Sabtu, 19 Desember 2009

Scar

[Nagata]

”Cepat, Yamada! Sebentar lagi kita sampai di puncak tebing”,
”Hhh… Hhh.. Sabar Hiroshi! Aku sudah agak lelah,”
“Ayo, kau pasti bisa! Ingat kata Toki-senpai, setelah sampai di atas, kita akan jadi anak paling hebat se-Osaka! Bukankah itu keren?”
”Ya! Pastinya itu akan keren sekali! Baiklah, aku datang, Hiroshi!”


Naga tak pernah menyangka ajakannya untuk memanjat tebing dengan Yamada akan ia sesali seumur hidupnya. Hanya karena termakan bualan kakak-kelasnya untuk memanjat tebing karang setinggi 20 meter yang terletak di pinggir pantai dekat sekolahnya itu, Naga membujuk teman dekatnya di sekolah—Yamada Takakura, untuk turut memanjat. Sama sekali tidak menyadari resiko di balik ulah nakalnya sedikitpun. Yeah, nyawa. Naga rela memberikan apapun miliknya, termasuk nyawanya kalau bisa, agar ia bisa mengulang waktu dan memperbaiki semuanya. Tapi ia tidak bisa. Tidak pernah. Dan tidak akan bisa.

”Hiroshi! Lihat, dibawah indah sekali!”
“Yeah, kau benar“
“AAARGH! Topi-ku jatuh!”
“Hey! Biarkan saja topinya, nanti kau jatuh!”
Tidak apa, aku akan ambil—AAAAAAAAAAARGH!
“Tidak. Kubilang HENTIKAN, YAMADA!

***

Tidak seperti biasanya, Naga menghadiri kegiatan klub Jum’at itu dengan lesu. Lingkaran hitam yang membayang di bawah matanya, mempertegas betapa buruknya penampilannya saat itu. Lagi, untuk ketiga-kalinya berturut-turut sejak hari Selasa, Naga bermimpi buruk. Dan bagaimana bisa mimpi-nya selalu sama persis dan seolah benar-benar nyata? Melelahkan sekali mengalami mimpi buruk yang sama berulang-ulang, asal kau tahu. Apalagi, mimpinya ini selalu membangkitkan kenangan buruk lima tahun lalu, ketika ia tidak sengaja membunuh seorang Yamada Takekura. Kejadian ini pula yang membuatnya terkadang menjaga jarak dari anak-anak seumurnya, dan amat berhati-hati dalam berteman. Yeah, Naga takut kelepasan ‘membunuh’ lagi. Selasa kemarin, nyaris saja ia mengulangi hal yang sama. Beruntung Monyet Gunung tidak kenapa-kenapa, hanya saja Naga masih menjaga jarak dengannya.

Hari menjelang sore, dan akhirnya latihan bola pun selesai. Satu demi satu teman-teman satu klub-nya meninggalkan lapangan, hingga tinggal ia sendiri yang berada di sana. Naga membasuh mukanya di keran dekat lapangan bola, membersihkan keringat yang mengalir deras di pelipisnya karena kelelahan. Genangan air di tanah memantulkan cahaya dan merefleksikan wajahnya dengan sempurna. Masih ada. Deretan luka jahitan sepanjang delapan centimeter itu masih berjejer rapi di dahinya, meski seringkali tak terlihat karena tertutup poni. Luka yang menjadi bukti nyata bahwa Naga juga turut terjatuh ketika hendak menolong temannya dalam insiden lima tahun lalu itu. Hanya saja terdapat perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Naga selamat, sementara Yamada tidak.

” Sudah puas kau menghilangkan nyawa orang, eh Hiroshi?”
JDUGG!
”Jangan berteman dengan Nagata! Nanti kau mati bila tak mengikuti keinginannya!
JDUGG!
”Pembunuh! PEMBUNUH!!”
JDUGG!

Naga menendang bola-nya ke arah dinding luar sports hall, pantulan bola-nya ia tendang kembali ke tembok, semakin lama semakin keras, untuk melampiaskan rasa frustasi-nya. Tidak perduli akan kaki-nya yang mulai lebam. Entah karena pemuda tanggung itu kurang tidur, atau karena panas matahari yang begitu menyengat siang itu, pikiran Naga mulai melantur dan berhalusinasi. Celaan dan makian orang-orang yang tidak terima bahwa Yamada telah meninggal dan beralih menyalahkan dirinya, mulai bergaung kembali di telinga Naga. Dan harap dicatat, tidak ada satupun yang perduli bahwa Naga juga terluka. Tidak ada. Bahkan kedua orangtuanya seolah malu telah memiliki anak seorang ‘pembunuh’ seperti dirinya. Apalagi keempat kakaknya yang sejak saat itu cenderung mengacuhkannya di depan publik dan tidak mengakuinya sebagai adik.

JDUGGG!

Tendangan terakhir-nya begitu keras sampai bolanya memantul tinggi sekali dan hilang entah kemana. Naga tidak berusaha sama sekali untuk mengambilnya. Ia kelelahan, baik fisik maupun mental. Melangkah gontai ke bangku terdekat, Naga berbaring di atasnya, kali ini mencoba jalan terakhir untuk melepaskan penat dan rasa frustasi-nya dengan memejamkan matanya—tidur. Menangkupkan sebelah tangan di atas matanya untuk menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan, Naga pun terlelap.

Keringat deras masih mengalir di sekujur tubuhnya.
Dan sekali lagi harap dicatat, setetes air yang mengalir di sebelah matanya, juga keringat.


[Naoto]

Tiga hari.

Tiga hari sudah terlewati sejak Naoto ambruk tak sadarkan diri di tengah kelas olahraga, membuat teman-teman dan sensei-nya terkejut dan kebingungan. Tiga hari itu pula, Nagata seolah-olah menganggap Naoto sebagai angin lalu yang tak terlihat di matanya. Atmosfer di sekeliling Naoto dan Nagata selama dua hari itu terbilang sangat suram. Masing-masing terlihat saling menghindar meski sebenarnya Naoto ingin menyapa tapi mengurungkan niatnya tiap kali bertemu muka dengan Nagata. Tak ada celaan-celaan dan adu mulut yang biasanya terdengar saat kedua bocah itu bertemu. Bukan berarti Naoto suka dicela, tapi celaan dari Nagata justru membuat dia lebih bersemangat untuk mengisengi si pencela. Bisa dipastikan, semua orang yang mengenal duo monyet gunung dan tuan kepiting pasti bertanya-tanya ada apa gerangan di antara mereka berdua. Mungkin hanya Yuuji, Hiro, Tetsu dan Aoi yang tahu persis apa yang membuat kedua bocah itu bertingkah aneh begitu.

Tak tahan sudah Naoto bersabar dengan keadaan yang aneh seperti ini, sulit untuk bersikap ceria jika partner debatnya yang satu itu mengacuhkannya. Rasanya seolah ada lubang besar dalam hatinya dan itu jelas terasa tak enak, membuatnya jadi sulit tidur setiap malam. Terlebih lagi, dia dan Nagata berada dalam satu kamar dan tempat tidur mereka juga berdekatan sehingga Naoto bisa dengan mudah melihat sosok Nagata yang dua hari ini selalu memunggunginya.

Entah sejak kapan, keberadaan Nagata telah menjadi satu poin penting dalam dirinya. Meski mereka hampir selalu terlihat bertengkar, bisa dibilang di situlah letak keakraban mereka. Dan benang merah imajiner itu mengikat mereka berdua lebih erat daripada dengan ketiga temannya yang lain. Tolong jangan berpikir macam-macam. Apabila kau diacuhkan oleh sahabatmu, apa yang akan kau rasakan? Nah, persis seperti itulah yang Naoto rasakan sekarang.

Ditinggalkannya Fukupi di kamar setelah diberi titah untuk tidak mengikutinya. Dia ingin mencari Nagata dan meminta maaf secara langsung pada temannya itu berdua saja. Bila perlu, dia akan ceritakan semua rahasianya pada Nagata bila memang itu bisa membuat Nagata kembali pada sikapnya yang biasa.

Naoto mengenakan hoodie putih tanpa lengan dan celana jeans gelap. Hari sudah menjelang sore, cuaca pun sudah tidak terlalu panas sehingga bocah jangkung itu memberanikan diri untuk keluar setelah tiga hari penuh beristirahat di kamar memulihkan diri. Demamnya sudah turun sejak semalam dan kondisi jantungnya sudah sehat kembali, flunya sudah berlalu pergi dari tubuhnya. Diayunkannya kedua tungkai panjangnya ke arah gymnasium, Naoto yakin Nagata ada di sports hall. Hari ini jadwal latihan klubnya, bukan?

Tinggal beberapa langkah menuju sports hall ketika tiba-tiba sebuah bola mendarat di dekat kakinya. Naoto memungut bola tersebut dan kembali melangkah menuju sports hall untuk mencari Nagata. Beruntunglah dia karena dengan cepat ditemukannya Nagata, tertidur di sebuah bangku di dekat lapangan. Sebelah tangannya ditangkupkan di atas matanya. Naoto menghampirinya dengan langkah perlahan, tak ingin membangunkan bocah yang terlihat kelelahan itu. Diletakannya bola yang tadi dipungutnya di bawah bangku yang ditiduri Nagata dan browniesnya menangkap sesuatu yang janggal di wajah Nagata. Ada setetes air mengalir di sebelah matanya. Tuan Kepiting menangis?

Ditepuknya lengan Nagata perlahan. Memang tadinya dia tak berniat membangunkan Nagata, tapi melihat keadaan temannya saat ini, Naoto merasa tak boleh meninggalkannya begitu saja.

"Tuan Kepiting, kau tak apa-apa?"


[Nagata]

“Oh, kau…”,

Naga terbangun kaget dari tidurnya, ketika ada seseorang yang membangunkannya. Yeah, itu Monyet Gunung. Tapi jujur saja, Naga agak kecewa mendapati si Monyet Gunung ini yang membangunkannya. Entahlah, di saat suram begini Naga berharap seseorang yang lebih lembut yang membangunkannya, yang setidaknya dapat menjadi sandaran bagi dirinya sejenak. Err, harap dicatat yang Naga maksud bukan laki-laki, tentunya. Maaf saja, Naga masih normal. Tadi dia sedikit berharap yang membangunkannya, err.. Ishibashi adik, mungkin? Whoa, mimpi saja kau, Naga!

Naga menguap lebar dan mengucek-ngucekkan matanya yang masih berat karena mengantuk. Sejenak, dalam kesadarannya yang masih belum kembali sempurna dari alam bawah sadarnya, Naga sama sekali lupa kalau ia sedang menghindari anak laki-laki di sebelahnya ini. Sifat monyet gunung ini di klinik dulu tidak dapat diterimanya--pertama, anak ini berbohong dan kedua, dia 'membuang' teman-temannya begitu saja dan lebih memilih si tikus biru keparat itu. Yea, sebenarnya Naga tahu dua alasan itu tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan, apalagi untuk ukuran laki-laki, tapi yah, entahlah, Naga sudah terlanjur kesal. Dan mungkin tidak ada yang terlalu menyadari, tapi sejak di klinik itu, Naga tidak hanya menjauhi Monyet Gunung saja, tapi ia juga menjaga jarak dengan Fujiwara, Ikuya, Natsuume-senpai, dan teman-temannya yang lain. Atau mungkin Naga akan lebih memilih tidak punya teman sekalian jika ia bisa. Rekornya dalam berteman tidak terlalu baik. Statusnya masih seorang mantan pembunuh, kau ingat? Beruntung keluarga Yamada tidak menuntutnya ke polisi, jika hal itu terjadi, mungkin Naga tidak akan ada di sini sekarang.

"Bukan urusanmu," ujarnya dingin, ketika Naga sudah benar-benar terbangun dari tidurnya. Mengambil handuk kecilnya dari tas olahraganya yang terletak di bawah bangku, Naga mengelap keringat di wajah dan lehernya, sedikit berusaha mengusapkan handuknya lebih keras pada keningnya, namun tentu saja sia-sia. Guratan luka jahitan itu masih berada di sana. "Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu," lanjutnya lagi dengan nada dingin sambil menatap tajam Monyet Gunung.



[Naoto]

Naoto menghempaskan bokongnya ke tanah dan bersandar pada bangku yang diduduki Nagata alih-alih duduk di petak kosong bangku di samping bocah galak itu. Kaki kanannya dia luruskan sedangkan yang kiri dia tekuk untuk lengannya bersandar. Ya, sang Tuan Kepiting sudah terbangun dari tidurnya dengan wajah tetap masam, dia tak senang Naoto ada disana. Wajar, saat ini keberadaan Naoto pasti sangat mengganggu apalagi bila Nagata benar-benar habis menangis. Tadinya Naoto hendak beranjak pergi meninggalkan Nagata karena merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf, namun bocah jangkung itu membatalkan niatnya ketika serangkaian kata bernada menuntut mengalir keluar dari bibir Nagata.

"Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu,"

Naoto menghela nafas sembari menyunggingkan seulas senyum tipis yang mungkin tak terlihat oleh Nagata karena posisi duduknya. Ditengadahkannya kepala ke atas, kedua permata sewarna browniesnya mengarah ke langit dengan tatapan kosong. Langit mulai mengeluarkan semburat kemerahan dan matahari mulai bersembunyi di balik awan seputih kapas. Naoto menggigit bibirnya sekilas sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya pada Nagata.

"Ya, aku tahu. Maka dari itu aku kemari mencarimu," ujar Naoto singkat. Kini kepalanya sedikit tertunduk, tak lagi menatap Nagata. Tangan kanannya bergerak perlahan menuju ke dada kiri lalu ditempelkan telapak tangannya disana. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya sebelum akhirnya kisah yang selama ini dia tutupi perlahan mengalir seiring gerakan bibir tipisnya.

"Kau... pernah melihat bekas luka memanjang di dadaku ini, kan? Waktu usiaku satu tahun, aku mengalami kecelakaan bersama orangtuaku. Sebuah pipa besi berdiameter tiga sentimeter menembus dada kiriku dan melukai jantungku. Beruntung saat itu aku berhasil diselamatkan meski jantungku cacat dan lemah sampai sekarang." Jeda sejenak. Bocah jangkung itu melirik sekilas pada Nagata lalu menelan ludah yang tersangkut di kerongkongannya. "Hal itu membuatku sakit-sakitan, makanya aku lebih sering tidur di kamar karena demam atau flu ketimbang bermain-main di luar asrama setelah kelas berakhir. Aku juga tak bisa ikut klub olahraga meski aku ingin."

Naoto meluruskan kakinya dan sedetik kemudian dia telah berdiri untuk kemudian duduk kembali di bangku—di samping Nagata. "Penyakitku bukan asma.. tapi jantung."

Haruskah dia menjelaskan alasan mengapa dia menyembunyikannya?

Nanti saja, bila Nagata menanyakannya.

Rabu, 09 Desember 2009

Awal Terciptanya Fukupi

Dengan penuh semangat Naoto menghadiri kelasnya hari ini. Kelas mantra tentunya adalah sebuah bekal yang amat sangat penting bagi seseorang yang bercita-cita menjadi pesulap komedian yang sukses di masa depan. Bukan pesulap ajaib jika tidak bisa merapalkan mantra yang benar-benar mantra. Bukan sekedar abrakadabra biasa, atau sim salabim biasa seperti yang sering diucapkan oleh pesulap-pesulap yang non penyihir. Bocah itu sedikit berharap pelajaran hari itu bukanlah teori yang perlu membuka buku teks—yang selalu berhasil membuatnya tertidur pulas. Maka dari itu, bocah itu sangat girang ketika sensei yang mengajarkan mantra meminta mereka mengubah sebuah daifuku yang terlihat lezat menjadi seekor tikus. Lebih girang lagi saat sensei memberikan contoh langsung di depan mata murid-muridnya.

"Sugoi!!" ujarnya penuh semangat sembari mengeluarkan tongkat sihirnya dari dalam saku kimononya. Dengan tatapan serius, Naoto memandangi tongkatnya—tanpa sadar bibirnya sedikit maju membentuk kerucut sepanjang dua sentimeter (kalau panjang-panjang nanti bisa-bisa Naoto direkrut jadi gurita).

"Hey, Kappa Kribo! Kau harus bantu aku mengubah daifuku ini menjadi tikus sungguhan, ya! Jangan buat aku malu! Buktikan dirimu itu memang partnerku yang hebat!" Naoto memelototi tongkatnya dengan tampang serius kemudian dengan penuh semangat diayunkan Kappa Kribo (tongkat sihirnya, red) pada daifuku di atas mejanya.

"Ling gulang guling—," terdiam sesaat saat menyadari dia harus menggunakan kalimat dalam bahasa Jepang yang baik dan benar—berdeham, "Nezumi-chan, Nezumi-kun. Kono daifuku ni tamashii wo ageru*!!"

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

...



Daifukunya tidak berubah sama sekali. Naoto dengan penasaran mengangkat daifuku tersebut ke depan wajahnya, meniup-niupnya pelan dan tiba-tiba daifuku itu membuka matanya dan berkedip-kedip! MATA! DAIFUKUNYA BERMATA!!

"Wooow!! Sugeee—" ujar Naoto masih terpesona.

"Halo."

Suara siapa itu? Naoto menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang sedang mengajaknya bicara. Dengan bingung dia kembali menatap daifukunya yang kini punya sedang tersenyum memamerkan gigi-giginya. Daifukunya yang tadi bicara?

Hee?!!

Daifukunya benar-benar hidup!! Sugeee—

"Halo, daifuku-chan!"
ujarnya membalas sapaan si daifuku yang kini hidup kemudian mengelus-elusnya.




Sei-saja itu rupanya benar-benar hebat memilihkan tongkat sihir untuknya. Naoto masih ingat kalau tongkat sihir Kappa Kribonya ini bagus untuk mantra perubahan dan mantra ilusi. Dan lihat sekarang, dengan satu ayunan dan serangkaian mantra, daifukunya punya mata dan bisa bicara! Luar biasa, bukan? Sepertinya sebagian kecil dari jiwa Naoto terkirim masuk dalam daifuku tersebut. Aneh.

"Halo," ujar si daifuku sambil tersenyum dan mengerjap-ngerjapkan matanya pada Naoto yang masih sibuk mengelus-elus dan menatapnya terpesona. Daifuku itu masih bisa dimakan, lho. Tapi siapa yang tega memakan daifuku yang kini berjiwa itu?

"Halo juga Daifuku-chan," balas Naoto dengan cengiran riang, "Ngomong-ngomong, aku harus mengubah wujudmu menjadi tikus. Tapi, aku tak terlalu suka tikus. Bagaimana kalau hamster? Lagipula kalau dalam wujud seperti ini terus, kau lama-lama bisa membusuk."

Daifuku di hadapannya hanya mengedip-ngedipkan kedua matanya menandakan setuju dengan usul tersebut. Bagaimanapun, wujud hamster jelas lebih imut ketimbang tikus, apalagi tikus got yang hitam. Hiiy—Naoto tidak takut dengan tikus, sih tapi jijik karena tikus itu kotor dan baunya luar biasa.

"Fuku mau jadi hamster berwarna krem muda bergaris putih,"
ujar si daifuku meminta pada bocah yang sedang memegangnya itu.

Itu sih terlalu biasa. Aku suka warna biru muda.

Hey! Mana ada hamster berwarna biru muda?!

Lho, kau bisa telepati juga? Meccha sugee—

Pokoknya jangan biru muda! Fuku ini betina, lho!

Aku suka warnanya. Memang, sih belum ada hamster berwarna seperti itu. Tapi, sekarang akan ada!


Dengan cepat, Naoto menyambar Kappa Kribo dari atas mejanya dan mengayunkannya berlebihan dengan gaya norak. Meniru gerakan ibu peri di film kartun Cinderella.

"Hamusuta-chan, hamusuta-pyon. Daifuku no katachi, aoi hamusuta- ni kaemasu!!"

Huwaaaaaa—

Perlahan wujud daifuku itu berubah warna menjadi biru muda yang lembut lalu kumis tipis mulai tumbuh di bawah matanya. Sedetik kemudian, telinga mungil mencuat di atasnya dan tak lama kemudian daifuku itu telah sempurna menjadi seekor hamster biru muda seperti dalam bayangan Naoto. Hanya saja, hamster tersebut masih beraroma daifuku strawberry.

Jahat. Fuku bukan boneka! Hiks—

Jangan menangis. Wujudmu sangat manis, kau tahu? Dan namamu itu Fuku?

Manis seperti tersiram cat air begini?! Ya, namaku Fuku. Kenapa memang?

Fukupi lebih bagus. Oke?

^@&*&#(&*@_


Naoto memperhatikan sekali lagi wujud hamsternya. Sepertinya ada sesuatu yang kurang pas di hati Naoto dari bentuk hamsternya ini. Ya, telinganya terlalu kecil. Kalau telinganya lebar seperti dalam komik, pasti akan lucu sekali!

Jangan bodoh! Fuku ini hamster, bukan tokoh komik!

Naoto tak menggubris kata-kata protes dari Fukupi. Sekali lagi bocah tersebut membayangkan wujud yang diinginkannya dan mengayunkan Kappa Kribo ke arah kuping mungil Fukupi.

"Mimi-no, Mimi-ni. Kono mimi wo hirogatte!"

Dan perlahan kuping mungil Fukupi seperti mekar, membesar kira-kira sepuluh kali lipat ukuran awalnya. Membuatnya terlihat seperti tokoh Minnie Mouse. Dengan puas, Naoto mengecup kening sempit Fukupi yang cemberut. Ternyata sihir perubahan itu mudah, hanya perlu konsentrasi membayangkan wujud yang diinginkan dan serentetan mantra berima yang cocok dengan perubahan yang diinginkan. Voila! Bayangan itu terwujud begitu saja.

Kau ternyata tuan yang bodoh, gila, abnormal!

Tapi, akulah tuanmu, Fuku-pyon.

Fukupi saja sudah memalukan! Jangan panggil aku Fuku-pyon! Bodoh!

Ya, ya.


Meski marah-marah, Fukupi menurut saja ketika Naoto memasukkan dirinya ke balik lipatan kimono di dadanya dan melenggang keluar kelas. Tugasnya sudah selesai.

Kamis, 03 Desember 2009

You Can

DISCLAIMER : Founder dan Staff Ryokubita. Naoto Matsushima. Nagisa Tsukihara (charfik yang nanti akan masuk Ryoku juga :D)



Tokyo, 15 Mei 1998.

Bocah jangkung itu berdiri bersandar pada gerbang Ryounan Koukou yang kokoh, kepalanya tertunduk, terlihat mengantuk. Surai kecoklatannya berkilau tertimpa sinar matahari yang hangat siang itu. Permata browniesnya bersembunyi di balik kelopaknya yang tertutup. Perawakannya tinggi kurus, terlampau tinggi memang bagi anak seusianya. Membuatnya seringkali jadi pusat perhatian terlepas dari sikap konyolnya.

Sekolah telah usai, murid-murid berlarian keluar dari gerbang sekolah seolah ingin cepat-cepat pergi dari sana. Beberapa anak terlihat asyik mengobrol, merencanakan acara jalan-jalan sepulang sekolah. Beberapa anak terlihat lesu karena nilai ujian yang tidak terlalu bagus. Beberapa anak lain terlihat bergandengan tangan dengan senyum malu-malu terlukis di wajah mereka.

Bocah jangkung itu tak bergeming dari tempatnya bersandar, seolah tak menyadari beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Seolah tak mendengar beberapa sapaan ramah dari gadis-gadis yang lewat di depannya. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sembari menunggu seseorang.

“Nao-kun. Maaf lama menunggu.”

Perlahan kelopaknya terbuka, memperlihatkan sepasang permata brownies yang tersembunyi di baliknya. Bocah dengan label Naoto Matsushima itu tersenyum. Seseorang yang dinantinya kini telah hadir di hadapannya, tersenyum lembut pada dirinya. Senyum yang selalu terbayang dalam benaknya selama satu bulan terakhir. Senyum yang selalu membuatnya merasa lebih baik saat perasaannya sedang dirundung awan gelap. Senyum milik seorang bidadari bersurai keemasan yang begitu dicintainya—Nagisa berbeda dari gadis-gadis lain yang dikenalnya. Hanya Nagisa yang mampu membuka pintu hatinya yang tertutup rapat, membuatnya kembali menjejakkan kakinya sekali lagi ke bumi, menunjukkan pada dirinya bahwa hal-hal baik datang pada mereka yang mau menanti. Nagisa juga adalah salah satu hal baik yang datang padanya. Dan hari ini, Naoto hendak menyatakan perasaan yang telah lama dipendamnya. Dia tak mampu lagi bersabar untuk menjadikan bidadari yang berdiri di hadapannya saat ini menjadi miliknya. Menjadi bidadarinya seorang.

Nagisa Tsukihara. Itulah nama yang dilabelkan pada bidadari di hadapannya yang kini menggandeng lengannya, menariknya dari sandarannya pada gerbang kokoh Ryounan Koukou. Naoto menurut dan melangkah di sisi sang bidadari. Keceriaan yang biasanya melekat padanya, siang itu seolah tenggelam ditelan aliran kegugupan yang mengalir deras dari lubuk hatinya yang terdalam.

Tell me I’m not on my own.
Tell me I won’t be alone.


Tungkainya terus melangkah sementara permata kembarnya tak mampu lepas dari wajah Nagisa, mengamati lekuk demi lekuk halus yang membentuk wajah seorang bidadari berambut emas yang telah merebut hatinya. Bidadari yang telah menyelamatkannya berulang kali dari keterpurukan. Bidadari yang mengenal dirinya bahkan lebih dari dirinya sendiri. Bidadari yang mampu menembus topeng joker yang selama ini selalu dikenakannya untuk menutupi kelemahan dan kekecewaannya. Oh, betapa bocah jangkung itu begitu memujanya.

Tell me what I’m feeling isn’t some mistake.
‘Cause if anyone can make me fall in love, you can.


Dirinya tak pernah tahu bahwa dia akan bisa begitu menginginkan gadis di sampingnya itu. Menginginkannya menjadi hanya miliknya seorang. Berharap semoga perasaannya itu bukanlah sebuah kesalahan, berharap bahwa keputusannya hari ini takkan menjadi awal dari sesuatu yang menghancurkan sayap sang bidadari. Naoto tersenyum lembut saat Nagisa menatapnya, menembus ke dalam permata browniesnya, mencari tahu apa gerangan yang membuat dirinya terdiam seribu bahasa dalam perjalanan pulang mereka.

“Kau baik-baik saja, kan? Nao-kun?”

Senyuman tipis dan anggukan ringan menjadi pengganti jawaban lisan darinya. Genggaman tangannya dipererat untuk meyakinkan sang bidadari bahwa dia baik-baik saja. Dia hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan segala asa yang dipendamnya sekian lama. Dibawanya Nagisa menuju sebuah kursi yang tersandar pada sebuah pohon sakura di tepi jalan setapak yang selalu mereka lalui untuk pulang ke rumah masing-masing. Naoto duduk setelah mempersilakan Nagisa untuk duduk terlebih dahulu. Permata browniesnya menatap ke langit, memanjatkan sebait permohonan dalam hati.

“Nao-kun, kau lelah? Yakin kau baik-baik saja?”

Perlahan, arah pandang matanya kembali lurus ke depan sebelum kemudian bergerak menatap sang bidadari di sampingnya yang menunjukkan ekspresi cemas. Sekali lagi Naoto hanya menyunggingkan senyum dan menggelengkan kepala. Jemari tangan kanannya kini berada di pipi sang bidadari, mengelusnya lembut. Nagisa hanya menatapnya dengan wajah yang mulai bersemu kemerahan—sesekali mengerjapkan permata ebony yang sehitam malam.

'Cause everything that brought me here.
Well, not it all seems so clear.
Baby, you're the one that I've been dreaming of.
If anyone can make me fall in love, you can.


“Be mine.”

Bidadarinya terdiam. Sebuah jeda yang membuat adrenalin dalam tubuh Naoto berpacu cepat. Beberapa saat kemudian, jemari sang bidadari perlahan merayap meraih jemari si anak laki-laki yang masih berada di pipinya—meremasnya pelan. Permata ebony sang bidadari mulai berkaca-kaca sebelum kemudian meneteskan sebutir kristal cair yang bening dalam satu kedipan. Bidadarinya tak menjawab dengan kata-kata. Kedua lengannya dengan cepat melingkari leher Naoto yang menanti jawabannya, membuat dahi dan hidung mereka bersentuhan. Mata bertemu mata. Lama mereka bertatapan, seolah sedang mengirimkan dialog demi dialog yang tak mampu diungkapkan lewat kata sebelum akhirnya bibir mereka bertaut. Tak ada lagi yang perlu diucapkan. Bidadari itu kini telah menjadi bidadarinya.

This is where it all begins.
So tell me it will never end.





Silakan komen. Ini pertama kalinya buat FF. Butuh banyak saran dari para senpai sekalian :P
Credit to David Archuletta - You Can

Selasa, 01 Desember 2009

Kelas Olahraga Selasa Pagi

PANAS! Baseball Field terasa seperti kuali raksasa hari itu, padahal minggu lalu tidak sepanas ini rasanya. Rasanya terik matahari seperti menusuk-nusuk kulit Naoto yang putih itu. Untung saja dia sudah memakai topi sehingga terik matahari tidak mengenai kepalanya langsung, bisa-bisa kepalanya pusing mendadak dan tak bisa ikut kelas olahraga. Iya, kelas olahraga. Kau tak salah baca, kok.

Aneh memang melihat seorang Naoto berolahraga, kalau okaasan tahu, mungkin dia akan langsung dijemput pulang ke rumah dan dikurung dalam kamar. Sebenarnya dia ingin bilang pada sensei yang hobi meniup-niup peluit itu—Naoto sudah memakai penyumbat telinga sehingga bunyi peluitnya tak terlalu menyakitkan, ngomong-ngomong—mengenai kondisi jantungnya. Tapi bocah jangkung itu merasa hal itu belum perlu melihat pelajaran kali ini juga hanya lempar-tangkap bola baseball—kali ini sungguhan, bukan bola tenis. Lagipula, kegiatan itu menyenangkan daripada harus melamun sendirian menonton teman-temannya bersenang-senang. Tubuh kurusnya ini setidaknya butuh sedikit olahraga supaya tidak penyakitan, asal tidak terlalu diforsir pasti akan baik-baik saja.

Setelah melakukan pemanasan seadanya dan semampunya—meniru teman-teman yang lain—Naoto memakai glove-nya lalu melempar-lempar bola baseballnya ke udara dan menangkapnya kembali.

Well—who wants to be my partner? Naoto cukup jago main lempar-tangkap, kok.

Tawaran yang disebutkan dalam hati tersebut langsung mendapat respon dari seseorang yang langsung melemparkan bolanya lurus ke arah Naoto. Bola tersebut melesat begitu kencang dan membuat Naoto terbelalak karena sama sekali tak menyangka bola akan datang begitu cepat bahkan sebelum dia mengiyakan ajakan orang itu. Dengan gerakan refleks, Naoto mengangkat tangan kirinya yang dilindungi glove tebal ke depan wajahnya.

Syuuut—

BUKK

Bola tersebut menabrak dinding glove yang empuk. Fiuh—Naoto menghela napas lega. Nyaris saja wajah gantengnya memar-memar karena lemparan serampangan seseorang. Malang benar berpasangan dengan orang seperti itu. Naoto mengarahkan browniesnya, hendak memastikan siapa sang pelempar. Dan sekali laga matanya terbelalak—mulutnya ternganga.

"Tuan Kepiting?! Galak seperti biasa ya, bro!" ujar Naoto sambil menggelengkan kepalanya.

Masih dendam rupanya?

****

Yeah, Tuan Kepiting jelas masih kesal padanya--terlihat jelas dari ekspresi wajah dan sorot matanya pada Naoto. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut masalah aib Tuan Kepiting di onsen, kesalahan tidak sepenuhnya berada di pihaknya. Toh, si Tuan Kepiting yang terlebih dahulu menuduhnya buang gas. Sudah bagus Naoto menutupi kenyataan perihal pelaku polusi udara yang sebenarnya. Ya sudahlah, manusia kalau malu pasti tingkah dan pikirannya jadi aneh--contohnya si Tuan Kepiting di hadapannya ini yang sekarang sibuk berteriak-teriak. Semangat sekali dia.

Dengan punggung tangannya, Naoto menggosok-gosok hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal. Mudah-mudahan bukan pertanda pilek, akan sangat menyebalkan jika terkena pilek di sekolah yang menyenangkan ini. Seringai nakal kembali terlukis di wajah kurusnya, kedua browniesnya menatap mata sang kepiting pemarah dengan binar-binar penuh tawa.

Biar saja dia marah-marah. Di mataku, justru terlihat lucu. Kalau diasah, sebenarnya dia bisa jadi asistenku di masa depan.

"Oke, oke, Tuan Kepiting. Kulempar bolanya sekarang. Sabar, honey," ujar Naoto iseng sembari mengambil ancang-ancang melempar bola--meniru pitcher yang sering dilihatnya di televisi. Tak kalah cepat dengan lemparan Tuan Kepiting--bola baseball tersebut melesat cepat bersama angin ke arah hidung sang kepiting.

"YOOSSSHHHAAA--"

****

Wow! Rupanya Naoto berbakat juga menjadi pitcher baseball meski dia hampir tak pernah berolahraga. Lihat saja lemparannya tepat pada sasaran dan hampir saja bola lemparannya itu mencium hidung Tuan Kepiting. Dengan sebuah lompatan mundur ditambah dengan tabrakan dengan anak lain, Tuan Kepiting berhasil menangkap bolanya. Bagus! Naoto tak salah menilai bocah di hadapannya itu. Mereka memang cocok menjadi partner—batin Naoto sembari mengusap hidung dengan ibu jarinya. Entah kenapa tiba-tiba hidungnya terasa gatal.

"O-OI! LIHAT-LIHAT KALAU MAU LEMPAR, MONYET GUNUNG!"


Seperti biasa, Tuan Kepiting marah-marah lagi. Memangnya sejak kapan bocah satu itu tidak marah-marah? Rasanya, Tuan Kepiting memang dilahirkan hanya dengan satu macam emosi di otaknya. Kasihan juga, ya. Padahal kalau dia tersenyum pasti akan terlihat tampan meskipun Naoto jelas lebih tampan.

"Jangan marah-marah terus, honey! Nanti gantengnya hilang, lho," ujar Naoto pada Tuan Kepiting—setengah berteriak.

Tiba-tiba saja sensasi gatal menyerbu di hidungnya, gosokkan lengan di hidungnya pun tak mampu menghentikan sensasi yang menggelitiknya dan menggodanya untuk bersin.

Ha—hatshhyiiiii—

"Sebentar ya, Honey!"

Ha—hatshhyiiiii—

Bocah jangkung itu masih menggosok-gosok hidungnya—rasanya dia benar-benar kena flu—dan tak sadar bahwa Tuan Kepiting telah melemparkan bolanya dua kali lebih cepat dari lemparan pertamanya. Bola melaju dengan kencang ke arah Naoto yang masih sibuk dengan hidung mancungnya. Kristal browniesnya kontan membelalak ketika tiba-tiba menyadari kedatangan benda bundar tersebut.

BUKK.


Bola tersebut menabrak dinding dada Naoto dengan keras tanpa bisa dihindarinya. Naoto jatuh berlutut di atas hamparan rumput sambil memegangi dadanya. Sial—Dia melengkungkan punggungnya sehingga kepalanya kini menyentuh tanah. Wajahnya memerah menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Untung saja yang terkena bukan dada sebelah kirinya. Nyaris.

"Uggh—" bocah itu mengerang kesakitan. Tak ada yang menyadari sebuah seringai kecil hadir di sudut bibir sang bocah.

****

Sial. Lemparan Tuan Kepiting benar-benar keras. Naoto yakin, di dadanya pasti tertinggal bekas memar berbentuk bundar nanti. Meski bocah itu bersyukur lemparannya bukan menabrak dada bagian kirinya, tetap saja rasanya sakit dan membuatnya kaget setengah mati. Tiba-tiba detak jantungnya terasa semakin cepat dan membuatnya merasa sesak. Seringai iseng yang tadi sempat hadir di wajahnya kini menghilang. Kepanikan mulai melanda dirinya sehingga membuatnya semakin sulit bernafas. Wajahnya pucat pasi. Pilek yang sedari tadi mengganggunya kini benar-benar mempersulit keadaannya. Bisa bayangkan kau bersin-bersin saat menarik nafas saja begitu sulit?

Oh, please. Jangan. Kumohon jangan kambuh sekarang.

Dia bisa mendengar seseorang berlari ke arahnya. Ya, seperti yang diduganya, Tuan Kepiting si pelaku lemparan maut itu yang menghampirinya. "Hei-hei, monyet gunung! Kau tak apa-apa?" Naoto bisa mendengar ekspresi panik dari nada suara bocah di hadapannya itu. Naoto berusaha menganggukan kepalanya agar Tuan Kepiting berhenti mencemaskan dirinya. Tapi ternyata, bocah satu itu malah berteriak memanggil sensei.

Bodoh—

"JUNTA-SENSEI! ADA MON--eh, ANAK YANG JATUH TERKENA BOLA!"

Cepat-cepat Naoto membungkam mulut anak itu dengan kedua tangannya sambil berharap sensei tidak mendengar teriakannya. Semoga saja peluit yang ditiupnya keras-keras itu sedikit membuat telinganya tuli. "Ja.. jangan," ujar Naoto terbata-bata, berusaha menghirup oksigen sebisanya. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya.

Perlahan bocah jangkung itu bangkit berdiri dengan susah payah lalu berbisik ke telinga partnernya, "Kita.. lanjutkan." Kemudian, dengan sedikit terhuyung bocah itu berjalan menjauhi Tuan Kepiting dan melemparkan bola ke arahnya. Lemparan yang lemah. Hanya melayang sekitar satu meter sebelum kemudian bola tersebut jatuh ke tanah. Naoto memandang partnernya dengan tatapan meminta maaf. Pandangannya sudah mulai kabur tapi dia harus bertahan sampai tugasnya selesai dan dia bisa beristirahat di klinik.

****

Bocah jangkung itu berdiri di tengah lapangan. Sekelilingnya kini tampak kosong dalam pandangan permata browniesnya. Pijakannya sedikit goyah namun dia tetap berusaha berdiri tegak. Dia belum ingin menyerah. Tidak di depan orang banyak seperti ini. Terik matahari yang menyengat terasa dua kali lebih panas di kulitnya, suhu tubuhnya mendadak meningkat—demam. Sempurna. Flu kini benar-benar resmi menyerangnya ditambah dengan serangan jantung ringan karena tertabrak bola baseball yang keras. Brengsek. Perlahan bocah itu melepas topinya dan membantingnya ke tanah. Sebuah bantingan lemah untuk melampiaskan kemarahannya pada diri sendiri. Baru kali itu dia merasa benar-benar benci dengan kelemahannya.

Hhh—

Hhh—

Tubuhnya benar-benar sudah tak bisa diajak kompromi lagi, pandangannya sudah benar-benar buram dan mulai gelap. Bocah jangkung itu jatuh terduduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menggerak-gerakan tulang lehernya seolah berharap hal itu bisa membuatnya sedikit lebih sadar. Nihil. Pandangannya tetap buram dan gelap. Seperti melihat layar hitam putih.

Samar-samar didengarnya suara partnernya datang menghampiri dirinya—kesadarannya sedikit kembali. Bocah itu hanya menganggukkan kepala namun dia tak sanggup bergerak. Kemudian Nagata pergi meninggalkannya sebentar dan kembali membawa sekaleng cola untuknya. Dalam diam Naoto menerima kaleng cola yang dingin tersebut dan menempelkannya di kening.

"Maaf soal tadi kalau lemparanku terlalu keras,tapi jujur aku tak menyangka kalau... kau ternyata payah ya."

Naoto sedikit tersentak mendengar pernyataan dari Nagata. Bocah itu tersenyum miris. Ya, dia tahu, dia memang payah. Bukan sosok laki-laki yang kuat dan aktif seperti bocah yang dia juluki Tuan Kepiting atau yang lainnya. Dia tak bisa diandalkan dalam hal apapun. Meramaikan suasana, mungkin itu pun sesungguhnya hanya topeng yang dia kenakan untuk menutupi kekecewaannya pada diri sendiri.

"Kau benar. Aku... memang... payah," ujar Naoto pelan di sela nafasnya yang sesak. Perlahan tubuh kurusnya kehilangan tenaga, tak mampu lagi menopang berat badannya sendiri. Kesadaran pun seolah ditarik dari dalam dirinya, pandangannya semakin gelap.

BRUKK.

Dan tubuh kurus Naoto kini tergeletak lemah di pangkuan Nagata. Matanya terpejam. Wajahnya pucat kebiruan.

Maaf karena monyet gunung ini payah, Tuan Kepiting...

****

2 post terakhir dari Tuan Kepiting.. keren..
__________________________________________________________________
Naga mengerling heran pada si monyet gunung norak di sebelahnya ini. Benar-benar sakit, sepertinya, meski Naga mendiamkannya saja. Bukan berarti Naga kejam atau apa, hanya saja rasanya tidak etis bila kau melihat orang sedang kesakitan seperti bahan tontonan. Jadi Naga memilih diam di sebelah si Monyet Gunung ini, meneruskan meminum cola-nya sambil sesekali melayangkan pandangannya ke anak-anak perempuan yang masih bermain lempar-tangkap bola. Koreksi, ternyata ada anak laki-laki juga. Ahh si Fujiwara itu, selalu saja berhasil menipu matanya.

Oke, sekarang mulai jadi benar-benar aneh. Bagaimana bisa monyet gunung supernorak itu mengakui bahwa dirinya memang payah? Naga jadi tidak enak sendiri telah mengata-ngatainya. Ah, tidak-tidak. Jangan tertipu dulu! Siapa tahu ini hanya tipu daya anak itu supaya bisa mengerjainya lebih parah lagi. Yeah kita tunggu saja sejenak, pasti anak itu akan melakukan hal norak lainnya tidak lama—

BRUKK!

—lagi. Benar 'kan apa kata Naga? Apa-apaan anak ini tahu-tahu jatuh di pangkuannya? Naga yang ketika itu tengah menenggak tegukan terakhir cola-nya, jadi tersedak dan tanpa sengaja menyemburkannya ke kepala si monyet gunung. Yeah, baguslah, hitung-hitung 'menyegarkan' ke kepalanya. Naga bersiap-siap untuk menerima protes dari si anak norak, atau setidaknya, tapi—tidak ada reaksi. "O-OI! BANGUN, MONYET GUNUNG!", Naga mengguncang-guncangkan tubuh anak itu, namun tetap tidak ada reaksi. Dan jidat anak ini benar-benar panas, omong-omong.

Sepertinya anak ini benar-benar sakit sampai pingsan, kalau memang belum bisa dibilang mati. Entahlah, Naga sama sekali tidak mengerti tentang hal-hal yang berbau medis. Memberikan napas bantuan atau memberikan pertolongan pertama, tetek-bengek seperti itu sama sekali tidak dikuasainya. Sial, kalau begitu hanya ada satu cara, membawa monyet gunung ini ke klinik sekolah.

"Ikuya, tolong laporkan pada Junta-sensei kalau ada mon—anak yang pingsan. Aku akan langsung membawa Mo—er Matsushima ke klinik," ujar Naga pada Ikuya yang berada tidak jauh darinya. Tadinya Naga hendak berteriak memanggil Junta-sensei seperti sebelumnya, tapi tampaknya cara itu tidak efektif. Kemudian Naga membalikkan posisi tubuh si monyet gunung, dan menggendongnya pada bahu-nya untuk bergegas ke klinik seperti pemadam kebakaran menggendong korban kebakaran. Bukan menyamping seperti pangeran menggendong putri, tentu saja. Memangnya kau kira Naga apa?

Dan ini bukan cerita drama percintaan, asal kau tahu.
Ini cerita tentang—
—permusuhan jadi persahabatan?
Bukan, lebih tepat cerita tentang anak ketiban sial yang terpaksa mengurus anak tak tahu diuntung.

__________________________________________________________________
Naga kesusahan setengah mati menggendong monyet gunung yang ternyata beratnya tidak sebanding dengan julukannya yang terdengar enteng. Tapi, anak-anak lain malah membombardirnya dengan segudang pertanyaan tentang monyet gunung yang tergolek lemah dalam gendongan Naga. Euh, tidak adakah yang tahu betapa beratnya monyet gunung ini, anak-anak manis? Untuk bernapas saja Naga sudah kesulitan, apalagi untuk menjawab semua pertanyaan yang sama berulang-ulang seperti burung beo. Dan tidak adakah yang sadar bahwa semakin cepat monyet gunung ini diantar ke klinik akan semakin baik baginya? Dan bagi Naga juga sebenarnya. Bahunya mulai terasa terbakar karena berat si Monyet gunung ini.

"Entahlah, yang jelas dia sakit dan harus dibawa ke klinik," jawab Naga pendek kepada Mizuno yang terlihat panik, sambil terus berjalan menjauhi lapangan baseball. Sebenarnya Naga ingin menceritakan kronologi-nya dari sebelum monyet gunung ini pingsan, tapi tidak ada waktu. Nanti saja belakangan. Takafumi yang sepertinya tadi berpasangan dengan Ikuya juga mendekatinya dan berkomentar--err, lebih tepatnya mencela si monyet gunung dan mengata-ngatainya lemah. Ohh, jadi kau pikir kau kuat hanya karena bisa main lempar bola, eh?

"Dia sakit dan tutup mulut manis-mu, Nona, suatu saat kau bisa saja bernasib sama dengannya, dan kalau itu terjadi, jangan harap ada yang menolongmu dengan sifatmu yang seperti ini," ujar Naga dengan ekspresi sedingin es, pertanda ia sedang marah. Entahlah, meski Naga juga sering mencela monyet gunung ini, entah kenapa ia juga tidak terima bila ada orang lain yang mencela si monyet gunung. Cukup seorang Naga saja yang mencelanya, yang lain jangan. Naga yang masih terus berjalan pendek, kembali berpaling kepada anak lain yang menegurnya. Ternyata Fujiwara, dengan pertanyaan yang sama, meski lagi-lagi hanya dia yang selalu menawarkan tindakan nyata setelah berbasa-basi.

"Dia sakit, ikut saja, tapi bisa sekalian ambilkan tas miliknya? Mungkin saja di dalamnya ada obat," ujar Naga pada Fujiwara, sambil membenarkan letak gendongan si monyet gunung yang mulai melorot ke bawah, dan kemudian meneruskan perjalanannya kembali ke klinik. Setelah ini, mudah-mudahan saja tidak ada anak lain yang mencegahnya dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kalaupun ada, jangan salahkan Naga bila tidak mengacuhkannya.

Selasa, 24 November 2009

SHe's the MAN

Bangun tidur ku terus mandi
Tidak lupa menggosok gigi


Naoto menggeliat di atas kasurnya, rasa malas masih menguasai seluruh tubuhnya. Ingin rasanya dia meringkuk dan kembali terlelap dalam tidurnya jika saja dia tak ingat dimana dia berada sekarang. Ya, dia ada di Ryokubita, tepatnya di asrama Kiku yang katanya tempat untuk anak-anak yang optimis, percaya diri dan ceria.
Naoto banget gitu , lho! Dengan malas, akhirnya Naoto mengangkat badannya dan duduk di atas kasurnya—bengong mengumpulkan roh-roh yang masih berseliweran entah kemana. Menghirup nafas dalam-dalam seolah-olah dengan begitu roh-rohnya yang masih membandel bisa tersedot masuk melalui lubang hidungnya. Naoto mengerjap-ngerjapkan matanya, mengusir kantuk.

Sudut browniesnya menangkap sosok Hiromi yang sedang melangkah keluar dari kamar dengan membawa peralatan mandi dan handuk tersampir di pundaknya. Oh, benar juga. Dia berencana mencoba onsen yang ada di Ryokubita. Bocah jangkung itu sempat batal jalan-jalan ke onsen bersama keluarganya karena dia terpaksa dirawat di rumah sakit selama 3 bulan. Kali ini, onsen hanya berjarak sangat dekat—tepatnya masih dalam lingkungan sekolah. Keren juga sekolah ini, fasilitasnya lengkap. Bahkan ada kuil segala.
Mana tahan!

Akhirnya bocah jangkung itu memutuskan untuk menyusul Hiromi ke onsen. Diambilnya selembar handuk dari dalam tasnya beserta peralatan mandi lalu melenggang dengan gaya khasnya yang setengah nge-
beat langsung menuju onsen laki-laki. Ya iya, masa masuk ke onsen perempuan? Bisa-bisa muka gantengnya ini habis ditimpuki ember oleh anak-anak perempuan. Sebenarnya ingin mencoba pura-pura salah masuk, sih. Tapi, rasanya tidak etis bila dilakukan di hari-hari pertamanya di Ryokubita.

Karena itulah bocah itu langsung membuka pintu masuk ke onsen laki-laki dan melangkah mendekati onsen dimana Hiromi sudah asyik berendam disana bersama seorang cowok ganteng yang wajahnya memerah dan tergagap saat berbicara dengan Hiromi. Ada dua orang cowok lain disana, salah satunya adalah kakak penjual tongkat yang memberinya tongkat Kappa Kribo paling keren sedunia.

Bocah itu melepas bajunya dan meletakkan bawaannya di pinggir onsen,
"Awaaaaasss!" Dan tanpa basa-basi bocah jangkung itu melompat dengan sukses—membuat deburan keras yang menyiram kemana-mana. "YAHOOO—"

*****

"YAHOO!!"

Sekujur tubuh bocah jangkung itu sekarang basah kuyup, jelas saja, orang-orang di sekitarnya yang menjadi korban tindakan noraknya saja basah kuyup apalagi sang pelaku. Bocah itu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya lalu mendorongnya ke atas, sehingga rambutnya yang menutupi wajah kini rapi menempel di atas kepalanya. Cengiran usil khas Naoto tertera jelas di wajahnya saat dia mengayunkan kakinya di dalam air untuk menghampiri Hiromi dan ketiga orang disana.
"Ohayou." Bocah itu kemudian bersandar di pinggiran onsen di samping Hiromi.

"Halo, Naoto-kun~! Pagi-pagi sudah semangat sekali, ya? Dan onsennya sekarang jadi ramai~! Tadi Hiro sendirian terus, sih, menyebalkan sekali! Tapi sekarang sudah ramai, iya kan?" Nah, Hiromi sudah memecahkan suasana dengan gaya bicara panjang lebar khas perempuannya. Lucu. Anak itu sedikit banyak mengingatkannya pada Kou. Meski Kou tidak secerewet Hiromi, sih.

"Halo, Hiro-chan. Baru pertama kali ke onsen, maklum. Bukankah kau berempat dengan mereka?" ujar Naoto sambil mengendikkan kepalanya menunjuk ke arah tiga cowok yang juga sedang berendam di onsen. "Kau kesepian tanpa aku, ya?" Naoto menggoda Hiromi sambil mencuil dagu anak itu dengan jari telunjuknya. Kemudian bocah itu melemparkan pandangan pada anak cowok yang gagap dan memerah karena berbicara dengan Hiromi. Ngakunya, sih kulitnya tidak tahan air panas. Padahal, Naoto yakin bocah satu itu terkejut melihat Hiromi ada di onsen laki-laki. Untung saja Naoto sekamar dengan Hiromi sehingga dia sudah mengetahui kenyataan itu sejak semalam. Jangan-jangan dia sempat naksir pada Hiromi? Senyuman nakal langsung terhias di wajah Naoto.

"Hey, kalau tak tahan air panas sebaiknya kau jangan berlama-lama berendam. Nanti kulit halusmu itu matang direbus onsen, lho," seru Naoto pada anak lelaki berwajah merah itu, "atau jangan-jangan sebenarnya kau grogi berdekatan dengan Hiro-chan yang manis?"

Demi air onsen yang panas mendidih, demi kulit anak itu terebus hingga matang, demi dua anak cowok yang sedang gosok-gosok punggung di belakangnya. Si muka merah bukannya menjawab pertanyaannya malah menuduh dirinya dan seorang cowok yang baru akan masuk onsen kentut!
Tsk—grogi sampai terkentut-kentut, Nak? Kasihan sekali. Naoto tertawa terbahak-bahak.

“Memangnya kau kira kentut keluar dari mata kaki, heh?” sergah si cowok yang baru saja memasukkan tubuhnya ke dalam air. Mengerling tak suka pada si muka merah. “Jangan-jangan malah kau yang buang angin—biasanya yang sadar duluan, dialah yang melakukan, bukan?”

Gotcha! Siapa lagi pelakunya kalau bukan si penuduh sendiri? Tapi kasihan, wajahnya sudah terlalu matang untuk dipermalukan sekali lagi. Kali ini Naoto akan menyelamatkanmu, Nak. Berterimakasihlah pada Naoto yang begitu murah hati dan tidak sombong.

"Hey, kau. Mulai sekarang, kujuluki kau tuan kepiting! Sebab wajahmu merah!" Naoto tertawa terpingkal-pingkal hingga wajahnya pun ikut memerah, "Oke, anggap saja aku yang kentut. Kentut itu sehat, tahu," ujar Naoto lagi sambil menepuk-nepuk bokongnya ke arah tuan kepiting.

Ada bagusnya juga kejadian konyol ini. Setidaknya tidak ada seorangpun yang menanyakan soal bekas luka memanjang di dadanya ini.
Well, belum. Luka sebesar ini tak mudah disembunyikan seperti menyembunyikan kentut.

*****

Sekali lagi Naoto dibuat terbahak-bahak oleh bocah laki-laki di hadapannya yang kini sudah bergelar Tuan Kepiting, sampai-sampai dia tak mendengar ucapan Hiromi yang berusaha mengganti topik soal kentut yang cukup sensitif—bagi orang lain, bukan bagi Naoto. Bagaimana bisa Naoto tidak tertawa melihat wajah Tuan Kepiting kini benar-benar seperti kepiting rebus ditambah lagi uap air onsen yang mengepul di sisi-sisi wajahnya menambah kesempurnaan lukisan wajah kepiting rebus tersebut. Seandainya Naoto membawa kamera saat itu, dia takkan membuang-buang waktu untuk mengabadikan momen ini.

"Baik, kalau julukanku tuan kepiting, bagaimana kalau kau kujuluki "Monyet Gunung", untuk tingkah laku-mu yang norak, mau?" ujar Tuan Kepiting dengan ekspresi dingin.

Naoto tertawa lagi—kali ini hanya tertawa kecil. Bocah itu bukannya menolak malah menawarkan barter julukan! Naoto jadi merasa mulai menyukai si Tuan Kepiting—sebagai teman tentunya. Ya, orang-orang lucu yang gampang dikerjain itu menyenangkan. Membuat Naoto jadi sering tertawa. Tertawa itu sehat, tapi kebanyakan tertawa juga sebenarnya kurang bagus untuk jantung Naoto. Dan bisa-bisa membuat seseorang jadi gila. Untung saja sampai saat ini, Naoto belum tergolong anak yang perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa tersebut. Anak yang beruntung, bukan?

"Tuan Kepiting," Naoto terkekeh, "kau pintar juga memberi julukan. Aku suka! Meski sebenarnya aku lebih suka disebut Kappa Kribo seperti inti tongkat sihirku yang diberikan oleh Sei senpai yang tadi kau tuduh kentut itu. Tapi, Monyet Gunung boleh juga. Mulai sekarang kita pasangan Monyet Gunung dan Tuan Kepiting, ya! Dan gurauanku sejak tadi, jangan dimasukkan dalam hati. Oke?" Naoto dengan senyum lebar menepuk-nepuk pundak si Tuan Kepiting yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan pada senpai yang tadi digosokkan punggungnya oleh Sei senpai.

Rupanya si Tuan Kepiting seorang pemain sepakbola. Dia menanyakan soal klub-klub yang ada di Ryokubita. Wajibkah semua murid mengikuti klub? Kalau iya, Naoto terpaksa memilih klub yang tak ada hubungannya dengan olahraga, nih. Bocah itu menggaruk-garuk hidung untuk menyembunyikan ekspresi malasnya. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki lain yang sepertinya adalah senpai-nya juga ikut bergabung masuk ke onsen dan langsung menanggapi pertanyaan Tuan Kepiting dengan pertanyaan lain.

"Nagata-kun mau masuk klub sepakbola, ya? Keren! Hiro belum tahu mau masuk klub apa, sih. Klub di Ryokubita apa saja, sih?" Pertanyaan dari Hiromi sepertinya cukup mewakili apa yang ingin diketahui Naoto. Semoga saja ada seseorang yang berbaik hati memberikan jawaban.

"Memangnya, murid Ryokubita wajib ikut klub?" tanya Naoto akhirnya dengan nada malas.

Happy Onsen~

Pagi itu Naoto terbangun pagi sekali gara-gara mimpi buruk yang membuat moodnya jadi jelek. Dalam mimpinya, dia dikejar-kejar serigala buas yang dia timpuki batu karena hendak menyerang Nagisa. Bocah jangkung itu terus berlari dan berlari sambil menggandeng tangan perempuan yang pernah menjadi seseorang yang berarti di hidupnya itu. Berlari sehingga jantungnya terasa nyaris meledak. Parahnya lagi, Nagisa yang hendak dia lindungi tiba-tiba menyeringai ke arahnya saat mereka sudah berada di tempat aman. Gigi taring khas drakula terlihat jelas di sudut kanan dan kiri mulut Nagisa yang kemudian terlihat semakin dekat—hendak menggigitnya. Saat itulah dunia nyata menariknya keluar dengan cepat.

Jemari bocah itu meremas dadanya, rasa sakit tiba-tiba mendera organ vital yang ada di balik kulit dan tulang dadanya, membuat wajahnya berubah pucat dan bibirnya membiru. Seringai Nagisa berulang-ulang terbayang dalam benaknya. Naoto memejamkan kembali kedua matanya dan mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Rasa sakit perlahan menghilang seiring dengan ketenangan yang kembali didapatkannya.

Apakah Nagisa begitu benci padaku?

Perlahan bocah jangkung itu berdiri dari tempat tidurnya, meraih sebotol air putih dan menenggaknya dengan cepat. Diambilnya pakaian ganti dan perlengkapan mandi dari bawah tempat tidurnya. Mungkin air panas onsen bisa membuat perasaannya kembali membaik. Dengan cepat kaki-kaki panjangnya melangkah menuju onsen tanpa memedulikan orang-orang yang dia temui dalam perjalanan singkatnya itu.

Perlahan, Naoto menggeser pintu onsen dan melangkah masuk. Browniesnya menangkap dua sosok anak laki-laki yang dikenalnya tengah berendam di sana sedang bercakap-cakap. Syukurlah, hari itu onsen tidak terlalu ramai. Bocah jangkung itu sedang tidak dalam kondisi fit—jasmani maupun jiwani.

"Ohayou. Hiro-chan, Tetsu."

Tanpa banyak bicara, Naoto mencelupkan satu persatu kakinya setelah terlebih dahulu meletakkan pakaian ganti dan peralatan mandi di pinggir onsen. Masuk ke dalam air dengan cara yang normal. Kemudian, dia membasahi sebuah handuk kecil, melipatnya membentuk segi panjang lalu meletakkannya menutupi kedua matanya. Kepala dia sandarkan di pinggir onsen—menikmati sensasi hangat yang mulai menjalari tubuhnya, membuatnya merasa sedikit lebih rileks meski rona pucat di wajahnya belum hendak beranjak pergi. Naoto melakukan semuanya dalam diam seolah tak peduli meski mungkin kedua temannya keheranan dengan tingkah lakunya yang tidak biasa itu.

Well, sekarang harus mulai dibiasakan karena badut tak selamanya melucu.

Rabu, 18 November 2009

About Family

Keluarga. Ini pertama kalinya, lho, bocah itu dipercaya untuk berada jauh dari rumah. Biasanya, untuk keluar rumah saja dia harus ijin dulu sama Okaasan yang benar-benar luar biasa super protektif padanya. Wajar, sih. Namanya juga seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya. Apalagi mengingat kondisi jantungnya yang lemah. Kalau bukan karena dukungan dari oyaji, mungkin bocah itu sekarang takkan ada di Ryokubita. Aneh juga sebenarnya berada jauh dari rumah. Biasanya dia bisa tukar pikiran dengan kedua adik kembarnya, Kazu dan Kou. Disini, dia belum mendapat teman yang enak diajak bicara. Namanya juga tempat baru. Mudah-mudahan saja dia bisa segera mendapat teman dekat disini.

Bocah itu mengayunkan kaki-kaki panjangnya melangkah ke arah taman utama kastil Ryokubita. Taman yang penuh dengan bermacam-macam bunga berwarna-warni. Tempat yang pastinya akan sangat disukai oleh Okaasan dan mungkin—Nagisa. Bocah itu pun menyukai tempat-tempat hijau yang tenang untuk sekedar menikmati keindahan alam yang tercipta oleh satu keajaiban tanpa batas. Mencerna setiap proses kehidupan, setiap kenangan yang pernah dialaminya. Percayalah, di saat manusia sedang terbelit dalam masalah, mereka butuh waktu untuk menyendiri. Perlahan-lahan mengurai tali-tali masalah yang membelit hingga kembali lurus dengan kepala dingin. Tak pernah ada masalah yang tak memiliki jalan keluar. Asal manusia bisa mengontrol ego maka semua akan terlihat lebih mudah.

Kristal browniesnya menyapukan pandangan ke seluruh area taman, mencari-cari spot terbaik untuk sekedar melemaskan kaki atau membaringkan tubuhnya. Menikmati ketenangan dan semilir angin lembut yang memanjakan kulitnya. Bocah itu menghirup udara dalam-dalam—merasakan aliran udara masuk melalui saluran pernafasannya langsung menuju paru-paru dan kemudian menghembuskannya. Udara yang harum memang membuat badan terasa segar. Jelas, udara disini jauh lebih bersih daripada udara di lingkungan rumahnya yang telah terpolusi.

Kakinya kembali melangkah—dibimbing oleh jalan setapak berbatu, menuju sebuah kolam yang bayangannya tertangkap oleh kristal browniesnya. Gemerisik bebatuan yang terinjak olehnya memecah keheningan. Semakin dekat ia pada kolam tersebut, dilihatnya satu sosok gadis sedang duduk di tepian kolam bersama seekor kucing berwarna hitam-putih. Sepertinya sosok itu pernah dilihatnya di suatu tempat. Ini bukan bermaksud menggombal murahan, dia benar-benar pernah melihat gadis itu. Ya, mereka satu gerbong di kereta. Gadis yang tertimpa tas itu—Aoi Mizuno-san. Bocah kurus itu melangkah mendekat. Jika kenal, tak menyapa sama artinya dengan tak sopan. Begitulah prinsip seorang Naoto Matsushima. Apalagi ekspresi gadis itu nampak kesepian. Siapa tahu kehadirannya bisa sedikit menghibur.

"Konnichiwa. Mizuno-san? Keberatan bila aku ikut duduk disini?" sapanya sambil tersenyum lebar pada gadis itu.


*****

"Matsushima-san? Tentu saja Saya tidak keberatan, silahkan saja," Mizuno-san menjawab sapaannya seraya menggeser posisi duduknya sehingga bocah itu bisa duduk di sampingnya. Bocah itu pun menghempaskan bokongnya perlahan pada karpet hijau lembut milik sang bumi. "Arigatou," ujarnya dengan senyuman lembut pada sang gadis.

Naoto hanya mengenal dua orang kaum hawa dalam lima belas tahun hidupnya, okaasan dan Nagisa. Okaasan adalah seorang wanita berparas lembut yang senantiasa tersenyum. Apabila gurat-gurat kecemasan muncul di wajahnya, penyebabnya hampir selalu adalah dia. Hal itu sebenarnya cukup membuat seorang Naoto mendengus kesal pada dirinya sendiri, dia tak suka wanita yang disayanginya itu kehilangan senyumannya. Apalagi karena dirinya. Karena itulah, sebisa mungkin bocah itu menjaga perasaan okaasan dan selalu bersikap manis pada wanita itu. Okaasan senang bila disebut cantik, okaasan senang bila disebut manis. Okaasan adalah kaum hawa dan itu berarti semua kaum hawa suka dipuji dan diperlakukan seperti Naoto memperlakukan okaasan—setidaknya itu menurut pemikiran seorang Naoto. Lalu Nagisa—ah, lupakan saja.

Nagisa kini hanyalah masa lalu baginya. Tak baik terlalu lama terikat dengan masa lalu yang hampir merenggut nyawanya itu. Perlahan jemari Naoto meremas segenggam rumput—emosi sedikit menguasainya untuk sesaat.


"Bagaimana kabar Matsushima-san? Betah di sekolah?" Gadis di sampingnya melontarkan pertanyaan yang membuyarkan lamunannya. Oh, sure.

Naoto bukan orang yang tidak suka bercakap-cakap, justru kebisuan malah membuatnya risih. "Kabarku baik dan sejauh ini, aku cukup betah berada di sini. Bagaimana denganmu, Mizuno-san?" jawab bocah itu sambil menatap mata Mizuno-san. Segaris senyum terukir di wajahnya yang tampan kemudian dengan santai diluruskannya kakinya yang panjang itu.

"Selamat sore Aoi-chan juga Naoto-san, apa kabar? Boleh ikut duduk di sini?" Seseorang datang menghampiri mereka, Tetsu rupanya. Sudah ketiga kalinya mereka bertemu. Mungkin ada jodoh? Untuk berteman, lho. Naoto masih lurus.

"Selamat sore, Tetsu-san. Silakan, duduk saja. Taman ini masih bebas diduduki siapa saja, kok," ujarnya bergurau.

"Halo Aoi-chan~! Naoto-kun dan Tetsu-pyon juga! Ada apa, sih? Hiro boleh ikut tidak? Habis dari tadi Hiro jalan-jalan sendiri terus, tidak ada temannya! Lama-lama jadi bosan, apalagi ternyata Ryokubita itu luaaaas sekali, ya? Hiro sampai tersesat..." Datang lagi satu orang yang tersesat(?). Lagi-lagi bocah yang segerbong dengannya. Rupanya penghuni gerbong nomor satu menyukai taman ini. Ha-Ha-Ha.

"Halo Hiro-chan. Kamu ceria sekali, ya," Naoto tertawa mendengar rentetan kata-kata yang keluar dari bibir seorang anak laki-laki yang kecil itu, "Maunya ada apa, nih? Sini duduk saja daripada tersesat masuk ke kolam itu dan dijadikan makanan ikan." Bocah itu kemudian menepuk-nepuk sepetak rumput di dekatnya untuk diduduki Hiro.

Baguslah, dia sekarang bisa berkenalan dengan mereka—menebus waktu yang terbuang saat di gerbong kereta. Empat orang sudah berkumpul—kucing tidak masuk hitungan—enaknya main apa, ya? Ah! Satu permainan terbersit di kepalanya. Cengiran jahil kini terlukis demikian indah di wajahnya. Permainan ini bisa memuaskan keinginannya untuk saling mengenal dengan teman-temannya sekaligus untuk melampiaskan keisengannya.

"Mau main truth or dare?"

Semoga saja mereka mau.

Minggu, 15 November 2009

Seleksi Asrama (2000)

Cuaca malam itu benar-benar dingin, untunglah bocah itu telah mengenakan jaket tebal yang dibawakan okaasan untuknya. Badannya kini sudah jauh lebih segar meski rona pucat masih mewarnai wajahnya. Kali ini dia telah memutuskan takkan lagi menunjukkan sisi lemahnya di sekolah. Dia harus jadi Naoto yang ceria dengan segala keisengan dan kekonyolannya.

Begitu turun dari gerbong tadi, para murid baru Ryokubita dipimpin menuju Akademi Ryokubita oleh sepasang kitsune dan dua orang miko dengan api-api biru yang melayang di sekitar mereka. Tiba-tiba saja bocah konyol itu dengan heboh berteriak 'siluman api' sambil menunjuk-nunjuk api-api biru tersebut dengan tatapan super kagum. Bodohnya lagi, bocah itu berusaha menjulurkan tangannya untuk menangkap salah satu api tersebut sampai seseorang menegurnya untuk kembali dalam rombongan yang akan menuju Ryokubita. Memalukan.

“Selamat malam dan selamat datang di Ryokushoku o Obita. Kalian, bibit-bibit penyihir terpilih dengan kemampuan dan bakat istimewa, sudah sepantasnya mensyukuri langkah tepat yang telah kalian pilih untuk menjadi seorang penyihir sejati yang kelak akan mengharumkan nama kaum penyihir di mata negeri. Kalian akan memasuki tahap seleksi selepas ini, untuk menentukan asrama mana yang akan memawa kalian menuju jalan yang terbaik untuk kalian tempuh.”

Tiba-tiba saja seorang wanita cantik memecahkan kesunyian dengan sapaannya. Udara seolah terhenti saat wanita itu berbicara. Terasa sekali otoritas besar yang dimiliki oleh wanita tersebut. Kemudian dia juga mengatakan soal seleksi untuk menentukan asrama dan mengenai jalan terbaik yang akan mereka tempuh. Bocah itu dengan seksama memperhatikan gerak-gerik wanita cantik itu. Kagum karena wanita itu sepertinya jago sulap. Dan saat laron-laron terbang mengerumuni mereka, bocah itu nyaris berteriak lagi. Untung saja dalam sekejap sebuah ruang dimensi menyelubungi mereka dan pecah menjadi koridor panjang dengan sebuah pintu terbuka lebar. Terpampang di balik pintu itu, sebuah ruangan besar yang penuh dengan bantal duduk tiga warna. Beberapa orang sudah ada di dalam. Wow—bocah itu ternganga karena pesona gaib yang baru dialaminya untuk pertama kali. Membayangkan jika kedua adik kembarnya ada bersamanya, apakah reaksi mereka akan sama seperti dirinya?

“Bola kristal di hadapan kalianlah yang akan mengubah warnanya sesuai dengan asrama tempat kalian akan tinggal untuk delapan tahun kedepan. Siswa yang namanya saya panggil, harap maju ke depan dan sentuh bola kristal di hadapan kalian; setelah itu barulah kalian dipersilakan duduk di tempat yang telah dipersiapkan sesuai dengan asrama kalian nanti.”

Bola kristalnya melayang? Pemandangan aneh tersebut mengundang beribu tanya dalam benak sang bocah. Kagum, heran, terpesona dan penasaran. Apakah bola itu melayang sungguhan atau digantung dengan tali yang tak terlihat? Dengan tak sabar, bocah itu menanti gilirannya dipanggil, hendak memeriksa bola kristal tersebut dengan seksama. Well, menunggu memang terasa membosankan. Jemari-jemarinya bergerak gelisah dalam kantong jaketnya saat dia memperhatikan satu-persatu temannya maju ke depan dan menyentuh bola kristal melayang itu. Tak ada satupun dari mereka mencoba memeriksa apakah bola kristal itu sungguh-sungguh melayang atau tidak. Payah.

"Matsushima Naoto"

Oh yeah, akhirnya namanya dipanggil juga. Dengan langkah besar-besar bocah itu maju ke depan dan tanpa banyak basa basi, bocah itu mengayunkan tangannya di atas bola kristal tersebut. Memastikan apakah ada tali yang menahan bola kristal tersebut—tentu saja tidak ada. "Wah." Bocah itu sekarang berjongkok memperhatikan bagian bawah bola kristal, sekali lagi mengayunkan tangannya—tidak ada sesuatu pun yang menahan gerakannya. "Wow." Sekarang bocah itu berjalan mengelilingi bola kristal tersebut, masih penasaran. Tapi, tetap saja tidak ada yang menahan. Berarti bola tersebut benar-benar melayang, saudara-saudara. Dengan bodohnya, bocah itu berbalik menghadap murid-murid baru yang lain dan berteriak, "Minna-san, bola kristalnya benar-benar melayang!!" Dan tentu saja disambut dengan gelak tawa seisi ruangan. Dasar konyol. Bukannya malu, dia malah nyengir lebar dan kembali menghampiri bola kristal tersebut. Waktunya menyentuh dan melihat warna apa yang keluar untuknya. Bukannya mengulurkan kedua tangannya, bocah itu malah membungkuk dan mencium bola kristal itu dengan bibirnya. Bisa juga, kan? Yang penting, disentuh.

Jumat, 13 November 2009

Gerbong #01: Arata na Hajimari no Owari

Pagi tadi, tiba-tiba okaasan dan oyaji datang ke Fujisaki Inn—seolah mereka menyadari bahwa kondisi tubuh putra pertama mereka sedang menurun. Yah, jantungnya kumat lagi semalam setelah menyaksikan anak-anak lain bermain petasan dan kembang api. Sial. Gairah dan kelelahan berdampak buruk pada jantung bocah itu, untung saja tidak terlalu parah. Bocah itu memang seringkali lupa dengan daya tahan tubuhnya sendiri. Setelah seharian tidur, badannya kini sudah kembali segar. Berbekal ribuan nasehat dari kedua orangtuanya, bocah itu akhirnya tiba juga di Stasiun Akita. Setelah sesi peluk cium dan janji untuk sering-sering memberi kabar dengan kedua orangtuanya yang masih saja mengkhawatirkan dirinya, Naoto segera melompat menaiki salah satu gerbong. Menyambut kebebasan. Dengan begini, takkan ada yang tahu soal jantungnya yang lemah, takkan ada yang sok mengasihani dirinya, takkan ada yang cerewet mengatur-atur dirinya.

Takkan ada Nagisa lain yang meninggalkannya dengan alasan tersebut.

Permata browniesnya memandang berkeliling. Sudah ada tujuh orang anak yang duduk disana. Masih tersisa dua tempat yang artinya dia bisa ikut menumpang di gerbong tersebut. Bagus, tak perlu repot-repot mencari. Bocah itu tersenyum lebar pada seluruh penumpang di gerbong tersebut.

"Halo semua. Gabung, ya! Aku Naoto, Naoto Matsushima. Salam kenal." Anak itu segera merapikan bawaannya dan duduk di tempat yang hampir dekat dengan jendela. Yah, di sebelah jendela sudah ada seorang anak perempuan soalnya. Pamali buat Naoto jika tidak mau mengalah sama kaum hawa. Bocah itu berniat untuk tidur saja di gerbong. Dua jam perjalanan akan terasa membosankan. Untunglah okaasan membawakan walkmannya yang tertinggal di rumah.

Hmm, gadis di sampingnya ini sepertinya dia kenal. "Hasegawa-san?"

*****

Well. Okay. Belum selang berapa menit bocah itu duduk di kursinya—dia setengah tertidur, dia tidak menyadari bahwa sesuatu yang kacau balau luar biasa heboh sedang terjadi di depan matanya. Memang telinganya mendengar keributan,tapi matanya terpejam—entah kenapa dia merasa pusing tiba-tiba. Payah. Kalau begini terus bagaimana dia bisa membuat kedua orangtuanya percaya bahwa dia akan baik-baik saja selama di Ryokubita. Bocah itu mengernyit ketika beberapa suara cempreng khas perempuan berteriak-teriak. Dan sepertinya namanya sempat dipanggil? Sayang sekali, bocah itu benar-benar sedang dalam fase tidak bisa memperhatikan keadaan di luar dirinya. Jantungnya sakit lagi, kuso—. Rasanya ia perlu menelan obat penghilang sakit agar bisa tertidur dalam perjalanan yang sepertinya akan sangat bising. Suara hewan dan suara manusia campur aduk. Kalau dia sedang tidak kambuh begini, sih, dia akan dengan senang hati menjadi badut dalam gerbong. Perlahan bocah itu membuka matanya dan dengan terkejut menatap seorang gadis dan sebuah tas hitam yang tergeletak di lantai gerbong—gadis itu sedang dibantu berdiri oleh seorang anak laki-laki yang sepertinya pernah ia temui di bar. Tetsu kalau tak salah.

Bocah itu mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa kantuk dan pusingnya. Kemudian anak itu bangkit berdiri dan berjalan ke arah tas hitam yang sepertinya menjadi sumber keributan. "Nona tak apa-apa? Maaf tadi aku tertidur sehingga tidak membantumu." Bocah itu berbicara pada gadis yang tadi tergeletak di lantai gerbong, berusaha tersenyum—lalu mengangkat tas hitam tersebut dari lantai dan meletakkannya di rak penyimpanan barang. Lalu bocah itu mengambil tas ransel miliknya dan kembali duduk di tempatnya—di samping Hasegawa.

Bocah itu tak mempedulikan beberapa orang baru ikut bergabung di gerbong tersebut. Bukan sombong, dia hanya sedang berusaha menahan rasa sakit di kepala dan dadanya. Matanya terpejam, sementara tangan kirinya memegangi tas ranselnya—tangan kanannya sibuk merogoh-rogoh ke dalam tas. Dia mencari obatnya. Begitu tangannya berhasil menemukan botol obatnya, segera ia keluarkan satu butir pil dari sana tanpa mengeluarkan botolnya dari tas. Dia tak ingin ada yang tahu kondisinya. Dengan cepat bocah itu menelan pilnya. Berharap rasa sakitnya cepat mereda. Rona merah mulai menghilang dari bibir bocah itu, jantungnya tak mau berhenti memprotes. Entah apa maunya. Dia sudah tidur hampir seharian dan jantung sialan itu masih saja protes. Dan kenapa harus di saat seperti ini? Merepotkan.

Badannya mulai terasa melemah demikian juga kesadarannya. Dia perlu bersandar. Perlahan bocah itu menoleh ke samping, memandangi Hasegawa—mempertimbangkan kemungkinan untuk bertukar tempat duduk dengannya. "Hasegawa-san," panggilnya lirih, "Maaf sebelumnya. Apa kamu keberatan jika tukar tempat duduk denganku? Aku merasa kurang sehat. Ingin bersandar di dinding gerbong."

*****

Sungguh. Beneran. Tidak bohong. Ini situasi yang paling dibenci oleh bocah itu, saat dia harus meminta belas kasihan dan dipandangi dengan tatapan cemas oleh orang lain. Damn! Bukan begini seharusnya situasi yang dialami seorang Naoto Matsushima di gerbong kereta yang membawanya untuk pertama kalinya ke Ryokubita. Seharusnya ini jadi momen yang paling berkesan, momen paling tak terlupakan dan seharusnya saat itu Naoto menjadi pusat perhatian karena kekonyolan dan kelucuannya. Bukan karena kondisi kesehatannya yang anjlok. Chikuso—

Dan saat ini dua orang gadis yang seharusnya menatapnya dengan kekaguman dan senyum, sedang menatapnya dengan pandangan mengasihani. Oh, demi seluruh calon penggemar di masa datang. Naoto tidak suka ini tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Setidaknya, dia bisa beralasan mabuk darat atau apalah. Tak ada yang boleh tahu tentang penyakit jantungnya.

Pertama, seorang gadis cantik dengan seekor anjing di sampingnya menghampiri dia dan menanyakan kondisinya serta berkomentar tentang wajahnya yang pucat. Kedua, Hasegawa-san di sampingnya terlihat ketakutan saat melihat dirinya—membuatnya merasa seperti kuman yang membawa penyakit menular. Setidaknya dia memberikan tempat duduknya dan langsung berdiri di koridor. Entah kenapa bukannya duduk di tempat Naoto saja. Mungkin gadis itu benar-benar menganggapnya kuman. Ah, citranya memburuk dalam sekejap. Bocah itu perlahan menggeser duduknya ke dekat jendela, kepalanya langsung terkulai lemas. Sebenarnya dia sudah tak sanggup bicara tapi demi kesopanan dia harus menjawab agar dua orang gadis cantik ini tidak cemas berlebihan seperti kebiasaan okaasan. "A... aku tak apa-apa. Sedikit mabuk darat saja, mungkin."

Bocah itu mengantuk—efek dari obat yang ditenggaknya tadi sepertinya mulai bekerja. Samar-samar didengarnya suara seseorang terjatuh dan berteriak. Dilanjutkan dengan suara-suara lain. Nyanyian kah? Bocah itu sudah tak terlalu mengerti. Kesadarannya ditarik makin dalam, masuk dalam dunia mimpi yang semoga akan membuatnya lebih baik saat terbangun nanti.

Selasa, 10 November 2009

Firecracker Festa

Tak terasa sudah malam kedua dia berada di tempat baru, komunitas baru, suasana baru. Tsk —berat mengakui bahwa dia sedikit merindukan suasana rumah. Bila okaasan tahu dia masih berjalan-jalan di luar di jam semalam ini, mungkin dia akan dimarahi. Ya, okaasan memang terlalu kuatir dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Akibat kecelakaan sewaktu kecil yang melukai jantungnya. Tenang, kaasan —malam ini putra tertuamu tak lupa memakai jaket tebal, kok. Bocah 15 tahun itu perlahan mengayunkan kakinya —selangkah demi selangkah. Manik browniesnya menatap ke langit hitam —mengagumi keindahan bintang-bintang yang tercipta oleh satu kuasa maha dahsyat. Pemandangan yang jarang dilihatnya karena selalu ada di kamar tidur saat malam tiba.

DZIIING!

—DHUARR!


Tiba-tiba manik matanya menangkap sebuah ledakan yang menimbulkan sebentuk bunga yang sedang mekar di langit untuk beberapa detik —indah. Bocah itu meneruskan langkahnya, hendak mencari dimana gerangan asal dari keindahan tersebut —semakin dekat dengan pohon sakura. Dilihatnya beberapa anak sebayanya sedang asyik bermain petasan dan kembang api. Ajaib bukan —dari sebuah tabung dan sehelai sumbu pendek bisa menghasilkan sesuatu yang demikian indah di langit. Seolah langit diubah menjadi kanvas hitam yang sedang dilukis. Sayang, lukisan itu hanya bertahan sesaat lalu hilang menjadi asap.

Bocah itu tergerak untuk ikut bermain bersama mereka —namun kakinya seolah terpaku tetap di tempatnya. Ya, dia tak boleh lupa pada kondisi tubuhnya sendiri. Semakin mendekati sumber keindahan itu, suara ledakan pun semakin keras. Di tempatnya berdiri pun, efek suara ledakan itu sudah membuat jantungnya sedikit bergetar —sakit. Bocah itu akhirnya memutuskan untuk menonton kira-kira 10 meter dari tempat anak-anak itu bermain. Mengagumi berbagai bentuk indah yang tercipta beberapa saat setelah ledakan terdengar.

Sedikit menyakitkan jantungnya memang —namun bocah itu tak ingin beranjak dari sana.


*****

Ironis—Fakta bahwa dirinya terbiasa menjadi pusat perhatian, kini hanya menjadi satu sosok penonton yang mungkin luput dari perhatian orang. Tak apalah, hari ini biarkan dirinya beristirahat dari segala kekonyolan dan kehebohan. Berdiam sesekali seperti ini rasanya damai juga. Seandainya kedua adiknya ada disini—tidak, bukan itu keinginan yang sesungguhnya. Dia berharap Nagisa-lah yang ada di sampingnya saat ini. Berdua menatap ke langit yang berhiaskan bunga-bunga buatan yang begitu indah. Bocah itu memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, jemarinya perlahan mengusap sebentuk logam bundar yang dingin— sebuah jam saku pemberian gadis yang bukan lagi miliknya itu. Bohong jika dia bilang telah benar-benar melupakan Nagisa. Jauh di dalam hatinya, bocah itu masih begitu merindukannya. Masih mereka-reka apa yang menyebabkan gadis itu meninggalkannya demi lelaki lain. Mungkinkah karena kondisi jantungnya? Sigh—

—DHUAAARR!!

Sekali lagi sebuah petasan meledak, mengeluarkan suara yang menggetarkan jantungnya—membuyarkan lamunannya. Tubuhnya mulai terasa tak nyaman. Bocah itu tak menyadari rona wajahnya mulai memucat—seharusnya ia segera beristirahat. Tatapannya kini beralih pada sesosok gadis dengan buku sketsanya, sedang sibuk menggambar di bawah sebuah pohon sakura tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis yang sepertinya dia kenal. Ah! Gadis-pemilik-botol-jus rupanya. Hasegawa-san, bukan?

Seulas senyum kini menghiasi wajah bocah itu, kedua kakinya yang panjang mulai mengayun membunuhi jarak antara dirinya dan Hasegawa-san. Tidak, dia tidak hendak berbuat iseng. Tidak untuk saat ini. Dia hanya ingin melihat apa yang digambar oleh gadis tersebut dalam buku sketsanya.

"Konbanwa, Hasegawa-san," sapa Naoto lembut, "Menggambar apa?"

*****

Hobi, suatu kegiatan yang digemari seseorang dan dilakukan secara terus menerus karena dapat memberikan kepuasan batin apabila melakukannya, dan apapun akan dilakukan untuk menunjang terlaksananya kegiatan tersebut. Jika merujuk pada definisi yang barusan disebutkan, maka hobi seorang Naoto Matsushima adalah main gitar dan memasak. Benar, lho. Saat sedang sedih atau senang—terutama saat perasaan-perasaan itu sulit untuk diungkapkan, maka gitar akan jadi penyalur perasaannya—entah dimainkan atau sekedar dipeluk-peluk dan diciumi. Saat kesal, gitarnya pun terima saja dipukuli, diketok-ketok, digigitin tapi tak sampai dihancurin. Bisa-bisa kehilangan mainan, dong. Gitar itu tentu saja dibawa oleh Naoto kemari. Tidak ada di daftar list karena bukan barang elektronik. Ha-Ha. Bagaimana dengan memasak? Mungkin untuk sementara, hobi yang satu itu perlu sedikit ditahan. Mau masak dimana, memangnya? Mungkin di sekolah barunya nanti, dia bisa ikut-ikut membantu di dapur—mungkin, hanya untuk iseng.

"Ohh...Konbanwa Matsushima-san."

Ngomong-ngomong lagi soal hobi, jelas terlihat bahwa gadis barusan menjawab sapaannya ini mempunyai hobi menggambar. Gambarnya cukup bagus jika dilihat dari sudut pandang Naoto—dari atas. Karena itu, bocah tinggi tersebut ikut berjongkok di sampingnya—hendak melihat lebih jelas. Memang hobi itu membuat seseorang melakukan apapun untuk melakukannya. Lihat saja gadis ini, dalam keadaan remang-remang pun dia tetap asyik menggambar—tak berpikir bahwa hal itu mungkin bisa mengganggu penglihatannya.

"Anda terlihat mengantuk Matsushima-san. Tidak ingin tidur?" tutur Hasegawa.

Benarkah? Naoto terlihat mengantuk? Tidak. Bukan mengantuk. Jantungnya sedang mulai memprotes. Rupanya mata gadis itu tajam juga.

"Tidak," Tiba-tiba jantungnya terasa berdenyut. Bocah itu menjengit—menunduk berusaha menyembunyikannya dari Hasegawa. Dia menghempaskan bokongnya perlahan di atas hamparan rumput dan menyandarkan punggungnya pada batang pohon sakura yang konon tak pernah berhenti berbunga itu—matanya terpejam menahan sensasi yang diberikan oleh organ vitalnya tersebut. 10 detik. "...Aku belum mengantuk."

"Matsushima-san, boleh saya bertanya sesuatu? Kenapa tidak ikut bergabung dengan mereka?" Sebuah pertanyaan kembali meluncur dari bibir gadis bernama Hasegawa itu.

Bocah itu menatap si penanya dengan mimik yang sukar dijelaskan—menghela nafas, bocah itu terdiam. Mempertimbangkan jawaban seperti apa yang harus dia ungkapkan pada gadis pemilik permata hitam legam di sampingnya. Haruskah dia mengungkapkan kebenaran yang selama ini selalu berusaha ditutupinya dari orang lain? Bocah itu melamun. Jika dia mengungkapkan yang sejujurnya pada Hasegawa, apa reaksi yang akan diterimanya? Belas kasihan, kah? Dia benci itu. "Aku...," kata-katanya terputus. Dia masih bergumul dengan perasaannya. Sesungguhnya dia ingin paling tidak ada satu orang yang tahu keadaannya di tempat asing ini namun dia juga tak ingin diperlakukan secara khusus karena kelemahannya itu. Rasanya tidak nyaman. "Aku ingin, sih. Tapi..." Kembali terputus. Bocah itu kembali menatap gadis di hadapannya—menatap matanya dalam-dalam. Bisakah dia mempercayai gadis ini? "Aku tak bisa. Ingin, tapi tak bisa," akhirnya hanya kata-kata tersebut yang terlontar dari bibir tipisnya yang perlahan mulai kehilangan warnanya. Terlukis segaris senyum miris yang sarat akan kekecewaan di wajahnya.


Jika gadis itu masih bertanya kenapa—

maka

—aku akan jelaskan yang sesungguhnya.



*****

Bodoh, entah apa yang membuatnya terbuai dan nyaris dengan mudahnya membongkar kelemahannya yang bertahun-tahun ini berupaya dia sembunyikan dari teman-temannya. Suasana remang-remang dengan kilau cahaya warna-warni dari kembang api itu, kah? Membawa nuansa romantis hadir dalam relung hatinya yang masih terluka karena Nagisa. Bocah itu menengadahkan kepalanya menyaksikan kembang api satu persatu meledak di langit mengeluarkan keindahan yang mengalahkan bintang-bintang. Tangan kirinya meremas dada kirinya yang berdenyut semakin kencang. Berharap hal itu bisa mengurangi sakitnya.

Semoga saja gadis itu tidak bertanya lebih jauh.

Gadis itu hanya diam dan melanjutkan kegiatannya, terus menggambar dengan pensil di tangannya. Membuat goresan-goresan halus membentuk rambut dari orang-orang yang sedang dilukisnya—begitu detail. Bocah itu menyandarkan kepalanya pada batang pohon sakura dan memejamkan mata. Tak ingin mengganggu pekerjaan gadis di sampingnya itu. Mungkin sebaiknya dia segera kembali ke penginapan, jantungnya sudah berdenyut tak karuan, pandangannya pun mulai buram. Ah, dia lupa meminum obatnya hari ini. Yeah, euforia seringkali membuat orang lupa akan rutinitas mereka.

"Sebaiknya saya kembali ke penginapan saja, Matsushima-san." Hasegawa membereskan peralatan menggambarnya. "Oyasumi..."

Bocah itu membuka matanya perlahan dan mengangguk pelan pada gadis itu, "Aku juga hendak kembali kesana. Sama-sama saja." Kemudian dia berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada batang pohon yang kokoh. Nyuut— Jantungnya kembali memprotes—bocah itu mengernyit dan terdiam agak lama. Saat dia membuka matanya kembali, Hasegawa sudah tak ada disana. Ya, sudahlah. Bocah itu dengan sedikit terhuyung melangkah kembali ke penginapan. Besok, ya, besok dia akan kembali menjadi Naoto Matsushima yang biasanya.

Ichijouji Bookstore & Stationery

Tongkat sihir. Beres.

Seragam. Beres.

Selanjutnya? Bagian yang paling tidak disukai oleh si bocah konyol, Buku. Tahu tidak, setiap kali bocah itu disodori buku teks apapun —termasuk koran, majalah dan novel — dalam hitungan detik, dia akan tertidur pulas. Meskipun kelopak matanya sudah dijepit sedemikian rupa, tetap saja dia tertidur. Okaasan saja sudah menyerah pada anak ini. Untungnya, bocah konyol ini mempunyai daya ingat yang sangat bagus —sehingga nilai-nilainya di sekolah selama ini juga tidak mengecewakan.

Apakah sebaiknya ia membeli buku-buku tersebut? Bagaimanapun buku tersebut tak mungkin akan terbaca olehnya —untuk selama-lamanya. Buat apa buang-buang uang, kan? Tapi, kalau ketahuan Okaasan, bisa-bisa ia diceramahi berjam-jam. Ya sudahlah, toh uang Oyaji yang ia pakai. Huahaha.

Bocah jangkung itu melangkahkan kaki panjangnya memasuki toko buku tersebut. Buku-buku tersaji lengkap disana, mulai dari manga, majalah, novel sampai buku-buku yang tebalnya bisa untuk membunuh maling. Manga boleh juga, tuh. Lebih seru baca manga daripada buku teks —ada gambarnya, sih.

Bocah itu masuk semakin ke dalam, mencari-cari bagian buku sekolah. Diambilnya satu persatu buku-buku yang tertulis untuk kelas 7. Lama-lama tumpukan di lengannya semakin banyak dan berat.

Gila. Banyak banget.

Tergopoh-gopoh bocah itu membawa buku-buku tersebut ke kasir.

"Permisi, aku beli ini semua ditambah 2 buah manga Detektif Conan. Berapa?" ujarnya.


List buku yang dibeli:
Tahun I - VII: I Believe I Can Play oleh Nagi Nami : 715 yen
Tahun I: Baseball for A WEEK oleh Hattori Gunta : 550 yen
Tahun I: Ilmu Sihir Umum oleh Nozomu Kuon : 600 yen
Tahun I - VII: Magic World Book of Astronomy oleh Ran Shigata : 1825 yen
Tahun I - VII: Divination: Drift Past, Present, and Future oleh Kagetoki Endo : 1790 yen
Tahun I-VII: Ryoku no Rekishi oleh Sanzo Itou : 1300 Yen
Tahun I - VII: Art of Magic Potion oleh Ueno Hihara : 1500 yen
Tahun I - VII: Elemental Ecology oleh Rindou Ryu : 1430 yen
Tahun I - VII: Wild Guardian and Beast oleh Takeru Sigaya : 1970 yen
Tahun I - VII: Revolution of Physics oleh Eishun Takahashi : 1310 yen
Tahun I - VII: Evolution of Biology oleh Eishun Takahashi : 1690 yen
Tahun I - VII: Revelation of Chemistry oleh Eishun Takahashi : 1340 yen
Tahun I - VII: Mathematics Sux? Who says? oleh Taiga Sawamura : 1750 yen
Tahun I - VII: Who Am I? oleh Prof. Seishun Harada, Ph.D. : 1125 yen
Tahun I - VII: If School Is A Game: The Way To Break The Rules oleh Kiyoshi Eto : 1210 yen
Tahun I - VII: Let's Sing Along! oleh Yuna Uchizawa : 925 yen
Tahun I - VII: Cara Mudah Menjalin Relasi dan Kerjasama Yang Baik oleh Nanami Sachihoko, Ph.D. : 1050 yen

RAS-su e Youkoso!

Naoto berjalan kembali menyusuri jalanan Jumonji —masih terkagum-kagum dengan tongkat Kappa kribonya. Heran, benda sekonyol itu bisa membuat moodnya amat sangat cerah. Dia sudah tak sabar ingin menceritakan pada kedua adik dan pada orangtuanya tentu —betapa keren dia bisa mendapatkan sebuah tongkat berisi nadi Kappa yang langka. Kappa Kribo! Catat itu. Mungkin Kappa Kribo wajahnya seperti Michael Jackson muda. Sugee—

"Hei, tongkat. Kau kuberi nama Kribo, ya!" ujarnya pada tongkat sihir barunya —yang tentunya tak bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

Bocah jangkung itu kemudian mengikuti sepasang ibu-anak melenggang ke arah toko seragam —RAS-su? Bocah itu langsung nyelonong masuk dan memandangi seisi toko dengan sedikit takjub. Buru-buru dia mengingat-ingat apa yang perlu dibelinya disana.
# Empat stel seragam
# Satu mantel musim dingin
# Sepatu sekolah
# Dua stel seragam olah raga
# Satu tas sekolah


Banyak juga. Saat bocah itu membaca list seragam sekolahnya —dia terlonjak dan menjerit. Konyol sekali reaksinya. Dia tak menyangka bahwa seragamnya berupa kimono dan hakama lengkap dengan tabi dan zouri. Mau sekolah atau ke festival, nih? Bocah itu bengong dengan mulut ternganga di depan rak. Seragam seperti itu sangat merepotkan pakainya, tahu. Untuk pakaian sehari-hari saja, bocah itu lebih suka kaos oblong dan celana pendek yang sederhana. Tak pakai atasan lebih bagus —sayang tubuhnya sangat kerempeng, malu untuk dipamerkan.

Ara —ini merepotkan.

Akhirnya dengan enggan diambil jugalah semua kebutuhan seragam yang akan dipakainya di sekolah nanti. Semuanya dipilih dengan warna biru dan hitam. Dia tak suka warna yang lain. Kurang jantan —demikian pendapat si bocah. Naoto kemudian melenggang ke kasir —menyerahkan semua belanjaannya.

"Permisi. Aku beli satu set seragam ukuran M dan peralatan laboratorium atas nama Naoto Matsushima. Arigachuu~" ujarnya sambil nyengir lebar.