Jumat, 13 November 2009

Gerbong #01: Arata na Hajimari no Owari

Pagi tadi, tiba-tiba okaasan dan oyaji datang ke Fujisaki Inn—seolah mereka menyadari bahwa kondisi tubuh putra pertama mereka sedang menurun. Yah, jantungnya kumat lagi semalam setelah menyaksikan anak-anak lain bermain petasan dan kembang api. Sial. Gairah dan kelelahan berdampak buruk pada jantung bocah itu, untung saja tidak terlalu parah. Bocah itu memang seringkali lupa dengan daya tahan tubuhnya sendiri. Setelah seharian tidur, badannya kini sudah kembali segar. Berbekal ribuan nasehat dari kedua orangtuanya, bocah itu akhirnya tiba juga di Stasiun Akita. Setelah sesi peluk cium dan janji untuk sering-sering memberi kabar dengan kedua orangtuanya yang masih saja mengkhawatirkan dirinya, Naoto segera melompat menaiki salah satu gerbong. Menyambut kebebasan. Dengan begini, takkan ada yang tahu soal jantungnya yang lemah, takkan ada yang sok mengasihani dirinya, takkan ada yang cerewet mengatur-atur dirinya.

Takkan ada Nagisa lain yang meninggalkannya dengan alasan tersebut.

Permata browniesnya memandang berkeliling. Sudah ada tujuh orang anak yang duduk disana. Masih tersisa dua tempat yang artinya dia bisa ikut menumpang di gerbong tersebut. Bagus, tak perlu repot-repot mencari. Bocah itu tersenyum lebar pada seluruh penumpang di gerbong tersebut.

"Halo semua. Gabung, ya! Aku Naoto, Naoto Matsushima. Salam kenal." Anak itu segera merapikan bawaannya dan duduk di tempat yang hampir dekat dengan jendela. Yah, di sebelah jendela sudah ada seorang anak perempuan soalnya. Pamali buat Naoto jika tidak mau mengalah sama kaum hawa. Bocah itu berniat untuk tidur saja di gerbong. Dua jam perjalanan akan terasa membosankan. Untunglah okaasan membawakan walkmannya yang tertinggal di rumah.

Hmm, gadis di sampingnya ini sepertinya dia kenal. "Hasegawa-san?"

*****

Well. Okay. Belum selang berapa menit bocah itu duduk di kursinya—dia setengah tertidur, dia tidak menyadari bahwa sesuatu yang kacau balau luar biasa heboh sedang terjadi di depan matanya. Memang telinganya mendengar keributan,tapi matanya terpejam—entah kenapa dia merasa pusing tiba-tiba. Payah. Kalau begini terus bagaimana dia bisa membuat kedua orangtuanya percaya bahwa dia akan baik-baik saja selama di Ryokubita. Bocah itu mengernyit ketika beberapa suara cempreng khas perempuan berteriak-teriak. Dan sepertinya namanya sempat dipanggil? Sayang sekali, bocah itu benar-benar sedang dalam fase tidak bisa memperhatikan keadaan di luar dirinya. Jantungnya sakit lagi, kuso—. Rasanya ia perlu menelan obat penghilang sakit agar bisa tertidur dalam perjalanan yang sepertinya akan sangat bising. Suara hewan dan suara manusia campur aduk. Kalau dia sedang tidak kambuh begini, sih, dia akan dengan senang hati menjadi badut dalam gerbong. Perlahan bocah itu membuka matanya dan dengan terkejut menatap seorang gadis dan sebuah tas hitam yang tergeletak di lantai gerbong—gadis itu sedang dibantu berdiri oleh seorang anak laki-laki yang sepertinya pernah ia temui di bar. Tetsu kalau tak salah.

Bocah itu mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa kantuk dan pusingnya. Kemudian anak itu bangkit berdiri dan berjalan ke arah tas hitam yang sepertinya menjadi sumber keributan. "Nona tak apa-apa? Maaf tadi aku tertidur sehingga tidak membantumu." Bocah itu berbicara pada gadis yang tadi tergeletak di lantai gerbong, berusaha tersenyum—lalu mengangkat tas hitam tersebut dari lantai dan meletakkannya di rak penyimpanan barang. Lalu bocah itu mengambil tas ransel miliknya dan kembali duduk di tempatnya—di samping Hasegawa.

Bocah itu tak mempedulikan beberapa orang baru ikut bergabung di gerbong tersebut. Bukan sombong, dia hanya sedang berusaha menahan rasa sakit di kepala dan dadanya. Matanya terpejam, sementara tangan kirinya memegangi tas ranselnya—tangan kanannya sibuk merogoh-rogoh ke dalam tas. Dia mencari obatnya. Begitu tangannya berhasil menemukan botol obatnya, segera ia keluarkan satu butir pil dari sana tanpa mengeluarkan botolnya dari tas. Dia tak ingin ada yang tahu kondisinya. Dengan cepat bocah itu menelan pilnya. Berharap rasa sakitnya cepat mereda. Rona merah mulai menghilang dari bibir bocah itu, jantungnya tak mau berhenti memprotes. Entah apa maunya. Dia sudah tidur hampir seharian dan jantung sialan itu masih saja protes. Dan kenapa harus di saat seperti ini? Merepotkan.

Badannya mulai terasa melemah demikian juga kesadarannya. Dia perlu bersandar. Perlahan bocah itu menoleh ke samping, memandangi Hasegawa—mempertimbangkan kemungkinan untuk bertukar tempat duduk dengannya. "Hasegawa-san," panggilnya lirih, "Maaf sebelumnya. Apa kamu keberatan jika tukar tempat duduk denganku? Aku merasa kurang sehat. Ingin bersandar di dinding gerbong."

*****

Sungguh. Beneran. Tidak bohong. Ini situasi yang paling dibenci oleh bocah itu, saat dia harus meminta belas kasihan dan dipandangi dengan tatapan cemas oleh orang lain. Damn! Bukan begini seharusnya situasi yang dialami seorang Naoto Matsushima di gerbong kereta yang membawanya untuk pertama kalinya ke Ryokubita. Seharusnya ini jadi momen yang paling berkesan, momen paling tak terlupakan dan seharusnya saat itu Naoto menjadi pusat perhatian karena kekonyolan dan kelucuannya. Bukan karena kondisi kesehatannya yang anjlok. Chikuso—

Dan saat ini dua orang gadis yang seharusnya menatapnya dengan kekaguman dan senyum, sedang menatapnya dengan pandangan mengasihani. Oh, demi seluruh calon penggemar di masa datang. Naoto tidak suka ini tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Setidaknya, dia bisa beralasan mabuk darat atau apalah. Tak ada yang boleh tahu tentang penyakit jantungnya.

Pertama, seorang gadis cantik dengan seekor anjing di sampingnya menghampiri dia dan menanyakan kondisinya serta berkomentar tentang wajahnya yang pucat. Kedua, Hasegawa-san di sampingnya terlihat ketakutan saat melihat dirinya—membuatnya merasa seperti kuman yang membawa penyakit menular. Setidaknya dia memberikan tempat duduknya dan langsung berdiri di koridor. Entah kenapa bukannya duduk di tempat Naoto saja. Mungkin gadis itu benar-benar menganggapnya kuman. Ah, citranya memburuk dalam sekejap. Bocah itu perlahan menggeser duduknya ke dekat jendela, kepalanya langsung terkulai lemas. Sebenarnya dia sudah tak sanggup bicara tapi demi kesopanan dia harus menjawab agar dua orang gadis cantik ini tidak cemas berlebihan seperti kebiasaan okaasan. "A... aku tak apa-apa. Sedikit mabuk darat saja, mungkin."

Bocah itu mengantuk—efek dari obat yang ditenggaknya tadi sepertinya mulai bekerja. Samar-samar didengarnya suara seseorang terjatuh dan berteriak. Dilanjutkan dengan suara-suara lain. Nyanyian kah? Bocah itu sudah tak terlalu mengerti. Kesadarannya ditarik makin dalam, masuk dalam dunia mimpi yang semoga akan membuatnya lebih baik saat terbangun nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar