di puncak tebing”,
”Hhh… Hhh.. Sabar Hiroshi! Aku sudah agak lelah,”
“Ayo, kau pasti bisa! Ingat kata Toki-senpai, setelah sampai di atas, kita akan jadi anak paling hebat se-Osaka! Bukankah itu keren?”
”Ya! Pastinya itu akan keren sekali! Baiklah, aku datang, Hiroshi!”


Naga tak pernah menyangka ajakannya untuk memanjat tebing dengan Yamada akan ia sesali seumur hidupnya. Hanya karena termakan bualan kakak-kelasnya untuk memanjat tebing karang setinggi 20 meter yang terletak di pinggir pantai dekat sekolahnya itu, Naga membujuk teman dekatnya di sekolah—Yamada Takakura, untuk turut memanjat. Sama sekali tidak menyadari resiko di balik ulah nakalnya sedikitpun. Yeah, nyawa. Naga rela memberikan apapun miliknya, termasuk nyawanya kalau bisa, agar ia bisa mengulang waktu dan memperbaiki semuanya. Tapi ia tidak bisa. Tidak pernah. Dan tidak akan bisa.

”Hiroshi! Lihat, dibawah indah sekali!”
“Yeah, kau benar“
“AAARGH! Topi-ku jatuh!”
“Hey! Biarkan saja topinya, nanti kau jatuh!”
Tidak apa, aku akan ambil—AAAAAAAAAAARGH!
“Tidak. Kubilang HENTIKAN, YAMADA!

***

Tidak seperti biasanya, Naga menghadiri kegiatan klub Jum’at itu dengan lesu. Lingkaran hitam yang membayang di bawah matanya, mempertegas betapa buruknya penampilannya saat itu. Lagi, untuk ketiga-kalinya berturut-turut sejak hari Selasa, Naga bermimpi buruk. Dan bagaimana bisa mimpi-nya selalu sama persis dan seolah benar-benar nyata? Melelahkan sekali mengalami mimpi buruk yang sama berulang-ulang, asal kau tahu. Apalagi, mimpinya ini selalu membangkitkan kenangan buruk lima tahun lalu, ketika ia tidak sengaja membunuh seorang Yamada Takekura. Kejadian ini pula yang membuatnya terkadang menjaga jarak dari anak-anak seumurnya, dan amat berhati-hati dalam berteman. Yeah, Naga takut kelepasan ‘membunuh’ lagi. Selasa kemarin, nyaris saja ia mengulangi hal yang sama. Beruntung Monyet Gunung tidak kenapa-kenapa, hanya saja Naga masih menjaga jarak dengannya.

Hari menjelang sore, dan akhirnya latihan bola pun selesai. Satu demi satu teman-teman satu klub-nya meninggalkan lapangan, hingga tinggal ia sendiri yang berada di sana. Naga membasuh mukanya di keran dekat lapangan bola, membersihkan keringat yang mengalir deras di pelipisnya karena kelelahan. Genangan air di tanah memantulkan cahaya dan merefleksikan wajahnya dengan sempurna. Masih ada. Deretan luka jahitan sepanjang delapan centimeter itu masih berjejer rapi di dahinya, meski seringkali tak terlihat karena tertutup poni. Luka yang menjadi bukti nyata bahwa Naga juga turut terjatuh ketika hendak menolong temannya dalam insiden lima tahun lalu itu. Hanya saja terdapat perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Naga selamat, sementara Yamada tidak.

” Sudah puas kau menghilangkan nyawa orang, eh Hiroshi?”
JDUGG!
”Jangan berteman dengan Nagata! Nanti kau mati bila tak mengikuti keinginannya!
JDUGG!
”Pembunuh! PEMBUNUH!!”
JDUGG!

Naga menendang bola-nya ke arah dinding luar sports hall, pantulan bola-nya ia tendang kembali ke tembok, semakin lama semakin keras, untuk melampiaskan rasa frustasi-nya. Tidak perduli akan kaki-nya yang mulai lebam. Entah karena pemuda tanggung itu kurang tidur, atau karena panas matahari yang begitu menyengat siang itu, pikiran Naga mulai melantur dan berhalusinasi. Celaan dan makian orang-orang yang tidak terima bahwa Yamada telah meninggal dan beralih menyalahkan dirinya, mulai bergaung kembali di telinga Naga. Dan harap dicatat, tidak ada satupun yang perduli bahwa Naga juga terluka. Tidak ada. Bahkan kedua orangtuanya seolah malu telah memiliki anak seorang ‘pembunuh’ seperti dirinya. Apalagi keempat kakaknya yang sejak saat itu cenderung mengacuhkannya di depan publik dan tidak mengakuinya sebagai adik.

JDUGGG!

Tendangan terakhir-nya begitu keras sampai bolanya memantul tinggi sekali dan hilang entah kemana. Naga tidak berusaha sama sekali untuk mengambilnya. Ia kelelahan, baik fisik maupun mental. Melangkah gontai ke bangku terdekat, Naga berbaring di atasnya, kali ini mencoba jalan terakhir untuk melepaskan penat dan rasa frustasi-nya dengan memejamkan matanya—tidur. Menangkupkan sebelah tangan di atas matanya untuk menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan, Naga pun terlelap.

Keringat deras masih mengalir di sekujur tubuhnya.
Dan sekali lagi harap dicatat, setetes air yang mengalir di sebelah matanya, juga keringat.


[Naoto]

Tiga hari.

Tiga hari sudah terlewati sejak Naoto ambruk tak sadarkan diri di tengah kelas olahraga, membuat teman-teman dan sensei-nya terkejut dan kebingungan. Tiga hari itu pula, Nagata seolah-olah menganggap Naoto sebagai angin lalu yang tak terlihat di matanya. Atmosfer di sekeliling Naoto dan Nagata selama dua hari itu terbilang sangat suram. Masing-masing terlihat saling menghindar meski sebenarnya Naoto ingin menyapa tapi mengurungkan niatnya tiap kali bertemu muka dengan Nagata. Tak ada celaan-celaan dan adu mulut yang biasanya terdengar saat kedua bocah itu bertemu. Bukan berarti Naoto suka dicela, tapi celaan dari Nagata justru membuat dia lebih bersemangat untuk mengisengi si pencela. Bisa dipastikan, semua orang yang mengenal duo monyet gunung dan tuan kepiting pasti bertanya-tanya ada apa gerangan di antara mereka berdua. Mungkin hanya Yuuji, Hiro, Tetsu dan Aoi yang tahu persis apa yang membuat kedua bocah itu bertingkah aneh begitu.

Tak tahan sudah Naoto bersabar dengan keadaan yang aneh seperti ini, sulit untuk bersikap ceria jika partner debatnya yang satu itu mengacuhkannya. Rasanya seolah ada lubang besar dalam hatinya dan itu jelas terasa tak enak, membuatnya jadi sulit tidur setiap malam. Terlebih lagi, dia dan Nagata berada dalam satu kamar dan tempat tidur mereka juga berdekatan sehingga Naoto bisa dengan mudah melihat sosok Nagata yang dua hari ini selalu memunggunginya.

Entah sejak kapan, keberadaan Nagata telah menjadi satu poin penting dalam dirinya. Meski mereka hampir selalu terlihat bertengkar, bisa dibilang di situlah letak keakraban mereka. Dan benang merah imajiner itu mengikat mereka berdua lebih erat daripada dengan ketiga temannya yang lain. Tolong jangan berpikir macam-macam. Apabila kau diacuhkan oleh sahabatmu, apa yang akan kau rasakan? Nah, persis seperti itulah yang Naoto rasakan sekarang.

Ditinggalkannya Fukupi di kamar setelah diberi titah untuk tidak mengikutinya. Dia ingin mencari Nagata dan meminta maaf secara langsung pada temannya itu berdua saja. Bila perlu, dia akan ceritakan semua rahasianya pada Nagata bila memang itu bisa membuat Nagata kembali pada sikapnya yang biasa.

Naoto mengenakan hoodie putih tanpa lengan dan celana jeans gelap. Hari sudah menjelang sore, cuaca pun sudah tidak terlalu panas sehingga bocah jangkung itu memberanikan diri untuk keluar setelah tiga hari penuh beristirahat di kamar memulihkan diri. Demamnya sudah turun sejak semalam dan kondisi jantungnya sudah sehat kembali, flunya sudah berlalu pergi dari tubuhnya. Diayunkannya kedua tungkai panjangnya ke arah gymnasium, Naoto yakin Nagata ada di sports hall. Hari ini jadwal latihan klubnya, bukan?

Tinggal beberapa langkah menuju sports hall ketika tiba-tiba sebuah bola mendarat di dekat kakinya. Naoto memungut bola tersebut dan kembali melangkah menuju sports hall untuk mencari Nagata. Beruntunglah dia karena dengan cepat ditemukannya Nagata, tertidur di sebuah bangku di dekat lapangan. Sebelah tangannya ditangkupkan di atas matanya. Naoto menghampirinya dengan langkah perlahan, tak ingin membangunkan bocah yang terlihat kelelahan itu. Diletakannya bola yang tadi dipungutnya di bawah bangku yang ditiduri Nagata dan browniesnya menangkap sesuatu yang janggal di wajah Nagata. Ada setetes air mengalir di sebelah matanya. Tuan Kepiting menangis?

Ditepuknya lengan Nagata perlahan. Memang tadinya dia tak berniat membangunkan Nagata, tapi melihat keadaan temannya saat ini, Naoto merasa tak boleh meninggalkannya begitu saja.

"Tuan Kepiting, kau tak apa-apa?"


[Nagata]

“Oh, kau…”,

Naga terbangun kaget dari tidurnya, ketika ada seseorang yang membangunkannya. Yeah, itu Monyet Gunung. Tapi jujur saja, Naga agak kecewa mendapati si Monyet Gunung ini yang membangunkannya. Entahlah, di saat suram begini Naga berharap seseorang yang lebih lembut yang membangunkannya, yang setidaknya dapat menjadi sandaran bagi dirinya sejenak. Err, harap dicatat yang Naga maksud bukan laki-laki, tentunya. Maaf saja, Naga masih normal. Tadi dia sedikit berharap yang membangunkannya, err.. Ishibashi adik, mungkin? Whoa, mimpi saja kau, Naga!

Naga menguap lebar dan mengucek-ngucekkan matanya yang masih berat karena mengantuk. Sejenak, dalam kesadarannya yang masih belum kembali sempurna dari alam bawah sadarnya, Naga sama sekali lupa kalau ia sedang menghindari anak laki-laki di sebelahnya ini. Sifat monyet gunung ini di klinik dulu tidak dapat diterimanya--pertama, anak ini berbohong dan kedua, dia 'membuang' teman-temannya begitu saja dan lebih memilih si tikus biru keparat itu. Yea, sebenarnya Naga tahu dua alasan itu tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan, apalagi untuk ukuran laki-laki, tapi yah, entahlah, Naga sudah terlanjur kesal. Dan mungkin tidak ada yang terlalu menyadari, tapi sejak di klinik itu, Naga tidak hanya menjauhi Monyet Gunung saja, tapi ia juga menjaga jarak dengan Fujiwara, Ikuya, Natsuume-senpai, dan teman-temannya yang lain. Atau mungkin Naga akan lebih memilih tidak punya teman sekalian jika ia bisa. Rekornya dalam berteman tidak terlalu baik. Statusnya masih seorang mantan pembunuh, kau ingat? Beruntung keluarga Yamada tidak menuntutnya ke polisi, jika hal itu terjadi, mungkin Naga tidak akan ada di sini sekarang.

"Bukan urusanmu," ujarnya dingin, ketika Naga sudah benar-benar terbangun dari tidurnya. Mengambil handuk kecilnya dari tas olahraganya yang terletak di bawah bangku, Naga mengelap keringat di wajah dan lehernya, sedikit berusaha mengusapkan handuknya lebih keras pada keningnya, namun tentu saja sia-sia. Guratan luka jahitan itu masih berada di sana. "Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu," lanjutnya lagi dengan nada dingin sambil menatap tajam Monyet Gunung.



[Naoto]

Naoto menghempaskan bokongnya ke tanah dan bersandar pada bangku yang diduduki Nagata alih-alih duduk di petak kosong bangku di samping bocah galak itu. Kaki kanannya dia luruskan sedangkan yang kiri dia tekuk untuk lengannya bersandar. Ya, sang Tuan Kepiting sudah terbangun dari tidurnya dengan wajah tetap masam, dia tak senang Naoto ada disana. Wajar, saat ini keberadaan Naoto pasti sangat mengganggu apalagi bila Nagata benar-benar habis menangis. Tadinya Naoto hendak beranjak pergi meninggalkan Nagata karena merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf, namun bocah jangkung itu membatalkan niatnya ketika serangkaian kata bernada menuntut mengalir keluar dari bibir Nagata.

"Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu,"

Naoto menghela nafas sembari menyunggingkan seulas senyum tipis yang mungkin tak terlihat oleh Nagata karena posisi duduknya. Ditengadahkannya kepala ke atas, kedua permata sewarna browniesnya mengarah ke langit dengan tatapan kosong. Langit mulai mengeluarkan semburat kemerahan dan matahari mulai bersembunyi di balik awan seputih kapas. Naoto menggigit bibirnya sekilas sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya pada Nagata.

"Ya, aku tahu. Maka dari itu aku kemari mencarimu," ujar Naoto singkat. Kini kepalanya sedikit tertunduk, tak lagi menatap Nagata. Tangan kanannya bergerak perlahan menuju ke dada kiri lalu ditempelkan telapak tangannya disana. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya sebelum akhirnya kisah yang selama ini dia tutupi perlahan mengalir seiring gerakan bibir tipisnya.

"Kau... pernah melihat bekas luka memanjang di dadaku ini, kan? Waktu usiaku satu tahun, aku mengalami kecelakaan bersama orangtuaku. Sebuah pipa besi berdiameter tiga sentimeter menembus dada kiriku dan melukai jantungku. Beruntung saat itu aku berhasil diselamatkan meski jantungku cacat dan lemah sampai sekarang." Jeda sejenak. Bocah jangkung itu melirik sekilas pada Nagata lalu menelan ludah yang tersangkut di kerongkongannya. "Hal itu membuatku sakit-sakitan, makanya aku lebih sering tidur di kamar karena demam atau flu ketimbang bermain-main di luar asrama setelah kelas berakhir. Aku juga tak bisa ikut klub olahraga meski aku ingin."

Naoto meluruskan kakinya dan sedetik kemudian dia telah berdiri untuk kemudian duduk kembali di bangku—di samping Nagata. "Penyakitku bukan asma.. tapi jantung."

Haruskah dia menjelaskan alasan mengapa dia menyembunyikannya?

Nanti saja, bila Nagata menanyakannya.

Rabu, 09 Desember 2009

Awal Terciptanya Fukupi

Dengan penuh semangat Naoto menghadiri kelasnya hari ini. Kelas mantra tentunya adalah sebuah bekal yang amat sangat penting bagi seseorang yang bercita-cita menjadi pesulap komedian yang sukses di masa depan. Bukan pesulap ajaib jika tidak bisa merapalkan mantra yang benar-benar mantra. Bukan sekedar abrakadabra biasa, atau sim salabim biasa seperti yang sering diucapkan oleh pesulap-pesulap yang non penyihir. Bocah itu sedikit berharap pelajaran hari itu bukanlah teori yang perlu membuka buku teks—yang selalu berhasil membuatnya tertidur pulas. Maka dari itu, bocah itu sangat girang ketika sensei yang mengajarkan mantra meminta mereka mengubah sebuah daifuku yang terlihat lezat menjadi seekor tikus. Lebih girang lagi saat sensei memberikan contoh langsung di depan mata murid-muridnya.

"Sugoi!!" ujarnya penuh semangat sembari mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku kimononya. Dengan tatapan serius, Naoto memandangi tongkatnya—tanpa sadar bibirnya sedikit maju membentuk kerucut sepanjang dua sentimeter (kalau panjang-panjang nanti bisa-bisa Naoto direkrut jadi gurita).

"Hey, Kappa Kribo! Kau harus bantu aku mengubah daifuku ini menjadi tikus sungguhan, ya! Jangan buat aku malu! Buktikan dirimu itu memang partnerku yang hebat!" Naoto memelototi tongkatnya dengan tampang serius kemudian dengan penuh semangat diayunkan Kappa Kribo (tongkat sihirnya, red) pada daifuku di atas mejanya.

"Ling gulang guling—," terdiam sesaat saat menyadari dia harus menggunakan kalimat dalam bahasa Jepang yang baik dan benar—berdeham, "Nezumi-chan, Nezumi-kun. Kono daifuku ni tamashii wo ageru*!!"

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

...



Daifukunya tidak berubah sama sekali. Naoto dengan penasaran mengangkat daifuku tersebut ke depan wajahnya, meniup-niupnya pelan dan tiba-tiba daifuku itu membuka matanya dan berkedip-kedip! MATA! DAIFUKUNYA BERMATA!!

"Wooow!! Sugeee—" ujar Naoto masih terpesona.

"Halo."

Suara siapa itu? Naoto menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang sedang mengajaknya bicara. Dengan bingung dia kembali menatap daifukunya yang kini punya sedang tersenyum memamerkan gigi-giginya. Daifukunya yang tadi bicara?

Hee?!!

Daifukunya benar-benar hidup!! Sugeee—

"Halo, daifuku-chan!"
ujarnya membalas sapaan si daifuku yang kini hidup kemudian mengelus-elusnya.




Sei-saja itu rupanya benar-benar hebat memilihkan tongkat sihir untuknya. Naoto masih ingat kalau tongkat sihir Kappa Kribonya ini bagus untuk mantra perubahan dan mantra ilusi. Dan lihat sekarang, dengan satu ayunan dan serangkaian mantra, daifukunya punya mata dan bisa bicara! Luar biasa, bukan? Sepertinya sebagian kecil dari jiwa Naoto terkirim masuk dalam daifuku tersebut. Aneh.

"Halo," ujar si daifuku sambil tersenyum dan mengerjap-ngerjapkan matanya pada Naoto yang masih sibuk mengelus-elus dan menatapnya terpesona. Daifuku itu masih bisa dimakan, lho. Tapi siapa yang tega memakan daifuku yang kini berjiwa itu?

"Halo juga Daifuku-chan," balas Naoto dengan cengiran riang, "Ngomong-ngomong, aku harus mengubah wujudmu menjadi tikus. Tapi, aku tak terlalu suka tikus. Bagaimana kalau hamster? Lagipula kalau dalam wujud seperti ini terus, kau lama-lama bisa membusuk."

Daifuku di hadapannya hanya mengedip-ngedipkan kedua matanya menandakan setuju dengan usul tersebut. Bagaimanapun, wujud hamster jelas lebih imut ketimbang tikus, apalagi tikus got yang hitam. Hiiy—Naoto tidak takut dengan tikus, sih tapi jijik karena tikus itu kotor dan baunya luar biasa.

"Fuku mau jadi hamster berwarna krem muda bergaris putih,"
ujar si daifuku meminta pada bocah yang sedang memegangnya itu.

Itu sih terlalu biasa. Aku suka warna biru muda.

Hey! Mana ada hamster berwarna biru muda?!

Lho, kau bisa telepati juga? Meccha sugee—

Pokoknya jangan biru muda! Fuku ini betina, lho!

Aku suka warnanya. Memang, sih belum ada hamster berwarna seperti itu. Tapi, sekarang akan ada!


Dengan cepat, Naoto menyambar Kappa Kribo dari atas mejanya dan mengayunkannya berlebihan dengan gaya norak. Meniru gerakan ibu peri di film kartun Cinderella.

"Hamusuta-chan, hamusuta-pyon. Daifuku no katachi, aoi hamusuta- ni kaemasu!!"

Huwaaaaaa—

Perlahan wujud daifuku itu berubah warna menjadi biru muda yang lembut lalu kumis tipis mulai tumbuh di bawah matanya. Sedetik kemudian, telinga mungil mencuat di atasnya dan tak lama kemudian daifuku itu telah sempurna menjadi seekor hamster biru muda seperti dalam bayangan Naoto. Hanya saja, hamster tersebut masih beraroma daifuku strawberry.

Jahat. Fuku bukan boneka! Hiks—

Jangan menangis. Wujudmu sangat manis, kau tahu? Dan namamu itu Fuku?

Manis seperti tersiram cat air begini?! Ya, namaku Fuku. Kenapa memang?

Fukupi lebih bagus. Oke?

^@&*&#(&*@_


Naoto memperhatikan sekali lagi wujud hamsternya. Sepertinya ada sesuatu yang kurang pas di hati Naoto dari bentuk hamsternya ini. Ya, telinganya terlalu kecil. Kalau telinganya lebar seperti dalam komik, pasti akan lucu sekali!

Jangan bodoh! Fuku ini hamster, bukan tokoh komik!

Naoto tak menggubris kata-kata protes dari Fukupi. Sekali lagi bocah tersebut membayangkan wujud yang diinginkannya dan mengayunkan Kappa Kribo ke arah kuping mungil Fukupi.

"Mimi-no, Mimi-ni. Kono mimi wo hirogatte!"

Dan perlahan kuping mungil Fukupi seperti mekar, membesar kira-kira sepuluh kali lipat ukuran awalnya. Membuatnya terlihat seperti tokoh Minnie Mouse. Dengan puas, Naoto mengecup kening sempit Fukupi yang cemberut. Ternyata sihir perubahan itu mudah, hanya perlu konsentrasi membayangkan wujud yang diinginkan dan serentetan mantra berima yang cocok dengan perubahan yang diinginkan. Voila! Bayangan itu terwujud begitu saja.

Kau ternyata tuan yang bodoh, gila, abnormal!

Tapi, akulah tuanmu, Fuku-pyon.

Fukupi saja sudah memalukan! Jangan panggil aku Fuku-pyon! Bodoh!

Ya, ya.


Meski marah-marah, Fukupi menurut saja ketika Naoto memasukkan dirinya ke balik lipatan kimono di dadanya dan melenggang keluar kelas. Tugasnya sudah selesai.

Kamis, 03 Desember 2009

You Can

DISCLAIMER : Founder dan Staff Ryokubita. Naoto Matsushima. Nagisa Tsukihara (charfik yang nanti akan masuk Ryoku juga :D)



Tokyo, 15 Mei 1998.

Bocah jangkung itu berdiri bersandar pada gerbang Ryounan Koukou yang kokoh, kepalanya tertunduk, terlihat mengantuk. Surai kecoklatannya berkilau tertimpa sinar matahari yang hangat siang itu. Permata browniesnya bersembunyi di balik kelopaknya yang tertutup. Perawakannya tinggi kurus, terlampau tinggi memang bagi anak seusianya. Membuatnya seringkali jadi pusat perhatian terlepas dari sikap konyolnya.

Sekolah telah usai, murid-murid berlarian keluar dari gerbang sekolah seolah ingin cepat-cepat pergi dari sana. Beberapa anak terlihat asyik mengobrol, merencanakan acara jalan-jalan sepulang sekolah. Beberapa anak terlihat lesu karena nilai ujian yang tidak terlalu bagus. Beberapa anak lain terlihat bergandengan tangan dengan senyum malu-malu terlukis di wajah mereka.

Bocah jangkung itu tak bergeming dari tempatnya bersandar, seolah tak menyadari beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Seolah tak mendengar beberapa sapaan ramah dari gadis-gadis yang lewat di depannya. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sembari menunggu seseorang.

“Nao-kun. Maaf lama menunggu.”

Perlahan kelopaknya terbuka, memperlihatkan sepasang permata brownies yang tersembunyi di baliknya. Bocah dengan label Naoto Matsushima itu tersenyum. Seseorang yang dinantinya kini telah hadir di hadapannya, tersenyum lembut pada dirinya. Senyum yang selalu terbayang dalam benaknya selama satu bulan terakhir. Senyum yang selalu membuatnya merasa lebih baik saat perasaannya sedang dirundung awan gelap. Senyum milik seorang bidadari bersurai keemasan yang begitu dicintainya—Nagisa berbeda dari gadis-gadis lain yang dikenalnya. Hanya Nagisa yang mampu membuka pintu hatinya yang tertutup rapat, membuatnya kembali menjejakkan kakinya sekali lagi ke bumi, menunjukkan pada dirinya bahwa hal-hal baik datang pada mereka yang mau menanti. Nagisa juga adalah salah satu hal baik yang datang padanya. Dan hari ini, Naoto hendak menyatakan perasaan yang telah lama dipendamnya. Dia tak mampu lagi bersabar untuk menjadikan bidadari yang berdiri di hadapannya saat ini menjadi miliknya. Menjadi bidadarinya seorang.

Nagisa Tsukihara. Itulah nama yang dilabelkan pada bidadari di hadapannya yang kini menggandeng lengannya, menariknya dari sandarannya pada gerbang kokoh Ryounan Koukou. Naoto menurut dan melangkah di sisi sang bidadari. Keceriaan yang biasanya melekat padanya, siang itu seolah tenggelam ditelan aliran kegugupan yang mengalir deras dari lubuk hatinya yang terdalam.

Tell me I’m not on my own.
Tell me I won’t be alone.


Tungkainya terus melangkah sementara permata kembarnya tak mampu lepas dari wajah Nagisa, mengamati lekuk demi lekuk halus yang membentuk wajah seorang bidadari berambut emas yang telah merebut hatinya. Bidadari yang telah menyelamatkannya berulang kali dari keterpurukan. Bidadari yang mengenal dirinya bahkan lebih dari dirinya sendiri. Bidadari yang mampu menembus topeng joker yang selama ini selalu dikenakannya untuk menutupi kelemahan dan kekecewaannya. Oh, betapa bocah jangkung itu begitu memujanya.

Tell me what I’m feeling isn’t some mistake.
‘Cause if anyone can make me fall in love, you can.


Dirinya tak pernah tahu bahwa dia akan bisa begitu menginginkan gadis di sampingnya itu. Menginginkannya menjadi hanya miliknya seorang. Berharap semoga perasaannya itu bukanlah sebuah kesalahan, berharap bahwa keputusannya hari ini takkan menjadi awal dari sesuatu yang menghancurkan sayap sang bidadari. Naoto tersenyum lembut saat Nagisa menatapnya, menembus ke dalam permata browniesnya, mencari tahu apa gerangan yang membuat dirinya terdiam seribu bahasa dalam perjalanan pulang mereka.

“Kau baik-baik saja, kan? Nao-kun?”

Senyuman tipis dan anggukan ringan menjadi pengganti jawaban lisan darinya. Genggaman tangannya dipererat untuk meyakinkan sang bidadari bahwa dia baik-baik saja. Dia hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan segala asa yang dipendamnya sekian lama. Dibawanya Nagisa menuju sebuah kursi yang tersandar pada sebuah pohon sakura di tepi jalan setapak yang selalu mereka lalui untuk pulang ke rumah masing-masing. Naoto duduk setelah mempersilakan Nagisa untuk duduk terlebih dahulu. Permata browniesnya menatap ke langit, memanjatkan sebait permohonan dalam hati.

“Nao-kun, kau lelah? Yakin kau baik-baik saja?”

Perlahan, arah pandang matanya kembali lurus ke depan sebelum kemudian bergerak menatap sang bidadari di sampingnya yang menunjukkan ekspresi cemas. Sekali lagi Naoto hanya menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepala. Jemari tangan kanannya kini berada di pipi sang bidadari, mengelusnya lembut. Nagisa hanya menatapnya dengan wajah yang mulai bersemu kemerahan—sesekali mengerjapkan permata ebony yang sehitam malam.

'Cause everything that brought me here.
Well, not it all seems so clear.
Baby, you're the one that I've been dreaming of.
If anyone can make me fall in love, you can.


“Be mine.”

Bidadarinya terdiam. Sebuah jeda yang membuat adrenalin dalam tubuh Naoto berpacu cepat. Beberapa saat kemudian, jemari sang bidadari perlahan merayap meraih jemari si anak laki-laki yang masih berada di pipinya—meremasnya pelan. Permata ebony sang bidadari mulai berkaca-kaca sebelum kemudian meneteskan sebutir kristal cair yang bening dalam satu kedipan. Bidadarinya tak menjawab dengan kata-kata. Kedua lengannya dengan cepat melingkari leher Naoto yang menanti jawabannya, membuat dahi dan hidung mereka bersentuhan. Mata bertemu mata. Lama mereka bertatapan, seolah sedang mengirimkan dialog demi dialog yang tak mampu diungkapkan lewat kata sebelum akhirnya bibir mereka bertaut. Tak ada lagi yang perlu diucapkan. Bidadari itu kini telah menjadi bidadarinya.

This is where it all begins.
So tell me it will never end.





Silakan komen. Ini pertama kalinya buat FF. Butuh banyak saran dari para senpai sekalian :P
Credit to David Archuletta - You Can

Selasa, 01 Desember 2009

Kelas Olahraga Selasa Pagi

PANAS! Baseball Field terasa seperti kuali raksasa hari itu, padahal minggu lalu tidak sepanas ini rasanya. Rasanya terik matahari seperti menusuk-nusuk kulit Naoto yang putih itu. Untung saja dia sudah memakai topi sehingga terik matahari tidak mengenai kepalanya langsung, bisa-bisa kepalanya pusing mendadak dan tak bisa ikut kelas olahraga. Iya, kelas olahraga. Kau tak salah baca, kok.

Aneh memang melihat seorang Naoto berolahraga, kalau okaasan tahu, mungkin dia akan langsung dijemput pulang ke rumah dan dikurung dalam kamar. Sebenarnya dia ingin bilang pada sensei yang hobi meniup-niup peluit itu—Naoto sudah memakai penyumbat telinga sehingga bunyi peluitnya tak terlalu menyakitkan, ngomong-ngomong—mengenai kondisi jantungnya. Tapi bocah jangkung itu merasa hal itu belum perlu melihat pelajaran kali ini juga hanya lempar-tangkap bola baseball—kali ini sungguhan, bukan bola tenis. Lagipula, kegiatan itu menyenangkan daripada harus melamun sendirian menonton teman-temannya bersenang-senang. Tubuh kurusnya ini setidaknya butuh sedikit olahraga supaya tidak penyakitan, asal tidak terlalu diforsir pasti akan baik-baik saja.

Setelah melakukan pemanasan seadanya dan semampunya—meniru teman-teman yang lain—Naoto memakai glove-nya lalu melempar-lempar bola baseballnya ke udara dan menangkapnya kembali.

Well—who wants to be my partner? Naoto cukup jago main lempar-tangkap, kok.

Tawaran yang disebutkan dalam hati tersebut langsung mendapat respon dari seseorang yang langsung melemparkan bolanya lurus ke arah Naoto. Bola tersebut melesat begitu kencang dan membuat Naoto terbelalak karena sama sekali tak menyangka bola akan datang begitu cepat bahkan sebelum dia mengiyakan ajakan orang itu. Dengan gerakan refleks, Naoto mengangkat tangan kirinya yang dilindungi glove tebal ke depan wajahnya.

Syuuut—

BUKK

Bola tersebut menabrak dinding glove yang empuk. Fiuh—Naoto menghela napas lega. Nyaris saja wajah gantengnya memar-memar karena lemparan serampangan seseorang. Malang benar berpasangan dengan orang seperti itu. Naoto mengarahkan browniesnya, hendak memastikan siapa sang pelempar. Dan sekali laga matanya terbelalak—mulutnya ternganga.

"Tuan Kepiting?! Galak seperti biasa ya, bro!" ujar Naoto sambil menggelengkan kepalanya.

Masih dendam rupanya?

****

Yeah, Tuan Kepiting jelas masih kesal padanya--terlihat jelas dari ekspresi wajah dan sorot matanya pada Naoto. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut masalah aib Tuan Kepiting di onsen, kesalahan tidak sepenuhnya berada di pihaknya. Toh, si Tuan Kepiting yang terlebih dahulu menuduhnya buang gas. Sudah bagus Naoto menutupi kenyataan perihal pelaku polusi udara yang sebenarnya. Ya sudahlah, manusia kalau malu pasti tingkah dan pikirannya jadi aneh--contohnya si Tuan Kepiting di hadapannya ini yang sekarang sibuk berteriak-teriak. Semangat sekali dia.

Dengan punggung tangannya, Naoto menggosok-gosok hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal. Mudah-mudahan bukan pertanda pilek, akan sangat menyebalkan jika terkena pilek di sekolah yang menyenangkan ini. Seringai nakal kembali terlukis di wajah kurusnya, kedua browniesnya menatap mata sang kepiting pemarah dengan binar-binar penuh tawa.

Biar saja dia marah-marah. Di mataku, justru terlihat lucu. Kalau diasah, sebenarnya dia bisa jadi asistenku di masa depan.

"Oke, oke, Tuan Kepiting. Kulempar bolanya sekarang. Sabar, honey," ujar Naoto iseng sembari mengambil ancang-ancang melempar bola--meniru pitcher yang sering dilihatnya di televisi. Tak kalah cepat dengan lemparan Tuan Kepiting--bola baseball tersebut melesat cepat bersama angin ke arah hidung sang kepiting.

"YOOSSSHHHAAA--"

****

Wow! Rupanya Naoto berbakat juga menjadi pitcher baseball meski dia hampir tak pernah berolahraga. Lihat saja lemparannya tepat pada sasaran dan hampir saja bola lemparannya itu mencium hidung Tuan Kepiting. Dengan sebuah lompatan mundur ditambah dengan tabrakan dengan anak lain, Tuan Kepiting berhasil menangkap bolanya. Bagus! Naoto tak salah menilai bocah di hadapannya itu. Mereka memang cocok menjadi partner—batin Naoto sembari mengusap hidung dengan ibu jarinya. Entah kenapa tiba-tiba hidungnya terasa gatal.

"O-OI! LIHAT-LIHAT KALAU MAU LEMPAR, MONYET GUNUNG!"


Seperti biasa, Tuan Kepiting marah-marah lagi. Memangnya sejak kapan bocah satu itu tidak marah-marah? Rasanya, Tuan Kepiting memang dilahirkan hanya dengan satu macam emosi di otaknya. Kasihan juga, ya. Padahal kalau dia tersenyum pasti akan terlihat tampan meskipun Naoto jelas lebih tampan.

"Jangan marah-marah terus, honey! Nanti gantengnya hilang, lho," ujar Naoto pada Tuan Kepiting—setengah berteriak.

Tiba-tiba saja sensasi gatal menyerbu di hidungnya, gosokkan lengan di hidungnya pun tak mampu menghentikan sensasi yang menggelitiknya dan menggodanya untuk bersin.

Ha—hatshhyiiiii—

"Sebentar ya, Honey!"

Ha—hatshhyiiiii—

Bocah jangkung itu masih menggosok-gosok hidungnya—rasanya dia benar-benar kena flu—dan tak sadar bahwa Tuan Kepiting telah melemparkan bolanya dua kali lebih cepat dari lemparan pertamanya. Bola melaju dengan kencang ke arah Naoto yang masih sibuk dengan hidung mancungnya. Kristal browniesnya kontan membelalak ketika tiba-tiba menyadari kedatangan benda bundar tersebut.

BUKK.


Bola tersebut menabrak dinding dada Naoto dengan keras tanpa bisa dihindarinya. Naoto jatuh berlutut di atas hamparan rumput sambil memegangi dadanya. Sial—Dia melengkungkan punggungnya sehingga kepalanya kini menyentuh tanah. Wajahnya memerah menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Untung saja yang terkena bukan dada sebelah kirinya. Nyaris.

"Uggh—" bocah itu mengerang kesakitan. Tak ada yang menyadari sebuah seringai kecil hadir di sudut bibir sang bocah.

****

Sial. Lemparan Tuan Kepiting benar-benar keras. Naoto yakin, di dadanya pasti tertinggal bekas memar berbentuk bundar nanti. Meski bocah itu bersyukur lemparannya bukan menabrak dada bagian kirinya, tetap saja rasanya sakit dan membuatnya kaget setengah mati. Tiba-tiba detak jantungnya terasa semakin cepat dan membuatnya merasa sesak. Seringai iseng yang tadi sempat hadir di wajahnya kini menghilang. Kepanikan mulai melanda dirinya sehingga membuatnya semakin sulit bernafas. Wajahnya pucat pasi. Pilek yang sedari tadi mengganggunya kini benar-benar mempersulit keadaannya. Bisa bayangkan kau bersin-bersin saat menarik nafas saja begitu sulit?

Oh, please. Jangan. Kumohon jangan kambuh sekarang.

Dia bisa mendengar seseorang berlari ke arahnya. Ya, seperti yang diduganya, Tuan Kepiting si pelaku lemparan maut itu yang menghampirinya. "Hei-hei, monyet gunung! Kau tak apa-apa?" Naoto bisa mendengar ekspresi panik dari nada suara bocah di hadapannya itu. Naoto berusaha menganggukan kepalanya agar Tuan Kepiting berhenti mencemaskan dirinya. Tapi ternyata, bocah satu itu malah berteriak memanggil sensei.

Bodoh—

"JUNTA-SENSEI! ADA MON--eh, ANAK YANG JATUH TERKENA BOLA!"

Cepat-cepat Naoto membungkam mulut anak itu dengan kedua tangannya sambil berharap sensei tidak mendengar teriakannya. Semoga saja peluit yang ditiupnya keras-keras itu sedikit membuat telinganya tuli. "Ja.. jangan," ujar Naoto terbata-bata, berusaha menghirup oksigen sebisanya. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya.

Perlahan bocah jangkung itu bangkit berdiri dengan susah payah lalu berbisik ke telinga partnernya, "Kita.. lanjutkan." Kemudian, dengan sedikit terhuyung bocah itu berjalan menjauhi Tuan Kepiting dan melemparkan bola ke arahnya. Lemparan yang lemah. Hanya melayang sekitar satu meter sebelum kemudian bola tersebut jatuh ke tanah. Naoto memandang partnernya dengan tatapan meminta maaf. Pandangannya sudah mulai kabur tapi dia harus bertahan sampai tugasnya selesai dan dia bisa beristirahat di klinik.

****

Bocah jangkung itu berdiri di tengah lapangan. Sekelilingnya kini tampak kosong dalam pandangan permata browniesnya. Pijakannya sedikit goyah namun dia tetap berusaha berdiri tegak. Dia belum ingin menyerah. Tidak di depan orang banyak seperti ini. Terik matahari yang menyengat terasa dua kali lebih panas di kulitnya, suhu tubuhnya mendadak meningkat—demam. Sempurna. Flu kini benar-benar resmi menyerangnya ditambah dengan serangan jantung ringan karena tertabrak bola baseball yang keras. Brengsek. Perlahan bocah itu melepas topinya dan membantingnya ke tanah. Sebuah bantingan lemah untuk melampiaskan kemarahannya pada diri sendiri. Baru kali itu dia merasa benar-benar benci dengan kelemahannya.

Hhh—

Hhh—

Tubuhnya benar-benar sudah tak bisa diajak kompromi lagi, pandangannya sudah benar-benar buram dan mulai gelap. Bocah jangkung itu jatuh terduduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menggerak-gerakan tulang lehernya seolah berharap hal itu bisa membuatnya sedikit lebih sadar. Nihil. Pandangannya tetap buram dan gelap. Seperti melihat layar hitam putih.

Samar-samar didengarnya suara partnernya datang menghampiri dirinya—kesadarannya sedikit kembali. Bocah itu hanya menganggukkan kepala namun dia tak sanggup bergerak. Kemudian Nagata pergi meninggalkannya sebentar dan kembali membawa sekaleng cola untuknya. Dalam diam Naoto menerima kaleng cola yang dingin tersebut dan menempelkannya di kening.

"Maaf soal tadi kalau lemparanku terlalu keras,tapi jujur aku tak menyangka kalau... kau ternyata payah ya."

Naoto sedikit tersentak mendengar pernyataan dari Nagata. Bocah itu tersenyum miris. Ya, dia tahu, dia memang payah. Bukan sosok laki-laki yang kuat dan aktif seperti bocah yang dia juluki Tuan Kepiting atau yang lainnya. Dia tak bisa diandalkan dalam hal apapun. Meramaikan suasana, mungkin itu pun sesungguhnya hanya topeng yang dia kenakan untuk menutupi kekecewaannya pada diri sendiri.

"Kau benar. Aku... memang... payah," ujar Naoto pelan di sela nafasnya yang sesak. Perlahan tubuh kurusnya kehilangan tenaga, tak mampu lagi menopang berat badannya sendiri. Kesadaran pun seolah ditarik dari dalam dirinya, pandangannya semakin gelap.

BRUKK.

Dan tubuh kurus Naoto kini tergeletak lemah di pangkuan Nagata. Matanya terpejam. Wajahnya pucat kebiruan.

Maaf karena monyet gunung ini payah, Tuan Kepiting...

****

2 post terakhir dari Tuan Kepiting.. keren..
__________________________________________________________________
Naga mengerling heran pada si monyet gunung norak di sebelahnya ini. Benar-benar sakit, sepertinya, meski Naga mendiamkannya saja. Bukan berarti Naga kejam atau apa, hanya saja rasanya tidak etis bila kau melihat orang sedang kesakitan seperti bahan tontonan. Jadi Naga memilih diam di sebelah si Monyet Gunung ini, meneruskan meminum cola-nya sambil sesekali melayangkan pandangannya ke anak-anak perempuan yang masih bermain lempar-tangkap bola. Koreksi, ternyata ada anak laki-laki juga. Ahh si Fujiwara itu, selalu saja berhasil menipu matanya.

Oke, sekarang mulai jadi benar-benar aneh. Bagaimana bisa monyet gunung supernorak itu mengakui bahwa dirinya memang payah? Naga jadi tidak enak sendiri telah mengata-ngatainya. Ah, tidak-tidak. Jangan tertipu dulu! Siapa tahu ini hanya tipu daya anak itu supaya bisa mengerjainya lebih parah lagi. Yeah kita tunggu saja sejenak, pasti anak itu akan melakukan hal norak lainnya tidak lama—

BRUKK!

—lagi. Benar 'kan apa kata Naga? Apa-apaan anak ini tahu-tahu jatuh di pangkuannya? Naga yang ketika itu tengah menenggak tegukan terakhir cola-nya, jadi tersedak dan tanpa sengaja menyemburkannya ke kepala si monyet gunung. Yeah, baguslah, hitung-hitung 'menyegarkan' ke kepalanya. Naga bersiap-siap untuk menerima protes dari si anak norak, atau setidaknya, tapi—tidak ada reaksi. "O-OI! BANGUN, MONYET GUNUNG!", Naga mengguncang-guncangkan tubuh anak itu, namun tetap tidak ada reaksi. Dan jidat anak ini benar-benar panas, omong-omong.

Sepertinya anak ini benar-benar sakit sampai pingsan, kalau memang belum bisa dibilang mati. Entahlah, Naga sama sekali tidak mengerti tentang hal-hal yang berbau medis. Memberikan napas bantuan atau memberikan pertolongan pertama, tetek-bengek seperti itu sama sekali tidak dikuasainya. Sial, kalau begitu hanya ada satu cara, membawa monyet gunung ini ke klinik sekolah.

"Ikuya, tolong laporkan pada Junta-sensei kalau ada mon—anak yang pingsan. Aku akan langsung membawa Mo—er Matsushima ke klinik," ujar Naga pada Ikuya yang berada tidak jauh darinya. Tadinya Naga hendak berteriak memanggil Junta-sensei seperti sebelumnya, tapi tampaknya cara itu tidak efektif. Kemudian Naga membalikkan posisi tubuh si monyet gunung, dan menggendongnya pada bahu-nya untuk bergegas ke klinik seperti pemadam kebakaran menggendong korban kebakaran. Bukan menyamping seperti pangeran menggendong putri, tentu saja. Memangnya kau kira Naga apa?

Dan ini bukan cerita drama percintaan, asal kau tahu.
Ini cerita tentang—
—permusuhan jadi persahabatan?
Bukan, lebih tepat cerita tentang anak ketiban sial yang terpaksa mengurus anak tak tahu diuntung.

__________________________________________________________________
Naga kesusahan setengah mati menggendong monyet gunung yang ternyata beratnya tidak sebanding dengan julukannya yang terdengar enteng. Tapi, anak-anak lain malah membombardirnya dengan segudang pertanyaan tentang monyet gunung yang tergolek lemah dalam gendongan Naga. Euh, tidak adakah yang tahu betapa beratnya monyet gunung ini, anak-anak manis? Untuk bernapas saja Naga sudah kesulitan, apalagi untuk menjawab semua pertanyaan yang sama berulang-ulang seperti burung beo. Dan tidak adakah yang sadar bahwa semakin cepat monyet gunung ini diantar ke klinik akan semakin baik baginya? Dan bagi Naga juga sebenarnya. Bahunya mulai terasa terbakar karena berat si Monyet gunung ini.

"Entahlah, yang jelas dia sakit dan harus dibawa ke klinik," jawab Naga pendek kepada Mizuno yang terlihat panik, sambil terus berjalan menjauhi lapangan baseball. Sebenarnya Naga ingin menceritakan kronologi-nya dari sebelum monyet gunung ini pingsan, tapi tidak ada waktu. Nanti saja belakangan. Takafumi yang sepertinya tadi berpasangan dengan Ikuya juga mendekatinya dan berkomentar--err, lebih tepatnya mencela si monyet gunung dan mengata-ngatainya lemah. Ohh, jadi kau pikir kau kuat hanya karena bisa main lempar bola, eh?

"Dia sakit dan tutup mulut manis-mu, Nona, suatu saat kau bisa saja bernasib sama dengannya, dan kalau itu terjadi, jangan harap ada yang menolongmu dengan sifatmu yang seperti ini," ujar Naga dengan ekspresi sedingin es, pertanda ia sedang marah. Entahlah, meski Naga juga sering mencela monyet gunung ini, entah kenapa ia juga tidak terima bila ada orang lain yang mencela si monyet gunung. Cukup seorang Naga saja yang mencelanya, yang lain jangan. Naga yang masih terus berjalan pendek, kembali berpaling kepada anak lain yang menegurnya. Ternyata Fujiwara, dengan pertanyaan yang sama, meski lagi-lagi hanya dia yang selalu menawarkan tindakan nyata setelah berbasa-basi.

"Dia sakit, ikut saja, tapi bisa sekalian ambilkan tas miliknya? Mungkin saja di dalamnya ada obat," ujar Naga pada Fujiwara, sambil membenarkan letak gendongan si monyet gunung yang mulai melorot ke bawah, dan kemudian meneruskan perjalanannya kembali ke klinik. Setelah ini, mudah-mudahan saja tidak ada anak lain yang mencegahnya dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kalaupun ada, jangan salahkan Naga bila tidak mengacuhkannya.