Selasa, 10 November 2009

Firecracker Festa

Tak terasa sudah malam kedua dia berada di tempat baru, komunitas baru, suasana baru. Tsk —berat mengakui bahwa dia sedikit merindukan suasana rumah. Bila okaasan tahu dia masih berjalan-jalan di luar di jam semalam ini, mungkin dia akan dimarahi. Ya, okaasan memang terlalu kuatir dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Akibat kecelakaan sewaktu kecil yang melukai jantungnya. Tenang, kaasan —malam ini putra tertuamu tak lupa memakai jaket tebal, kok. Bocah 15 tahun itu perlahan mengayunkan kakinya —selangkah demi selangkah. Manik browniesnya menatap ke langit hitam —mengagumi keindahan bintang-bintang yang tercipta oleh satu kuasa maha dahsyat. Pemandangan yang jarang dilihatnya karena selalu ada di kamar tidur saat malam tiba.

DZIIING!

—DHUARR!


Tiba-tiba manik matanya menangkap sebuah ledakan yang menimbulkan sebentuk bunga yang sedang mekar di langit untuk beberapa detik —indah. Bocah itu meneruskan langkahnya, hendak mencari dimana gerangan asal dari keindahan tersebut —semakin dekat dengan pohon sakura. Dilihatnya beberapa anak sebayanya sedang asyik bermain petasan dan kembang api. Ajaib bukan —dari sebuah tabung dan sehelai sumbu pendek bisa menghasilkan sesuatu yang demikian indah di langit. Seolah langit diubah menjadi kanvas hitam yang sedang dilukis. Sayang, lukisan itu hanya bertahan sesaat lalu hilang menjadi asap.

Bocah itu tergerak untuk ikut bermain bersama mereka —namun kakinya seolah terpaku tetap di tempatnya. Ya, dia tak boleh lupa pada kondisi tubuhnya sendiri. Semakin mendekati sumber keindahan itu, suara ledakan pun semakin keras. Di tempatnya berdiri pun, efek suara ledakan itu sudah membuat jantungnya sedikit bergetar —sakit. Bocah itu akhirnya memutuskan untuk menonton kira-kira 10 meter dari tempat anak-anak itu bermain. Mengagumi berbagai bentuk indah yang tercipta beberapa saat setelah ledakan terdengar.

Sedikit menyakitkan jantungnya memang —namun bocah itu tak ingin beranjak dari sana.


*****

Ironis—Fakta bahwa dirinya terbiasa menjadi pusat perhatian, kini hanya menjadi satu sosok penonton yang mungkin luput dari perhatian orang. Tak apalah, hari ini biarkan dirinya beristirahat dari segala kekonyolan dan kehebohan. Berdiam sesekali seperti ini rasanya damai juga. Seandainya kedua adiknya ada disini—tidak, bukan itu keinginan yang sesungguhnya. Dia berharap Nagisa-lah yang ada di sampingnya saat ini. Berdua menatap ke langit yang berhiaskan bunga-bunga buatan yang begitu indah. Bocah itu memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, jemarinya perlahan mengusap sebentuk logam bundar yang dingin— sebuah jam saku pemberian gadis yang bukan lagi miliknya itu. Bohong jika dia bilang telah benar-benar melupakan Nagisa. Jauh di dalam hatinya, bocah itu masih begitu merindukannya. Masih mereka-reka apa yang menyebabkan gadis itu meninggalkannya demi lelaki lain. Mungkinkah karena kondisi jantungnya? Sigh—

—DHUAAARR!!

Sekali lagi sebuah petasan meledak, mengeluarkan suara yang menggetarkan jantungnya—membuyarkan lamunannya. Tubuhnya mulai terasa tak nyaman. Bocah itu tak menyadari rona wajahnya mulai memucat—seharusnya ia segera beristirahat. Tatapannya kini beralih pada sesosok gadis dengan buku sketsanya, sedang sibuk menggambar di bawah sebuah pohon sakura tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis yang sepertinya dia kenal. Ah! Gadis-pemilik-botol-jus rupanya. Hasegawa-san, bukan?

Seulas senyum kini menghiasi wajah bocah itu, kedua kakinya yang panjang mulai mengayun membunuhi jarak antara dirinya dan Hasegawa-san. Tidak, dia tidak hendak berbuat iseng. Tidak untuk saat ini. Dia hanya ingin melihat apa yang digambar oleh gadis tersebut dalam buku sketsanya.

"Konbanwa, Hasegawa-san," sapa Naoto lembut, "Menggambar apa?"

*****

Hobi, suatu kegiatan yang digemari seseorang dan dilakukan secara terus menerus karena dapat memberikan kepuasan batin apabila melakukannya, dan apapun akan dilakukan untuk menunjang terlaksananya kegiatan tersebut. Jika merujuk pada definisi yang barusan disebutkan, maka hobi seorang Naoto Matsushima adalah main gitar dan memasak. Benar, lho. Saat sedang sedih atau senang—terutama saat perasaan-perasaan itu sulit untuk diungkapkan, maka gitar akan jadi penyalur perasaannya—entah dimainkan atau sekedar dipeluk-peluk dan diciumi. Saat kesal, gitarnya pun terima saja dipukuli, diketok-ketok, digigitin tapi tak sampai dihancurin. Bisa-bisa kehilangan mainan, dong. Gitar itu tentu saja dibawa oleh Naoto kemari. Tidak ada di daftar list karena bukan barang elektronik. Ha-Ha. Bagaimana dengan memasak? Mungkin untuk sementara, hobi yang satu itu perlu sedikit ditahan. Mau masak dimana, memangnya? Mungkin di sekolah barunya nanti, dia bisa ikut-ikut membantu di dapur—mungkin, hanya untuk iseng.

"Ohh...Konbanwa Matsushima-san."

Ngomong-ngomong lagi soal hobi, jelas terlihat bahwa gadis barusan menjawab sapaannya ini mempunyai hobi menggambar. Gambarnya cukup bagus jika dilihat dari sudut pandang Naoto—dari atas. Karena itu, bocah tinggi tersebut ikut berjongkok di sampingnya—hendak melihat lebih jelas. Memang hobi itu membuat seseorang melakukan apapun untuk melakukannya. Lihat saja gadis ini, dalam keadaan remang-remang pun dia tetap asyik menggambar—tak berpikir bahwa hal itu mungkin bisa mengganggu penglihatannya.

"Anda terlihat mengantuk Matsushima-san. Tidak ingin tidur?" tutur Hasegawa.

Benarkah? Naoto terlihat mengantuk? Tidak. Bukan mengantuk. Jantungnya sedang mulai memprotes. Rupanya mata gadis itu tajam juga.

"Tidak," Tiba-tiba jantungnya terasa berdenyut. Bocah itu menjengit—menunduk berusaha menyembunyikannya dari Hasegawa. Dia menghempaskan bokongnya perlahan di atas hamparan rumput dan menyandarkan punggungnya pada batang pohon sakura yang konon tak pernah berhenti berbunga itu—matanya terpejam menahan sensasi yang diberikan oleh organ vitalnya tersebut. 10 detik. "...Aku belum mengantuk."

"Matsushima-san, boleh saya bertanya sesuatu? Kenapa tidak ikut bergabung dengan mereka?" Sebuah pertanyaan kembali meluncur dari bibir gadis bernama Hasegawa itu.

Bocah itu menatap si penanya dengan mimik yang sukar dijelaskan—menghela nafas, bocah itu terdiam. Mempertimbangkan jawaban seperti apa yang harus dia ungkapkan pada gadis pemilik permata hitam legam di sampingnya. Haruskah dia mengungkapkan kebenaran yang selama ini selalu berusaha ditutupinya dari orang lain? Bocah itu melamun. Jika dia mengungkapkan yang sejujurnya pada Hasegawa, apa reaksi yang akan diterimanya? Belas kasihan, kah? Dia benci itu. "Aku...," kata-katanya terputus. Dia masih bergumul dengan perasaannya. Sesungguhnya dia ingin paling tidak ada satu orang yang tahu keadaannya di tempat asing ini namun dia juga tak ingin diperlakukan secara khusus karena kelemahannya itu. Rasanya tidak nyaman. "Aku ingin, sih. Tapi..." Kembali terputus. Bocah itu kembali menatap gadis di hadapannya—menatap matanya dalam-dalam. Bisakah dia mempercayai gadis ini? "Aku tak bisa. Ingin, tapi tak bisa," akhirnya hanya kata-kata tersebut yang terlontar dari bibir tipisnya yang perlahan mulai kehilangan warnanya. Terlukis segaris senyum miris yang sarat akan kekecewaan di wajahnya.


Jika gadis itu masih bertanya kenapa—

maka

—aku akan jelaskan yang sesungguhnya.



*****

Bodoh, entah apa yang membuatnya terbuai dan nyaris dengan mudahnya membongkar kelemahannya yang bertahun-tahun ini berupaya dia sembunyikan dari teman-temannya. Suasana remang-remang dengan kilau cahaya warna-warni dari kembang api itu, kah? Membawa nuansa romantis hadir dalam relung hatinya yang masih terluka karena Nagisa. Bocah itu menengadahkan kepalanya menyaksikan kembang api satu persatu meledak di langit mengeluarkan keindahan yang mengalahkan bintang-bintang. Tangan kirinya meremas dada kirinya yang berdenyut semakin kencang. Berharap hal itu bisa mengurangi sakitnya.

Semoga saja gadis itu tidak bertanya lebih jauh.

Gadis itu hanya diam dan melanjutkan kegiatannya, terus menggambar dengan pensil di tangannya. Membuat goresan-goresan halus membentuk rambut dari orang-orang yang sedang dilukisnya—begitu detail. Bocah itu menyandarkan kepalanya pada batang pohon sakura dan memejamkan mata. Tak ingin mengganggu pekerjaan gadis di sampingnya itu. Mungkin sebaiknya dia segera kembali ke penginapan, jantungnya sudah berdenyut tak karuan, pandangannya pun mulai buram. Ah, dia lupa meminum obatnya hari ini. Yeah, euforia seringkali membuat orang lupa akan rutinitas mereka.

"Sebaiknya saya kembali ke penginapan saja, Matsushima-san." Hasegawa membereskan peralatan menggambarnya. "Oyasumi..."

Bocah itu membuka matanya perlahan dan mengangguk pelan pada gadis itu, "Aku juga hendak kembali kesana. Sama-sama saja." Kemudian dia berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada batang pohon yang kokoh. Nyuut— Jantungnya kembali memprotes—bocah itu mengernyit dan terdiam agak lama. Saat dia membuka matanya kembali, Hasegawa sudah tak ada disana. Ya, sudahlah. Bocah itu dengan sedikit terhuyung melangkah kembali ke penginapan. Besok, ya, besok dia akan kembali menjadi Naoto Matsushima yang biasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar