Selasa, 24 November 2009

SHe's the MAN

Bangun tidur ku terus mandi
Tidak lupa menggosok gigi


Naoto menggeliat di atas kasurnya, rasa malas masih menguasai seluruh tubuhnya. Ingin rasanya dia meringkuk dan kembali terlelap dalam tidurnya jika saja dia tak ingat dimana dia berada sekarang. Ya, dia ada di Ryokubita, tepatnya di asrama Kiku yang katanya tempat untuk anak-anak yang optimis, percaya diri dan ceria.
Naoto banget gitu , lho! Dengan malas, akhirnya Naoto mengangkat badannya dan duduk di atas kasurnya—bengong mengumpulkan roh-roh yang masih berseliweran entah kemana. Menghirup nafas dalam-dalam seolah-olah dengan begitu roh-rohnya yang masih membandel bisa tersedot masuk melalui lubang hidungnya. Naoto mengerjap-ngerjapkan matanya, mengusir kantuk.

Sudut browniesnya menangkap sosok Hiromi yang sedang melangkah keluar dari kamar dengan membawa peralatan mandi dan handuk tersampir di pundaknya. Oh, benar juga. Dia berencana mencoba onsen yang ada di Ryokubita. Bocah jangkung itu sempat batal jalan-jalan ke onsen bersama keluarganya karena dia terpaksa dirawat di rumah sakit selama 3 bulan. Kali ini, onsen hanya berjarak sangat dekat—tepatnya masih dalam lingkungan sekolah. Keren juga sekolah ini, fasilitasnya lengkap. Bahkan ada kuil segala.
Mana tahan!

Akhirnya bocah jangkung itu memutuskan untuk menyusul Hiromi ke onsen. Diambilnya selembar handuk dari dalam tasnya beserta peralatan mandi lalu melenggang dengan gaya khasnya yang setengah nge-
beat langsung menuju onsen laki-laki. Ya iya, masa masuk ke onsen perempuan? Bisa-bisa muka gantengnya ini habis ditimpuki ember oleh anak-anak perempuan. Sebenarnya ingin mencoba pura-pura salah masuk, sih. Tapi, rasanya tidak etis bila dilakukan di hari-hari pertamanya di Ryokubita.

Karena itulah bocah itu langsung membuka pintu masuk ke onsen laki-laki dan melangkah mendekati onsen dimana Hiromi sudah asyik berendam disana bersama seorang cowok ganteng yang wajahnya memerah dan tergagap saat berbicara dengan Hiromi. Ada dua orang cowok lain disana, salah satunya adalah kakak penjual tongkat yang memberinya tongkat Kappa Kribo paling keren sedunia.

Bocah itu melepas bajunya dan meletakkan bawaannya di pinggir onsen,
"Awaaaaasss!" Dan tanpa basa-basi bocah jangkung itu melompat dengan sukses—membuat deburan keras yang menyiram kemana-mana. "YAHOOO—"

*****

"YAHOO!!"

Sekujur tubuh bocah jangkung itu sekarang basah kuyup, jelas saja, orang-orang di sekitarnya yang menjadi korban tindakan noraknya saja basah kuyup apalagi sang pelaku. Bocah itu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya lalu mendorongnya ke atas, sehingga rambutnya yang menutupi wajah kini rapi menempel di atas kepalanya. Cengiran usil khas Naoto tertera jelas di wajahnya saat dia mengayunkan kakinya di dalam air untuk menghampiri Hiromi dan ketiga orang disana.
"Ohayou." Bocah itu kemudian bersandar di pinggiran onsen di samping Hiromi.

"Halo, Naoto-kun~! Pagi-pagi sudah semangat sekali, ya? Dan onsennya sekarang jadi ramai~! Tadi Hiro sendirian terus, sih, menyebalkan sekali! Tapi sekarang sudah ramai, iya kan?" Nah, Hiromi sudah memecahkan suasana dengan gaya bicara panjang lebar khas perempuannya. Lucu. Anak itu sedikit banyak mengingatkannya pada Kou. Meski Kou tidak secerewet Hiromi, sih.

"Halo, Hiro-chan. Baru pertama kali ke onsen, maklum. Bukankah kau berempat dengan mereka?" ujar Naoto sambil mengendikkan kepalanya menunjuk ke arah tiga cowok yang juga sedang berendam di onsen. "Kau kesepian tanpa aku, ya?" Naoto menggoda Hiromi sambil mencuil dagu anak itu dengan jari telunjuknya. Kemudian bocah itu melemparkan pandangan pada anak cowok yang gagap dan memerah karena berbicara dengan Hiromi. Ngakunya, sih kulitnya tidak tahan air panas. Padahal, Naoto yakin bocah satu itu terkejut melihat Hiromi ada di onsen laki-laki. Untung saja Naoto sekamar dengan Hiromi sehingga dia sudah mengetahui kenyataan itu sejak semalam. Jangan-jangan dia sempat naksir pada Hiromi? Senyuman nakal langsung terhias di wajah Naoto.

"Hey, kalau tak tahan air panas sebaiknya kau jangan berlama-lama berendam. Nanti kulit halusmu itu matang direbus onsen, lho," seru Naoto pada anak lelaki berwajah merah itu, "atau jangan-jangan sebenarnya kau grogi berdekatan dengan Hiro-chan yang manis?"

Demi air onsen yang panas mendidih, demi kulit anak itu terebus hingga matang, demi dua anak cowok yang sedang gosok-gosok punggung di belakangnya. Si muka merah bukannya menjawab pertanyaannya malah menuduh dirinya dan seorang cowok yang baru akan masuk onsen kentut!
Tsk—grogi sampai terkentut-kentut, Nak? Kasihan sekali. Naoto tertawa terbahak-bahak.

“Memangnya kau kira kentut keluar dari mata kaki, heh?” sergah si cowok yang baru saja memasukkan tubuhnya ke dalam air. Mengerling tak suka pada si muka merah. “Jangan-jangan malah kau yang buang angin—biasanya yang sadar duluan, dialah yang melakukan, bukan?”

Gotcha! Siapa lagi pelakunya kalau bukan si penuduh sendiri? Tapi kasihan, wajahnya sudah terlalu matang untuk dipermalukan sekali lagi. Kali ini Naoto akan menyelamatkanmu, Nak. Berterimakasihlah pada Naoto yang begitu murah hati dan tidak sombong.

"Hey, kau. Mulai sekarang, kujuluki kau tuan kepiting! Sebab wajahmu merah!" Naoto tertawa terpingkal-pingkal hingga wajahnya pun ikut memerah, "Oke, anggap saja aku yang kentut. Kentut itu sehat, tahu," ujar Naoto lagi sambil menepuk-nepuk bokongnya ke arah tuan kepiting.

Ada bagusnya juga kejadian konyol ini. Setidaknya tidak ada seorangpun yang menanyakan soal bekas luka memanjang di dadanya ini.
Well, belum. Luka sebesar ini tak mudah disembunyikan seperti menyembunyikan kentut.

*****

Sekali lagi Naoto dibuat terbahak-bahak oleh bocah laki-laki di hadapannya yang kini sudah bergelar Tuan Kepiting, sampai-sampai dia tak mendengar ucapan Hiromi yang berusaha mengganti topik soal kentut yang cukup sensitif—bagi orang lain, bukan bagi Naoto. Bagaimana bisa Naoto tidak tertawa melihat wajah Tuan Kepiting kini benar-benar seperti kepiting rebus ditambah lagi uap air onsen yang mengepul di sisi-sisi wajahnya menambah kesempurnaan lukisan wajah kepiting rebus tersebut. Seandainya Naoto membawa kamera saat itu, dia takkan membuang-buang waktu untuk mengabadikan momen ini.

"Baik, kalau julukanku tuan kepiting, bagaimana kalau kau kujuluki "Monyet Gunung", untuk tingkah laku-mu yang norak, mau?" ujar Tuan Kepiting dengan ekspresi dingin.

Naoto tertawa lagi—kali ini hanya tertawa kecil. Bocah itu bukannya menolak malah menawarkan barter julukan! Naoto jadi merasa mulai menyukai si Tuan Kepiting—sebagai teman tentunya. Ya, orang-orang lucu yang gampang dikerjain itu menyenangkan. Membuat Naoto jadi sering tertawa. Tertawa itu sehat, tapi kebanyakan tertawa juga sebenarnya kurang bagus untuk jantung Naoto. Dan bisa-bisa membuat seseorang jadi gila. Untung saja sampai saat ini, Naoto belum tergolong anak yang perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa tersebut. Anak yang beruntung, bukan?

"Tuan Kepiting," Naoto terkekeh, "kau pintar juga memberi julukan. Aku suka! Meski sebenarnya aku lebih suka disebut Kappa Kribo seperti inti tongkat sihirku yang diberikan oleh Sei senpai yang tadi kau tuduh kentut itu. Tapi, Monyet Gunung boleh juga. Mulai sekarang kita pasangan Monyet Gunung dan Tuan Kepiting, ya! Dan gurauanku sejak tadi, jangan dimasukkan dalam hati. Oke?" Naoto dengan senyum lebar menepuk-nepuk pundak si Tuan Kepiting yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan pada senpai yang tadi digosokkan punggungnya oleh Sei senpai.

Rupanya si Tuan Kepiting seorang pemain sepakbola. Dia menanyakan soal klub-klub yang ada di Ryokubita. Wajibkah semua murid mengikuti klub? Kalau iya, Naoto terpaksa memilih klub yang tak ada hubungannya dengan olahraga, nih. Bocah itu menggaruk-garuk hidung untuk menyembunyikan ekspresi malasnya. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki lain yang sepertinya adalah senpai-nya juga ikut bergabung masuk ke onsen dan langsung menanggapi pertanyaan Tuan Kepiting dengan pertanyaan lain.

"Nagata-kun mau masuk klub sepakbola, ya? Keren! Hiro belum tahu mau masuk klub apa, sih. Klub di Ryokubita apa saja, sih?" Pertanyaan dari Hiromi sepertinya cukup mewakili apa yang ingin diketahui Naoto. Semoga saja ada seseorang yang berbaik hati memberikan jawaban.

"Memangnya, murid Ryokubita wajib ikut klub?" tanya Naoto akhirnya dengan nada malas.

Happy Onsen~

Pagi itu Naoto terbangun pagi sekali gara-gara mimpi buruk yang membuat moodnya jadi jelek. Dalam mimpinya, dia dikejar-kejar serigala buas yang dia timpuki batu karena hendak menyerang Nagisa. Bocah jangkung itu terus berlari dan berlari sambil menggandeng tangan perempuan yang pernah menjadi seseorang yang berarti di hidupnya itu. Berlari sehingga jantungnya terasa nyaris meledak. Parahnya lagi, Nagisa yang hendak dia lindungi tiba-tiba menyeringai ke arahnya saat mereka sudah berada di tempat aman. Gigi taring khas drakula terlihat jelas di sudut kanan dan kiri mulut Nagisa yang kemudian terlihat semakin dekat—hendak menggigitnya. Saat itulah dunia nyata menariknya keluar dengan cepat.

Jemari bocah itu meremas dadanya, rasa sakit tiba-tiba mendera organ vital yang ada di balik kulit dan tulang dadanya, membuat wajahnya berubah pucat dan bibirnya membiru. Seringai Nagisa berulang-ulang terbayang dalam benaknya. Naoto memejamkan kembali kedua matanya dan mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Rasa sakit perlahan menghilang seiring dengan ketenangan yang kembali didapatkannya.

Apakah Nagisa begitu benci padaku?

Perlahan bocah jangkung itu berdiri dari tempat tidurnya, meraih sebotol air putih dan menenggaknya dengan cepat. Diambilnya pakaian ganti dan perlengkapan mandi dari bawah tempat tidurnya. Mungkin air panas onsen bisa membuat perasaannya kembali membaik. Dengan cepat kaki-kaki panjangnya melangkah menuju onsen tanpa memedulikan orang-orang yang dia temui dalam perjalanan singkatnya itu.

Perlahan, Naoto menggeser pintu onsen dan melangkah masuk. Browniesnya menangkap dua sosok anak laki-laki yang dikenalnya tengah berendam di sana sedang bercakap-cakap. Syukurlah, hari itu onsen tidak terlalu ramai. Bocah jangkung itu sedang tidak dalam kondisi fit—jasmani maupun jiwani.

"Ohayou. Hiro-chan, Tetsu."

Tanpa banyak bicara, Naoto mencelupkan satu persatu kakinya setelah terlebih dahulu meletakkan pakaian ganti dan peralatan mandi di pinggir onsen. Masuk ke dalam air dengan cara yang normal. Kemudian, dia membasahi sebuah handuk kecil, melipatnya membentuk segi panjang lalu meletakkannya menutupi kedua matanya. Kepala dia sandarkan di pinggir onsen—menikmati sensasi hangat yang mulai menjalari tubuhnya, membuatnya merasa sedikit lebih rileks meski rona pucat di wajahnya belum hendak beranjak pergi. Naoto melakukan semuanya dalam diam seolah tak peduli meski mungkin kedua temannya keheranan dengan tingkah lakunya yang tidak biasa itu.

Well, sekarang harus mulai dibiasakan karena badut tak selamanya melucu.

Rabu, 18 November 2009

About Family

Keluarga. Ini pertama kalinya, lho, bocah itu dipercaya untuk berada jauh dari rumah. Biasanya, untuk keluar rumah saja dia harus ijin dulu sama Okaasan yang benar-benar luar biasa super protektif padanya. Wajar, sih. Namanya juga seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya. Apalagi mengingat kondisi jantungnya yang lemah. Kalau bukan karena dukungan dari oyaji, mungkin bocah itu sekarang takkan ada di Ryokubita. Aneh juga sebenarnya berada jauh dari rumah. Biasanya dia bisa tukar pikiran dengan kedua adik kembarnya, Kazu dan Kou. Disini, dia belum mendapat teman yang enak diajak bicara. Namanya juga tempat baru. Mudah-mudahan saja dia bisa segera mendapat teman dekat disini.

Bocah itu mengayunkan kaki-kaki panjangnya melangkah ke arah taman utama kastil Ryokubita. Taman yang penuh dengan bermacam-macam bunga berwarna-warni. Tempat yang pastinya akan sangat disukai oleh Okaasan dan mungkin—Nagisa. Bocah itu pun menyukai tempat-tempat hijau yang tenang untuk sekedar menikmati keindahan alam yang tercipta oleh satu keajaiban tanpa batas. Mencerna setiap proses kehidupan, setiap kenangan yang pernah dialaminya. Percayalah, di saat manusia sedang terbelit dalam masalah, mereka butuh waktu untuk menyendiri. Perlahan-lahan mengurai tali-tali masalah yang membelit hingga kembali lurus dengan kepala dingin. Tak pernah ada masalah yang tak memiliki jalan keluar. Asal manusia bisa mengontrol ego maka semua akan terlihat lebih mudah.

Kristal browniesnya menyapukan pandangan ke seluruh area taman, mencari-cari spot terbaik untuk sekedar melemaskan kaki atau membaringkan tubuhnya. Menikmati ketenangan dan semilir angin lembut yang memanjakan kulitnya. Bocah itu menghirup udara dalam-dalam—merasakan aliran udara masuk melalui saluran pernafasannya langsung menuju paru-paru dan kemudian menghembuskannya. Udara yang harum memang membuat badan terasa segar. Jelas, udara disini jauh lebih bersih daripada udara di lingkungan rumahnya yang telah terpolusi.

Kakinya kembali melangkah—dibimbing oleh jalan setapak berbatu, menuju sebuah kolam yang bayangannya tertangkap oleh kristal browniesnya. Gemerisik bebatuan yang terinjak olehnya memecah keheningan. Semakin dekat ia pada kolam tersebut, dilihatnya satu sosok gadis sedang duduk di tepian kolam bersama seekor kucing berwarna hitam-putih. Sepertinya sosok itu pernah dilihatnya di suatu tempat. Ini bukan bermaksud menggombal murahan, dia benar-benar pernah melihat gadis itu. Ya, mereka satu gerbong di kereta. Gadis yang tertimpa tas itu—Aoi Mizuno-san. Bocah kurus itu melangkah mendekat. Jika kenal, tak menyapa sama artinya dengan tak sopan. Begitulah prinsip seorang Naoto Matsushima. Apalagi ekspresi gadis itu nampak kesepian. Siapa tahu kehadirannya bisa sedikit menghibur.

"Konnichiwa. Mizuno-san? Keberatan bila aku ikut duduk disini?" sapanya sambil tersenyum lebar pada gadis itu.


*****

"Matsushima-san? Tentu saja Saya tidak keberatan, silahkan saja," Mizuno-san menjawab sapaannya seraya menggeser posisi duduknya sehingga bocah itu bisa duduk di sampingnya. Bocah itu pun menghempaskan bokongnya perlahan pada karpet hijau lembut milik sang bumi. "Arigatou," ujarnya dengan senyuman lembut pada sang gadis.

Naoto hanya mengenal dua orang kaum hawa dalam lima belas tahun hidupnya, okaasan dan Nagisa. Okaasan adalah seorang wanita berparas lembut yang senantiasa tersenyum. Apabila gurat-gurat kecemasan muncul di wajahnya, penyebabnya hampir selalu adalah dia. Hal itu sebenarnya cukup membuat seorang Naoto mendengus kesal pada dirinya sendiri, dia tak suka wanita yang disayanginya itu kehilangan senyumannya. Apalagi karena dirinya. Karena itulah, sebisa mungkin bocah itu menjaga perasaan okaasan dan selalu bersikap manis pada wanita itu. Okaasan senang bila disebut cantik, okaasan senang bila disebut manis. Okaasan adalah kaum hawa dan itu berarti semua kaum hawa suka dipuji dan diperlakukan seperti Naoto memperlakukan okaasan—setidaknya itu menurut pemikiran seorang Naoto. Lalu Nagisa—ah, lupakan saja.

Nagisa kini hanyalah masa lalu baginya. Tak baik terlalu lama terikat dengan masa lalu yang hampir merenggut nyawanya itu. Perlahan jemari Naoto meremas segenggam rumput—emosi sedikit menguasainya untuk sesaat.


"Bagaimana kabar Matsushima-san? Betah di sekolah?" Gadis di sampingnya melontarkan pertanyaan yang membuyarkan lamunannya. Oh, sure.

Naoto bukan orang yang tidak suka bercakap-cakap, justru kebisuan malah membuatnya risih. "Kabarku baik dan sejauh ini, aku cukup betah berada di sini. Bagaimana denganmu, Mizuno-san?" jawab bocah itu sambil menatap mata Mizuno-san. Segaris senyum terukir di wajahnya yang tampan kemudian dengan santai diluruskannya kakinya yang panjang itu.

"Selamat sore Aoi-chan juga Naoto-san, apa kabar? Boleh ikut duduk di sini?" Seseorang datang menghampiri mereka, Tetsu rupanya. Sudah ketiga kalinya mereka bertemu. Mungkin ada jodoh? Untuk berteman, lho. Naoto masih lurus.

"Selamat sore, Tetsu-san. Silakan, duduk saja. Taman ini masih bebas diduduki siapa saja, kok," ujarnya bergurau.

"Halo Aoi-chan~! Naoto-kun dan Tetsu-pyon juga! Ada apa, sih? Hiro boleh ikut tidak? Habis dari tadi Hiro jalan-jalan sendiri terus, tidak ada temannya! Lama-lama jadi bosan, apalagi ternyata Ryokubita itu luaaaas sekali, ya? Hiro sampai tersesat..." Datang lagi satu orang yang tersesat(?). Lagi-lagi bocah yang segerbong dengannya. Rupanya penghuni gerbong nomor satu menyukai taman ini. Ha-Ha-Ha.

"Halo Hiro-chan. Kamu ceria sekali, ya," Naoto tertawa mendengar rentetan kata-kata yang keluar dari bibir seorang anak laki-laki yang kecil itu, "Maunya ada apa, nih? Sini duduk saja daripada tersesat masuk ke kolam itu dan dijadikan makanan ikan." Bocah itu kemudian menepuk-nepuk sepetak rumput di dekatnya untuk diduduki Hiro.

Baguslah, dia sekarang bisa berkenalan dengan mereka—menebus waktu yang terbuang saat di gerbong kereta. Empat orang sudah berkumpul—kucing tidak masuk hitungan—enaknya main apa, ya? Ah! Satu permainan terbersit di kepalanya. Cengiran jahil kini terlukis demikian indah di wajahnya. Permainan ini bisa memuaskan keinginannya untuk saling mengenal dengan teman-temannya sekaligus untuk melampiaskan keisengannya.

"Mau main truth or dare?"

Semoga saja mereka mau.

Minggu, 15 November 2009

Seleksi Asrama (2000)

Cuaca malam itu benar-benar dingin, untunglah bocah itu telah mengenakan jaket tebal yang dibawakan okaasan untuknya. Badannya kini sudah jauh lebih segar meski rona pucat masih mewarnai wajahnya. Kali ini dia telah memutuskan takkan lagi menunjukkan sisi lemahnya di sekolah. Dia harus jadi Naoto yang ceria dengan segala keisengan dan kekonyolannya.

Begitu turun dari gerbong tadi, para murid baru Ryokubita dipimpin menuju Akademi Ryokubita oleh sepasang kitsune dan dua orang miko dengan api-api biru yang melayang di sekitar mereka. Tiba-tiba saja bocah konyol itu dengan heboh berteriak 'siluman api' sambil menunjuk-nunjuk api-api biru tersebut dengan tatapan super kagum. Bodohnya lagi, bocah itu berusaha menjulurkan tangannya untuk menangkap salah satu api tersebut sampai seseorang menegurnya untuk kembali dalam rombongan yang akan menuju Ryokubita. Memalukan.

“Selamat malam dan selamat datang di Ryokushoku o Obita. Kalian, bibit-bibit penyihir terpilih dengan kemampuan dan bakat istimewa, sudah sepantasnya mensyukuri langkah tepat yang telah kalian pilih untuk menjadi seorang penyihir sejati yang kelak akan mengharumkan nama kaum penyihir di mata negeri. Kalian akan memasuki tahap seleksi selepas ini, untuk menentukan asrama mana yang akan memawa kalian menuju jalan yang terbaik untuk kalian tempuh.”

Tiba-tiba saja seorang wanita cantik memecahkan kesunyian dengan sapaannya. Udara seolah terhenti saat wanita itu berbicara. Terasa sekali otoritas besar yang dimiliki oleh wanita tersebut. Kemudian dia juga mengatakan soal seleksi untuk menentukan asrama dan mengenai jalan terbaik yang akan mereka tempuh. Bocah itu dengan seksama memperhatikan gerak-gerik wanita cantik itu. Kagum karena wanita itu sepertinya jago sulap. Dan saat laron-laron terbang mengerumuni mereka, bocah itu nyaris berteriak lagi. Untung saja dalam sekejap sebuah ruang dimensi menyelubungi mereka dan pecah menjadi koridor panjang dengan sebuah pintu terbuka lebar. Terpampang di balik pintu itu, sebuah ruangan besar yang penuh dengan bantal duduk tiga warna. Beberapa orang sudah ada di dalam. Wow—bocah itu ternganga karena pesona gaib yang baru dialaminya untuk pertama kali. Membayangkan jika kedua adik kembarnya ada bersamanya, apakah reaksi mereka akan sama seperti dirinya?

“Bola kristal di hadapan kalianlah yang akan mengubah warnanya sesuai dengan asrama tempat kalian akan tinggal untuk delapan tahun kedepan. Siswa yang namanya saya panggil, harap maju ke depan dan sentuh bola kristal di hadapan kalian; setelah itu barulah kalian dipersilakan duduk di tempat yang telah dipersiapkan sesuai dengan asrama kalian nanti.”

Bola kristalnya melayang? Pemandangan aneh tersebut mengundang beribu tanya dalam benak sang bocah. Kagum, heran, terpesona dan penasaran. Apakah bola itu melayang sungguhan atau digantung dengan tali yang tak terlihat? Dengan tak sabar, bocah itu menanti gilirannya dipanggil, hendak memeriksa bola kristal tersebut dengan seksama. Well, menunggu memang terasa membosankan. Jemari-jemarinya bergerak gelisah dalam kantong jaketnya saat dia memperhatikan satu-persatu temannya maju ke depan dan menyentuh bola kristal melayang itu. Tak ada satupun dari mereka mencoba memeriksa apakah bola kristal itu sungguh-sungguh melayang atau tidak. Payah.

"Matsushima Naoto"

Oh yeah, akhirnya namanya dipanggil juga. Dengan langkah besar-besar bocah itu maju ke depan dan tanpa banyak basa basi, bocah itu mengayunkan tangannya di atas bola kristal tersebut. Memastikan apakah ada tali yang menahan bola kristal tersebut—tentu saja tidak ada. "Wah." Bocah itu sekarang berjongkok memperhatikan bagian bawah bola kristal, sekali lagi mengayunkan tangannya—tidak ada sesuatu pun yang menahan gerakannya. "Wow." Sekarang bocah itu berjalan mengelilingi bola kristal tersebut, masih penasaran. Tapi, tetap saja tidak ada yang menahan. Berarti bola tersebut benar-benar melayang, saudara-saudara. Dengan bodohnya, bocah itu berbalik menghadap murid-murid baru yang lain dan berteriak, "Minna-san, bola kristalnya benar-benar melayang!!" Dan tentu saja disambut dengan gelak tawa seisi ruangan. Dasar konyol. Bukannya malu, dia malah nyengir lebar dan kembali menghampiri bola kristal tersebut. Waktunya menyentuh dan melihat warna apa yang keluar untuknya. Bukannya mengulurkan kedua tangannya, bocah itu malah membungkuk dan mencium bola kristal itu dengan bibirnya. Bisa juga, kan? Yang penting, disentuh.

Jumat, 13 November 2009

Gerbong #01: Arata na Hajimari no Owari

Pagi tadi, tiba-tiba okaasan dan oyaji datang ke Fujisaki Inn—seolah mereka menyadari bahwa kondisi tubuh putra pertama mereka sedang menurun. Yah, jantungnya kumat lagi semalam setelah menyaksikan anak-anak lain bermain petasan dan kembang api. Sial. Gairah dan kelelahan berdampak buruk pada jantung bocah itu, untung saja tidak terlalu parah. Bocah itu memang seringkali lupa dengan daya tahan tubuhnya sendiri. Setelah seharian tidur, badannya kini sudah kembali segar. Berbekal ribuan nasehat dari kedua orangtuanya, bocah itu akhirnya tiba juga di Stasiun Akita. Setelah sesi peluk cium dan janji untuk sering-sering memberi kabar dengan kedua orangtuanya yang masih saja mengkhawatirkan dirinya, Naoto segera melompat menaiki salah satu gerbong. Menyambut kebebasan. Dengan begini, takkan ada yang tahu soal jantungnya yang lemah, takkan ada yang sok mengasihani dirinya, takkan ada yang cerewet mengatur-atur dirinya.

Takkan ada Nagisa lain yang meninggalkannya dengan alasan tersebut.

Permata browniesnya memandang berkeliling. Sudah ada tujuh orang anak yang duduk disana. Masih tersisa dua tempat yang artinya dia bisa ikut menumpang di gerbong tersebut. Bagus, tak perlu repot-repot mencari. Bocah itu tersenyum lebar pada seluruh penumpang di gerbong tersebut.

"Halo semua. Gabung, ya! Aku Naoto, Naoto Matsushima. Salam kenal." Anak itu segera merapikan bawaannya dan duduk di tempat yang hampir dekat dengan jendela. Yah, di sebelah jendela sudah ada seorang anak perempuan soalnya. Pamali buat Naoto jika tidak mau mengalah sama kaum hawa. Bocah itu berniat untuk tidur saja di gerbong. Dua jam perjalanan akan terasa membosankan. Untunglah okaasan membawakan walkmannya yang tertinggal di rumah.

Hmm, gadis di sampingnya ini sepertinya dia kenal. "Hasegawa-san?"

*****

Well. Okay. Belum selang berapa menit bocah itu duduk di kursinya—dia setengah tertidur, dia tidak menyadari bahwa sesuatu yang kacau balau luar biasa heboh sedang terjadi di depan matanya. Memang telinganya mendengar keributan,tapi matanya terpejam—entah kenapa dia merasa pusing tiba-tiba. Payah. Kalau begini terus bagaimana dia bisa membuat kedua orangtuanya percaya bahwa dia akan baik-baik saja selama di Ryokubita. Bocah itu mengernyit ketika beberapa suara cempreng khas perempuan berteriak-teriak. Dan sepertinya namanya sempat dipanggil? Sayang sekali, bocah itu benar-benar sedang dalam fase tidak bisa memperhatikan keadaan di luar dirinya. Jantungnya sakit lagi, kuso—. Rasanya ia perlu menelan obat penghilang sakit agar bisa tertidur dalam perjalanan yang sepertinya akan sangat bising. Suara hewan dan suara manusia campur aduk. Kalau dia sedang tidak kambuh begini, sih, dia akan dengan senang hati menjadi badut dalam gerbong. Perlahan bocah itu membuka matanya dan dengan terkejut menatap seorang gadis dan sebuah tas hitam yang tergeletak di lantai gerbong—gadis itu sedang dibantu berdiri oleh seorang anak laki-laki yang sepertinya pernah ia temui di bar. Tetsu kalau tak salah.

Bocah itu mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa kantuk dan pusingnya. Kemudian anak itu bangkit berdiri dan berjalan ke arah tas hitam yang sepertinya menjadi sumber keributan. "Nona tak apa-apa? Maaf tadi aku tertidur sehingga tidak membantumu." Bocah itu berbicara pada gadis yang tadi tergeletak di lantai gerbong, berusaha tersenyum—lalu mengangkat tas hitam tersebut dari lantai dan meletakkannya di rak penyimpanan barang. Lalu bocah itu mengambil tas ransel miliknya dan kembali duduk di tempatnya—di samping Hasegawa.

Bocah itu tak mempedulikan beberapa orang baru ikut bergabung di gerbong tersebut. Bukan sombong, dia hanya sedang berusaha menahan rasa sakit di kepala dan dadanya. Matanya terpejam, sementara tangan kirinya memegangi tas ranselnya—tangan kanannya sibuk merogoh-rogoh ke dalam tas. Dia mencari obatnya. Begitu tangannya berhasil menemukan botol obatnya, segera ia keluarkan satu butir pil dari sana tanpa mengeluarkan botolnya dari tas. Dia tak ingin ada yang tahu kondisinya. Dengan cepat bocah itu menelan pilnya. Berharap rasa sakitnya cepat mereda. Rona merah mulai menghilang dari bibir bocah itu, jantungnya tak mau berhenti memprotes. Entah apa maunya. Dia sudah tidur hampir seharian dan jantung sialan itu masih saja protes. Dan kenapa harus di saat seperti ini? Merepotkan.

Badannya mulai terasa melemah demikian juga kesadarannya. Dia perlu bersandar. Perlahan bocah itu menoleh ke samping, memandangi Hasegawa—mempertimbangkan kemungkinan untuk bertukar tempat duduk dengannya. "Hasegawa-san," panggilnya lirih, "Maaf sebelumnya. Apa kamu keberatan jika tukar tempat duduk denganku? Aku merasa kurang sehat. Ingin bersandar di dinding gerbong."

*****

Sungguh. Beneran. Tidak bohong. Ini situasi yang paling dibenci oleh bocah itu, saat dia harus meminta belas kasihan dan dipandangi dengan tatapan cemas oleh orang lain. Damn! Bukan begini seharusnya situasi yang dialami seorang Naoto Matsushima di gerbong kereta yang membawanya untuk pertama kalinya ke Ryokubita. Seharusnya ini jadi momen yang paling berkesan, momen paling tak terlupakan dan seharusnya saat itu Naoto menjadi pusat perhatian karena kekonyolan dan kelucuannya. Bukan karena kondisi kesehatannya yang anjlok. Chikuso—

Dan saat ini dua orang gadis yang seharusnya menatapnya dengan kekaguman dan senyum, sedang menatapnya dengan pandangan mengasihani. Oh, demi seluruh calon penggemar di masa datang. Naoto tidak suka ini tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Setidaknya, dia bisa beralasan mabuk darat atau apalah. Tak ada yang boleh tahu tentang penyakit jantungnya.

Pertama, seorang gadis cantik dengan seekor anjing di sampingnya menghampiri dia dan menanyakan kondisinya serta berkomentar tentang wajahnya yang pucat. Kedua, Hasegawa-san di sampingnya terlihat ketakutan saat melihat dirinya—membuatnya merasa seperti kuman yang membawa penyakit menular. Setidaknya dia memberikan tempat duduknya dan langsung berdiri di koridor. Entah kenapa bukannya duduk di tempat Naoto saja. Mungkin gadis itu benar-benar menganggapnya kuman. Ah, citranya memburuk dalam sekejap. Bocah itu perlahan menggeser duduknya ke dekat jendela, kepalanya langsung terkulai lemas. Sebenarnya dia sudah tak sanggup bicara tapi demi kesopanan dia harus menjawab agar dua orang gadis cantik ini tidak cemas berlebihan seperti kebiasaan okaasan. "A... aku tak apa-apa. Sedikit mabuk darat saja, mungkin."

Bocah itu mengantuk—efek dari obat yang ditenggaknya tadi sepertinya mulai bekerja. Samar-samar didengarnya suara seseorang terjatuh dan berteriak. Dilanjutkan dengan suara-suara lain. Nyanyian kah? Bocah itu sudah tak terlalu mengerti. Kesadarannya ditarik makin dalam, masuk dalam dunia mimpi yang semoga akan membuatnya lebih baik saat terbangun nanti.

Selasa, 10 November 2009

Firecracker Festa

Tak terasa sudah malam kedua dia berada di tempat baru, komunitas baru, suasana baru. Tsk —berat mengakui bahwa dia sedikit merindukan suasana rumah. Bila okaasan tahu dia masih berjalan-jalan di luar di jam semalam ini, mungkin dia akan dimarahi. Ya, okaasan memang terlalu kuatir dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Akibat kecelakaan sewaktu kecil yang melukai jantungnya. Tenang, kaasan —malam ini putra tertuamu tak lupa memakai jaket tebal, kok. Bocah 15 tahun itu perlahan mengayunkan kakinya —selangkah demi selangkah. Manik browniesnya menatap ke langit hitam —mengagumi keindahan bintang-bintang yang tercipta oleh satu kuasa maha dahsyat. Pemandangan yang jarang dilihatnya karena selalu ada di kamar tidur saat malam tiba.

DZIIING!

—DHUARR!


Tiba-tiba manik matanya menangkap sebuah ledakan yang menimbulkan sebentuk bunga yang sedang mekar di langit untuk beberapa detik —indah. Bocah itu meneruskan langkahnya, hendak mencari dimana gerangan asal dari keindahan tersebut —semakin dekat dengan pohon sakura. Dilihatnya beberapa anak sebayanya sedang asyik bermain petasan dan kembang api. Ajaib bukan —dari sebuah tabung dan sehelai sumbu pendek bisa menghasilkan sesuatu yang demikian indah di langit. Seolah langit diubah menjadi kanvas hitam yang sedang dilukis. Sayang, lukisan itu hanya bertahan sesaat lalu hilang menjadi asap.

Bocah itu tergerak untuk ikut bermain bersama mereka —namun kakinya seolah terpaku tetap di tempatnya. Ya, dia tak boleh lupa pada kondisi tubuhnya sendiri. Semakin mendekati sumber keindahan itu, suara ledakan pun semakin keras. Di tempatnya berdiri pun, efek suara ledakan itu sudah membuat jantungnya sedikit bergetar —sakit. Bocah itu akhirnya memutuskan untuk menonton kira-kira 10 meter dari tempat anak-anak itu bermain. Mengagumi berbagai bentuk indah yang tercipta beberapa saat setelah ledakan terdengar.

Sedikit menyakitkan jantungnya memang —namun bocah itu tak ingin beranjak dari sana.


*****

Ironis—Fakta bahwa dirinya terbiasa menjadi pusat perhatian, kini hanya menjadi satu sosok penonton yang mungkin luput dari perhatian orang. Tak apalah, hari ini biarkan dirinya beristirahat dari segala kekonyolan dan kehebohan. Berdiam sesekali seperti ini rasanya damai juga. Seandainya kedua adiknya ada disini—tidak, bukan itu keinginan yang sesungguhnya. Dia berharap Nagisa-lah yang ada di sampingnya saat ini. Berdua menatap ke langit yang berhiaskan bunga-bunga buatan yang begitu indah. Bocah itu memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, jemarinya perlahan mengusap sebentuk logam bundar yang dingin— sebuah jam saku pemberian gadis yang bukan lagi miliknya itu. Bohong jika dia bilang telah benar-benar melupakan Nagisa. Jauh di dalam hatinya, bocah itu masih begitu merindukannya. Masih mereka-reka apa yang menyebabkan gadis itu meninggalkannya demi lelaki lain. Mungkinkah karena kondisi jantungnya? Sigh—

—DHUAAARR!!

Sekali lagi sebuah petasan meledak, mengeluarkan suara yang menggetarkan jantungnya—membuyarkan lamunannya. Tubuhnya mulai terasa tak nyaman. Bocah itu tak menyadari rona wajahnya mulai memucat—seharusnya ia segera beristirahat. Tatapannya kini beralih pada sesosok gadis dengan buku sketsanya, sedang sibuk menggambar di bawah sebuah pohon sakura tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis yang sepertinya dia kenal. Ah! Gadis-pemilik-botol-jus rupanya. Hasegawa-san, bukan?

Seulas senyum kini menghiasi wajah bocah itu, kedua kakinya yang panjang mulai mengayun membunuhi jarak antara dirinya dan Hasegawa-san. Tidak, dia tidak hendak berbuat iseng. Tidak untuk saat ini. Dia hanya ingin melihat apa yang digambar oleh gadis tersebut dalam buku sketsanya.

"Konbanwa, Hasegawa-san," sapa Naoto lembut, "Menggambar apa?"

*****

Hobi, suatu kegiatan yang digemari seseorang dan dilakukan secara terus menerus karena dapat memberikan kepuasan batin apabila melakukannya, dan apapun akan dilakukan untuk menunjang terlaksananya kegiatan tersebut. Jika merujuk pada definisi yang barusan disebutkan, maka hobi seorang Naoto Matsushima adalah main gitar dan memasak. Benar, lho. Saat sedang sedih atau senang—terutama saat perasaan-perasaan itu sulit untuk diungkapkan, maka gitar akan jadi penyalur perasaannya—entah dimainkan atau sekedar dipeluk-peluk dan diciumi. Saat kesal, gitarnya pun terima saja dipukuli, diketok-ketok, digigitin tapi tak sampai dihancurin. Bisa-bisa kehilangan mainan, dong. Gitar itu tentu saja dibawa oleh Naoto kemari. Tidak ada di daftar list karena bukan barang elektronik. Ha-Ha. Bagaimana dengan memasak? Mungkin untuk sementara, hobi yang satu itu perlu sedikit ditahan. Mau masak dimana, memangnya? Mungkin di sekolah barunya nanti, dia bisa ikut-ikut membantu di dapur—mungkin, hanya untuk iseng.

"Ohh...Konbanwa Matsushima-san."

Ngomong-ngomong lagi soal hobi, jelas terlihat bahwa gadis barusan menjawab sapaannya ini mempunyai hobi menggambar. Gambarnya cukup bagus jika dilihat dari sudut pandang Naoto—dari atas. Karena itu, bocah tinggi tersebut ikut berjongkok di sampingnya—hendak melihat lebih jelas. Memang hobi itu membuat seseorang melakukan apapun untuk melakukannya. Lihat saja gadis ini, dalam keadaan remang-remang pun dia tetap asyik menggambar—tak berpikir bahwa hal itu mungkin bisa mengganggu penglihatannya.

"Anda terlihat mengantuk Matsushima-san. Tidak ingin tidur?" tutur Hasegawa.

Benarkah? Naoto terlihat mengantuk? Tidak. Bukan mengantuk. Jantungnya sedang mulai memprotes. Rupanya mata gadis itu tajam juga.

"Tidak," Tiba-tiba jantungnya terasa berdenyut. Bocah itu menjengit—menunduk berusaha menyembunyikannya dari Hasegawa. Dia menghempaskan bokongnya perlahan di atas hamparan rumput dan menyandarkan punggungnya pada batang pohon sakura yang konon tak pernah berhenti berbunga itu—matanya terpejam menahan sensasi yang diberikan oleh organ vitalnya tersebut. 10 detik. "...Aku belum mengantuk."

"Matsushima-san, boleh saya bertanya sesuatu? Kenapa tidak ikut bergabung dengan mereka?" Sebuah pertanyaan kembali meluncur dari bibir gadis bernama Hasegawa itu.

Bocah itu menatap si penanya dengan mimik yang sukar dijelaskan—menghela nafas, bocah itu terdiam. Mempertimbangkan jawaban seperti apa yang harus dia ungkapkan pada gadis pemilik permata hitam legam di sampingnya. Haruskah dia mengungkapkan kebenaran yang selama ini selalu berusaha ditutupinya dari orang lain? Bocah itu melamun. Jika dia mengungkapkan yang sejujurnya pada Hasegawa, apa reaksi yang akan diterimanya? Belas kasihan, kah? Dia benci itu. "Aku...," kata-katanya terputus. Dia masih bergumul dengan perasaannya. Sesungguhnya dia ingin paling tidak ada satu orang yang tahu keadaannya di tempat asing ini namun dia juga tak ingin diperlakukan secara khusus karena kelemahannya itu. Rasanya tidak nyaman. "Aku ingin, sih. Tapi..." Kembali terputus. Bocah itu kembali menatap gadis di hadapannya—menatap matanya dalam-dalam. Bisakah dia mempercayai gadis ini? "Aku tak bisa. Ingin, tapi tak bisa," akhirnya hanya kata-kata tersebut yang terlontar dari bibir tipisnya yang perlahan mulai kehilangan warnanya. Terlukis segaris senyum miris yang sarat akan kekecewaan di wajahnya.


Jika gadis itu masih bertanya kenapa—

maka

—aku akan jelaskan yang sesungguhnya.



*****

Bodoh, entah apa yang membuatnya terbuai dan nyaris dengan mudahnya membongkar kelemahannya yang bertahun-tahun ini berupaya dia sembunyikan dari teman-temannya. Suasana remang-remang dengan kilau cahaya warna-warni dari kembang api itu, kah? Membawa nuansa romantis hadir dalam relung hatinya yang masih terluka karena Nagisa. Bocah itu menengadahkan kepalanya menyaksikan kembang api satu persatu meledak di langit mengeluarkan keindahan yang mengalahkan bintang-bintang. Tangan kirinya meremas dada kirinya yang berdenyut semakin kencang. Berharap hal itu bisa mengurangi sakitnya.

Semoga saja gadis itu tidak bertanya lebih jauh.

Gadis itu hanya diam dan melanjutkan kegiatannya, terus menggambar dengan pensil di tangannya. Membuat goresan-goresan halus membentuk rambut dari orang-orang yang sedang dilukisnya—begitu detail. Bocah itu menyandarkan kepalanya pada batang pohon sakura dan memejamkan mata. Tak ingin mengganggu pekerjaan gadis di sampingnya itu. Mungkin sebaiknya dia segera kembali ke penginapan, jantungnya sudah berdenyut tak karuan, pandangannya pun mulai buram. Ah, dia lupa meminum obatnya hari ini. Yeah, euforia seringkali membuat orang lupa akan rutinitas mereka.

"Sebaiknya saya kembali ke penginapan saja, Matsushima-san." Hasegawa membereskan peralatan menggambarnya. "Oyasumi..."

Bocah itu membuka matanya perlahan dan mengangguk pelan pada gadis itu, "Aku juga hendak kembali kesana. Sama-sama saja." Kemudian dia berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada batang pohon yang kokoh. Nyuut— Jantungnya kembali memprotes—bocah itu mengernyit dan terdiam agak lama. Saat dia membuka matanya kembali, Hasegawa sudah tak ada disana. Ya, sudahlah. Bocah itu dengan sedikit terhuyung melangkah kembali ke penginapan. Besok, ya, besok dia akan kembali menjadi Naoto Matsushima yang biasanya.

Ichijouji Bookstore & Stationery

Tongkat sihir. Beres.

Seragam. Beres.

Selanjutnya? Bagian yang paling tidak disukai oleh si bocah konyol, Buku. Tahu tidak, setiap kali bocah itu disodori buku teks apapun —termasuk koran, majalah dan novel — dalam hitungan detik, dia akan tertidur pulas. Meskipun kelopak matanya sudah dijepit sedemikian rupa, tetap saja dia tertidur. Okaasan saja sudah menyerah pada anak ini. Untungnya, bocah konyol ini mempunyai daya ingat yang sangat bagus —sehingga nilai-nilainya di sekolah selama ini juga tidak mengecewakan.

Apakah sebaiknya ia membeli buku-buku tersebut? Bagaimanapun buku tersebut tak mungkin akan terbaca olehnya —untuk selama-lamanya. Buat apa buang-buang uang, kan? Tapi, kalau ketahuan Okaasan, bisa-bisa ia diceramahi berjam-jam. Ya sudahlah, toh uang Oyaji yang ia pakai. Huahaha.

Bocah jangkung itu melangkahkan kaki panjangnya memasuki toko buku tersebut. Buku-buku tersaji lengkap disana, mulai dari manga, majalah, novel sampai buku-buku yang tebalnya bisa untuk membunuh maling. Manga boleh juga, tuh. Lebih seru baca manga daripada buku teks —ada gambarnya, sih.

Bocah itu masuk semakin ke dalam, mencari-cari bagian buku sekolah. Diambilnya satu persatu buku-buku yang tertulis untuk kelas 7. Lama-lama tumpukan di lengannya semakin banyak dan berat.

Gila. Banyak banget.

Tergopoh-gopoh bocah itu membawa buku-buku tersebut ke kasir.

"Permisi, aku beli ini semua ditambah 2 buah manga Detektif Conan. Berapa?" ujarnya.


List buku yang dibeli:
Tahun I - VII: I Believe I Can Play oleh Nagi Nami : 715 yen
Tahun I: Baseball for A WEEK oleh Hattori Gunta : 550 yen
Tahun I: Ilmu Sihir Umum oleh Nozomu Kuon : 600 yen
Tahun I - VII: Magic World Book of Astronomy oleh Ran Shigata : 1825 yen
Tahun I - VII: Divination: Drift Past, Present, and Future oleh Kagetoki Endo : 1790 yen
Tahun I-VII: Ryoku no Rekishi oleh Sanzo Itou : 1300 Yen
Tahun I - VII: Art of Magic Potion oleh Ueno Hihara : 1500 yen
Tahun I - VII: Elemental Ecology oleh Rindou Ryu : 1430 yen
Tahun I - VII: Wild Guardian and Beast oleh Takeru Sigaya : 1970 yen
Tahun I - VII: Revolution of Physics oleh Eishun Takahashi : 1310 yen
Tahun I - VII: Evolution of Biology oleh Eishun Takahashi : 1690 yen
Tahun I - VII: Revelation of Chemistry oleh Eishun Takahashi : 1340 yen
Tahun I - VII: Mathematics Sux? Who says? oleh Taiga Sawamura : 1750 yen
Tahun I - VII: Who Am I? oleh Prof. Seishun Harada, Ph.D. : 1125 yen
Tahun I - VII: If School Is A Game: The Way To Break The Rules oleh Kiyoshi Eto : 1210 yen
Tahun I - VII: Let's Sing Along! oleh Yuna Uchizawa : 925 yen
Tahun I - VII: Cara Mudah Menjalin Relasi dan Kerjasama Yang Baik oleh Nanami Sachihoko, Ph.D. : 1050 yen

RAS-su e Youkoso!

Naoto berjalan kembali menyusuri jalanan Jumonji —masih terkagum-kagum dengan tongkat Kappa kribonya. Heran, benda sekonyol itu bisa membuat moodnya amat sangat cerah. Dia sudah tak sabar ingin menceritakan pada kedua adik dan pada orangtuanya tentu —betapa keren dia bisa mendapatkan sebuah tongkat berisi nadi Kappa yang langka. Kappa Kribo! Catat itu. Mungkin Kappa Kribo wajahnya seperti Michael Jackson muda. Sugee—

"Hei, tongkat. Kau kuberi nama Kribo, ya!" ujarnya pada tongkat sihir barunya —yang tentunya tak bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

Bocah jangkung itu kemudian mengikuti sepasang ibu-anak melenggang ke arah toko seragam —RAS-su? Bocah itu langsung nyelonong masuk dan memandangi seisi toko dengan sedikit takjub. Buru-buru dia mengingat-ingat apa yang perlu dibelinya disana.
# Empat stel seragam
# Satu mantel musim dingin
# Sepatu sekolah
# Dua stel seragam olah raga
# Satu tas sekolah


Banyak juga. Saat bocah itu membaca list seragam sekolahnya —dia terlonjak dan menjerit. Konyol sekali reaksinya. Dia tak menyangka bahwa seragamnya berupa kimono dan hakama lengkap dengan tabi dan zouri. Mau sekolah atau ke festival, nih? Bocah itu bengong dengan mulut ternganga di depan rak. Seragam seperti itu sangat merepotkan pakainya, tahu. Untuk pakaian sehari-hari saja, bocah itu lebih suka kaos oblong dan celana pendek yang sederhana. Tak pakai atasan lebih bagus —sayang tubuhnya sangat kerempeng, malu untuk dipamerkan.

Ara —ini merepotkan.

Akhirnya dengan enggan diambil jugalah semua kebutuhan seragam yang akan dipakainya di sekolah nanti. Semuanya dipilih dengan warna biru dan hitam. Dia tak suka warna yang lain. Kurang jantan —demikian pendapat si bocah. Naoto kemudian melenggang ke kasir —menyerahkan semua belanjaannya.

"Permisi. Aku beli satu set seragam ukuran M dan peralatan laboratorium atas nama Naoto Matsushima. Arigachuu~" ujarnya sambil nyengir lebar.

Mahou no Tsue Shop

Hoah!!

Woah!!

Desahan-desahan kekaguman entah sudah berapa kali terdengar keluar dari bibir Naoto saat permata browniesnya memandangi setiap bentuk arsitektur bangunan di sepanjang Jumonji Shopping Avenue. Kuno. Kuno abis malah. Sedikit menyesal menolak tawaran oyaji untuk menemaninya kemari. Tahu bakal tersesat begini, lebih baik dia melupakan gengsi untuk pergi sendirian ke tempat asing. Ah cuek, Naoto bukan orang yang mudah panik. Tersesat? Have fun saja, baby! Takut apa? Tinggal tanya sedikit di sini dan tanya sedikit di sana, nanti juga dia bisa balik lagi ke Fujisaki Inn. Bukankah disini banyak komunitas penyihir?

Dengan santai Naoto kembali menyusuri jalan itu --mencari toko-toko yang menjual barang-barang kebutuhan sekolahnya. Jujur, dia sudah lupa apa saja yang diperlukan. Maafkan kecerobohan bocah satu ini. Onegai.

Setidaknya ada satu yang bocah itu ingat. Tongkat sihir! Kenapa dia bisa ingat? Karena dia sendiri begitu antusias ingin cepat-cepat membeli tongkat sihir. Tongkat sihir beneran, saudara-saudara. Tidak seperti pesulap-pesulap gadungan yang tongkatnya hanya tongkat buatan dan tidak bisa mengeluarkan apa yang disebut dengan -MAGIC.

Oyaji bilang, sebaiknya Naoto memilih tongkat dengan kayu Elder dengan inti nadi Kappa. Cih! Masa Kappa. Bukankah itu monster sungai gundul yang membawa-bawa tempurung seperti kura-kura dan memiliki paruh seperti bebek? Apa sih yang hebat dari monster itu? Bukankah naga atau shikigami lebih keren?

Ah! Itu dia toko tongkatnya. Hebat, kan Naoto. Bagaimana tidak, papan nama toko itu terpampang sedemikian besarnya. Hanya orang buta saja yang tidak bisa melihatnya.

Dengan bersemangat, bocah itu masuk ke dalam toko antik tersebut. Desahan kekaguman kembali terdengar tak henti-henti dari bibirnya. Dengan cepat dia mengintip-intip ke setiap rak. Memegang-megang benda yang terlihat unik di matanya sambil meracau mengungkapkan kekagumannya. Kemudian, matanya menangkap sebuah daftar harga dan jenis-jenis tongkat serta daftar intinya.

"Wah, Japanese Dragon? Shinigami? Bakeneko? Gila, segini banyak yang keren, Chichi malah menyuruhku memilih Kappa sebagai inti tongkatku?! Tsk--"

Dengan sebal, bocah itu menjatuhkan begitu saja daftar tersebut ke atas meja. Kemudian menuju konter dan memesan. Ya, tongkat yang disuruh oyaji, tentu. Berani melawan bisa-bisa Naoto digunduli.

"Sumimasen. Saya pesan tongkat Elder dengan nadi Kappa," ujar Naoto --terdiam sesaat,"kalau bisa pilihkan yang Kappa-nya keren, ya!"

“Err—coba saya cari, semoga stok nadi Kappa pemenang kontes kebugaran tahun lalu masih ada.”

E? Kappa pemenang kontes kebugaran? Memangnya ada kontes kebugaran khusus Kappa? Tanpa bisa dikontrol, Naoto tertawa terbahak-bahak di tempat —bodo amat, deh meski dilihat orang-orang dengan tatapan aneh. Justru mereka-mereka yang tidak tertawa itulah yang aneh. Betul?

“Sayang sekali Kappa pemenang kontes kebugaran sepertinya habis, yang ada tinggal Kappa jenis langka, yang berambut kribo, masih mau? Elder inti Kappa kribo, tiga puluh sentimeter; 4,800 yen. Agak sedikit mahal, memang, tetapi namanya juga langka; konon bagus untuk mantra perubahan bentuk dan mantra ilusi.”

Kappa kribo? Apa lagi itu? Ha-Ha-Ha. Tawa Naoto semakin keras, man —ini tak baik untuk jantungnya. Dia harus mengontrolnya segera sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Brengsek, bisa-bisanya dia mendapatkan tongkat yang sama konyolnya dengan dirinya sendiri. Mungkin mereka memang jodoh. Ha-Ha-Ha.

"Ano —saya mau beli yang ini. Keren banget ya, ada Kappa yang kribo," ujar Naoto —masih terkikik. Bocah itu menggoyang-goyangkan tongkat barunya, sambil membayangkan wujud Kappa kribo. Pfft—

Bocah itu segera menyerahkan uang 4,800 yen pada pegawai magang tadi seraya berbisik, "Eh, Yang Mulia Dai kalian itu nyentrik sekali. Dia pemain opera, ya? Sepertinya dia bakal tampak lebih keren jika rambut gondrongnya itu dikribo seperti Kappa kribo ini."

Tanpa menunggu jawaban dari si pegawai magang, Naoto melenggang keluar sambil cekikikan.

Oh My Red Ribbon

Ohayou gozaimasu~

Samar-samar terdengar suara-suara orang bertegur sapa di telinganya. Berisik sekali. Bocah itu membenamkan kepalanya di dalam bantal, mencoba menghilangkan suara-suara ribut yang mengganggu tidurnya itu. Siapa, sih pagi-pagi sudah bertandang ke rumah orang? Apakah ibunya lagi-lagi mengadakan arisan pagi? Atau lagi-lagi adik-adiknya membawa teman-teman sekolah ke rumah? Kuso-- ini masih jam berapa? Ayam pun belum berkokok --err, mungkin sudah.

Berisik. Berisik. Berisik.

Naoto membuka matanya dan duduk di futonnya dengan geram. Hampir saja ia berteriak jika tidak disadarinya bahwa ia tidak berada di kamar rumahnya.

Oh yea. Aku di Fujisaki Inn.

Kruyuuukk~

Naga di perutnya kelaparan sampai berbunyi senada dengan suara ayam jago. Membuat lambungnya terasa sedikit perih dan kembung. Bocah itu menggeliat --meregangkan otot-otot kakunya setelah tertidur pulas lalu bangkit berdiri. Masih mengenakan pakaian kebangsaannya --kaos oblong tipis ditambah celana pendek sedengkul. Cukup dengan cuci muka dan gosok gigi, menyisir rambut --VOILA, dia sudah siap untuk turun ke bar dan sarapan pagi --memuaskan naga lapar di perutnya sebelum naga itu menyemburkan api yang akan membuatnya jumpalitan di tempat tidur.

Kedua kaki panjangnya melangkah seirama dengan sedikit ritme teratur. Sayang dia lupa membawa walkmannya kemari. Kalau ada kan, dia setidaknya bisa berdansa sedikit. Mungkin nanti dia akan minta ibunya mengirimkan walkmannya ke sekolah.

Lapar. Bocah itu segera melangkah ke konter dan memesan dua porsi Okonomiyaki ukuran besar dan segelas ocha panas. Jangan salah, meski badannya kurus, Naoto termasuk pelahap apa saja alias rakus. Sambil melenggang, dia melangkah ke sebuah meja yang nampaknya telah dihiasi oleh dua sosok cantik. Apa yang lebih bagus daripada menyambut pagi dengan sarapan bersama dua bidadari? Tak ada. Apalagi di rumah Naoto, satu-satunya wanita adalah ibunya.

"Hei, nona-nona. Boleh saya bergabung bersama kalian disini?" ujarnya sambil mengedip pada kedua bidadari itu.

*****

"Ohoho, silahkan~" balas salah satu bidadari itu –ikut mengedip, "Silahkan duduk~ aku Nao, namamu?".

E? Kedipanku dibalas. Yatta– anak satu ini manis juga kalau dilihat.

“Arigatou,” ujar Naoto lalu menghempaskan bokongnya di kursi, “Namaku juga Nao. Lengkapnya Naoto Matsushima. Kebetulan sekali, ya nama panggilan kita sama.”

Bocah 15 tahun yang kelaparan itu tanpa basa-basi ataupun menunggu reaksi dari Nao –langsung melahap okonomiyakinya. Oishii! Boleh juga masakan di bar ini. Tak kalah dengan okonomiyaki buatannya. Gini-gini Naoto jago masak, lho! Mau coba? Boleh. Kapan-kapan.

Ohayou, minna-san~ Boleh aku duduk di sini? Namaku Arisa Shinohara, panggil saja Arisa. Douzo yoroshiku!”

Masih mengunyah okonomiyakinya, Naoto melirik ke arah suara milik Arisa Shinohara. Another girl? Sugee-. Rupanya dewi fortuna sedang berpihak padanya. Dengan begini, mungkin lebih mudah untuk melupakan Nagisa.

“Ohayou, Arisa-chan. Naoto desu,” ujarnya setelah menelan potongan okonomiyaki di mulutnya lalu menoleh pada satu bidadari yang sejak tadi belum membuka mulut padanya (Sakura Ieyoshi,red), “Kalau kamu? Siapa namamu?”

"Minna-chan tidak makan?"

Tiba-tiba gadis bernama Nao yang imut dan lucu itu melontarkan pertanyaan yang membuat Naoto bingung -nyaris tersedak. Bukankah dia sedang makan di hadapannya? Oh, mungkin pertanyaan tersebut dilontarkan untuk kedua anak perempuan yang lain. Cuek. Naoto lapar, nanti saja bercandanya. Naga di perut harus dilayani sebelum lambung Naoto terbakar. Ada saatnya bercanda, ada saatnya makan.

“Aku sedang makan, kok,” ujar Naoto singkat sambil terus melahap okonomiyakinya.

Confused

Sambutlah para hadirin sekalian, pesulap dan komedian muda paling terkenal di Jepang!!
Beliau akan segera melakukan debutnya sebagai pesulap Internasional!!
Tak usah menunggu lebih lama, mari kita sambut...
NAOTO MATSUSHIMA-san!!


Tepuk tangan dari para hadirin memenuhi seluruh ruangan, sorakan-sorakan yang mengelu-elukan namanya terdengar bagai sebuah dendangan manis di telinganya. Tokyo Dome terasa seperti sedang gempa. Luar biasa. Dan di tengah-tengah panggung, kini berdiri satu sosok yang luar biasa tampan, dengan kostum hitam-hitam khas seorang pesulap. Di kepalanya bertengger sebuah topi koboi hitam mengkilat. Ada sebuah hiasan bulu perak di sisi kanannya. Pemuda tersebut kemudian mengangkat kedua belah tangannya, menyambut para penggemar setianya yang masih sibuk berteriak-teriak mengelukan namanya. Banyak dari mereka saling dorong hendak naik ke atas panggung hanya untuk sekedar memeluk atau mencium pipinya. Beberapa dari mereka sangat manis seperti halnya para model-model di majalah fashion. I'm so damn lucky~ Pemuda itu kemudian membungkukkan badannya --memberi hormat pada para hadirin. Melakukan manuver-manuver yang sebenarnya sangatlah konyol tapi terlihat mengagumkan HANYA di mata para penggemarnya yang tak kalah konyol.

Hahaha --kagum padaku bukan? Dasar bodoh, takkan ada pesulap sehebat aku. Takkan ada komedian selucu diriku. Aku kan penyihir. Tak bisa dibandingkan dengan pesulap dan komedian biasa! Ciee...

Tiba-tiba sesuatu mendorong pemuda itu dari panggung. Seorang fans, mungkin.



Pemuda konyol itu terjungkal dari ranjangnya.

Ara? Ranjang?

Bocah itu menggosok-gosok dahinya yang baru saja mencium lantai. Mimpi rupanya. Sial. Bisa-bisanya ia bermimpi tentang masa depannya di malam pertamanya menginap di Fujisaki Inn. Tsk-- Dahinya sedikit berdenyut-denyut.

"Dasar lantai. Kau begitu cinta padaku sampai mengecup kening kerenku ini, ya?" ujar bocah itu pada sang lantai --kemudian mengecupnya. Konyol.

Kebanyakan orang sulit untuk kembali tidur setelah terbangun dengan cara yang tidak biasa seperti yang dialami Naoto barusan. Begitu pula dengan bocah itu. Ia memeriksa dahinya yang kini berbercak kemerahan --berbentuk seperti bibir --serius. Nyengir melihat bayangannya di cermin, terlihat seperti Casanova. Kalau sudah begini, bukan waktunya berdiam di kamar. Bocah itu segera merapikan kaos oblongnya yang bergambar tokoh kartun atom boy dan mengenakan celana corduroy pendek warna coklat. Sip. Kakkoi nee~ Setengah berlari, bocah itu menuruni tangga menuju bar Fujisaki Inn.

Ramai.

Enak juga ya pemilik penginapan ini. Bar dan penginapannya selalu ramai sejak tadi pagi sampai semalam ini. Pasti omset bulanannya lumayan, nih. Boleh dong bagi-bagi sedikit? *ditampar

Permata browniesnya mencari-cari ke sekeliling ruangan. Mencari apa? Tempat duduk pastinya. Memang mau cari siapa? Belum ada seorangpun yang ia kenal dekat di tempat ini. Baka.

Ah! Browniesnya menemukan tempat yang tepat. Ada kursi kosong di meja yang telah ditempati oleh 3 orang. 1 diantaranya adalah anak perempuan yang cantik dengan rambut coklat menawan. 2 orang lagi laki-laki. Tak perlu penjelasan, untuk apa sesama laki-laki saling memandang? Memangnya homo?

Kedua tangan masuk dalam kantong celana, mulut menggigiti tusuk gigi, Naoto melenggang menuju meja tersebut. Benar-benar melenggang lho. Jalannya agak berirama gitu.

"Yo~ Boleh gabung, manis?" ucapnya pada si nona manis --menyisir rambut dengan tangannya, mau pamer bekas "bibir" lantai kamar ceritanya --lalu melirik sekilas pada dua anak lelaki lainnya --mengedip.

*****

"E-etto...douzo...tidak ada yang menempati kok." ujar nona manis tersebut terbata-bata.

"Arigatou, bijin-san," balas Naoto cepat dan langsung saja menghempaskan diri di kursi yang paling dekat dengannya, tepat di hadapan si nona meja. Browniesnya memandangi wajah gadis di hadapannya. Manis, kulitnya putih, rambutnya cenderung hitam dan matanya hitam sekelam malam. Terkesan misterius. Sayang sekali usahanya memamerkan 'bekas ciuman' sang lantai yang berbentuk bibir menjadi sia-sia karena si gadis muda itu tidak menyadarinya.

"Jangan gugup, aku nggak makan orang, kok," ujar Naoto, mencoba bercanda agar kegugupan gadis itu berkurang lalu menyodorkan tangannya, "Naoto, Matsushima Naoto. Salam kenal."

Tiba-tiba, sesuatu terasa membentur pelan kakinya. Spontan Naoto menggerakan kepala dan menatap ke arah kakinya.

E? Botol jus? Darimana datangnya kau botol? Masih terisi penuh pula. Lucky!

Naoto buru-buru mengambil botol itu hendak membuka dan meminumnya.

"M-maaf, permisi..."

E? Siapa?

Naoto mengarahkan browniesnya ke arah datangnya suara. Ha! Seorang anak perempuan lagi. Cool! Seumur hidup, Naoto belum pernah sekalipun dihampiri kaum eva! Padahal meski kurus, wajah Naoto terbilang tampan -sayang selera berpakaiannya nol besar. Well, jika nona mau duduk pasti dia terima dengan senang. Kalau tak ada kursi, dipangku saja. Tapi, mata anak itu bukan memandang ke arah si bocah konyol, melainkan pada botol jus yang dia pegang. Botol jus rupanya lebih menarik ketimbang Naoto. Kuso--

"Botol...Emm...Maksudnya...Itu..."

Botol heh? Ada apa dengan botol?

"Ya, nona? Ada apa dengan botol ini? Kamu juga mau? Kita berbagi saja, aku bukan orang yang pelit. Apalagi sama nona manis seperti kamu," ujar Naoto pada nona-pecinta-botol tersebut -memberi senyum menggoda dan tak lupa kedipan mata sekilas.

*****

Pertama kali Naoto ditatap oleh makhluk bernama perempuan adalah pada hari dia jatuh cinta pada Nagisa. Lupakan soal ditatap saat lahir oleh okaasan. Itu tak masuk hitungan, lho. Back to topic. Ya, Nagisa. Cinta pertamanya sekaligus patah hati pertamanya. Sebenarnya, bocah konyol ini masih belum bisa menerima keputusan sepihak dari gadis itu. Persetan dengan kekasih barunya. Apa sih yang kurang dari Naoto? Bukankah selama mereka berpacaran, Naoto tak pernah menuntut apa-apa? Malah lebih sering membuat gadis itu tertawa. Apa Nagisa lebih suka dengan laki-laki yang suka membuatnya menangis? Cih, perempuan memang sulit dimengerti.

Demikian pula dengan gadis yang berdiri di depannya saat ini. Bicara terbata-bata, putus-putus tak jelas seolah-olah sedang bicara dengan monster. Begitu juga dengan gadis yang satunya lagi. Apa perempuan jaman sekarang semua seperti itu? Blah –bodoh namanya.

"Emm...Itu...Punya saya... Tapi ya sudahlah..."

E? Jadi jus ini miliknya? Ara– Ngomong daritadi dong, Nona.

“Oh ini milikmu? Kenapa nggak langsung bilang saja. Nih, kukembalikan. Maaf, ya. Untung belum sempat kubuka,” ujar bocah itu tergelak seraya menyodorkan botol jus yang dimaksud pada nona-terbata-bata yang kini duduk di sampingnya –setelah diberikan tempat duduk oleh nona-gugup bernama Ryuna Sagara, “Lalu, siapa namamu, cantik?”

Naoto menyandarkan tubuh kurusnya ke sandaran kursi yang keras –meluruskan kakinya supaya lebih santai dan nyaman. Hmm, enaknya ngapain sekarang?

"Halo, aku Tetsuyama Ikuya, panggil saja Tetsu, sedang apa kalian di sini? Boleh ikut bergabung, eh?"

Naoto mendelik ke arah suara berat tersebut. Heran, bukankah sejak tadi bocah bernama Tetsu itu sudah bergabung disini? Bahkan lebih dulu darinya. Lantas kenapa sekarang minta bergabung lagi? Hen na– Sepertinya di Fujisaki penuh orang-orang yang aneh. Err –mungkin dirinya sendiri juga sama anehnya? Tak peduli.

"Duduk saja, Tetsu. Naoto Matsushima tidak menggigit, kok," ujarnya santai.

Welcome to Fujisaki Inn

Gila! Well, cuma itu satu kata yang cukup mewakili perasaan Naoto saat ini. Masalahnya, dia sampai kehilangan kata-kata karena begitu gembira. This is crazy, man!! Seorang anak lelaki konyol macam Naoto diundang masuk di sekolah penyihir. Bisa-bisa dunia ini runyam nanti. Sekarang saja, di otaknya sudah muncul bermacam-macam ide usil untuk mengerjai teman-temannya dan mungkin kedua adiknya saat dia sudah menguasai sihir nanti. Mulai dari melenyapkan barang dan memunculkannya kembali, mengubah benda menjadi serangga yang banyak dibenci seperti kecoa --tentunya target yang dituju adalah kaum hawa dong, sampai pura-pura jadi super hero. Barangkali dengan sihir, dia bisa berubah wujud seperti ksatria baja hitam. Henshin! Gila, keren banget kan!

Karena itulah, suasana hatinya dengan cepat terisi dengan euforia --bahagia, lah. Lupakan yang sedih-sedih, lupakan Nagisa. Kalau dia menguasai sihir, dengan mudah dia pasti bisa menggaet gadis yang jauh lebih seksi dan cantik daripada nona-tukang-selingkuh itu. Lihat saja nanti, Naoto bakal jadi pesulap sekaligus komedian ulung. Catat, ya. KOMEDIAN. Bukan badut! Naoto benci jika dijuluki badut. Okay, kembali berandai-andai. Humor Naoto yang agak basi bisa menjadi lebih berisi dengan pertunjukan sihir --pasti dong. Pikirannya membawa dia dalam khayalan tingkat tinggi yang semakin jauh. Dia membayangkan dirinya akan jadi terkenal karena kekuatan sihirnya dan membuatnya menjadi milyuner dalam sekejap! Dia akan belikan orang tuanya rumah baru, mobil baru, motor baru untuk kedua adiknya --masing-masing satu tentu dan apartemen untuk dirinya sendiri. Mantap!

Tiba-tiba sebuah jitakan keras di pelipis kanannya membuyarkan segala mimpi dan angannya. Naoto mendelik --kesal karena diganggu dalam saat-saat krusial yang menggetarkan jiwanya. Lebay.

"Mau bengong sampai kapan, Nao? Kereta sudah hampir berangkat ke Akita!!"

Rupanya sang ibu tercinta lah yang telah menjitaknya dan langsung memberi umpatan keras. Apa katanya tadi? Kereta hampir berangkat? Wooo, benar juga. Saat ini dia sedang di stasiun kereta Tokyo hendak berangkat menuju Akita!!

"Oh.. Arigatou Haha. Jaa," ujar Naoto seraya mengecup kedua belah pipi sang ibu dengan cepat, kemudian berlari masuk ke dalam kereta. Nyaris saja tertinggal. Begitu anak itu masuk, pintu kereta langsung menutup.

Perjalanan ke Akita memakan waktu cukup lama. Tidak tahu tepatnya berapa lama karena selama di perjalanan, Naoto tertidur pulas. Aliran air bening sampai mengalir dengan manis dari sudut bibirnya yang terbuka. Jelas menarik perhatian orang-orang yang duduk di dekatnya. Cakep-cakep ngiler, sih. Tak sadar dia bahwa beberapa anak perempuan tertawa cekikikan saat melihat pemandangan tersebut, tak sedikit pula yang merekam momen tersebut dalam kamera mereka. Dasar bodoh.

Okay, sekarang Naoto sudah ada di depan pintu Fujisaki Inn. Penginapan dan bar penyihir, eh? Entah seperti apa isi dalamnya. Apakah makanan dan minuman melayang sendiri menuju meja pembeli? Apakah banyak orang-orang dengan topi runcing penyihir dan berhidung bengkok penuh bisul? Penasaran.

Brakkk

Dengan cepat dan cukup keras, Naoto membuka pintu penginapan tersebut dan langsung kepalanya membentur bel yang tergantung di sana. Ouch~

Manik coklatnya melahap seisi bar itu. Mencari-cari keanehan yang bisa dikaitkan dengan sihir.

Hmm..

Tak ada..

Mengecewakan. Bar itu bar biasa.

Ya sudahlah. Dengan cuek Naoto melangkah menuju konter untuk memesan kamar dan tentunya makanan. Perutnya sudah keroncongan setelah perjalanan yang begitu panjang. Bayangkan saja jika di dalam perutmu ada seekor naga yang perlu diberi makan. Jika kelaparan, maka naga itu akan mengamuk dan membakar seluruh isi lambungmu! Yah, tidak separah itu sih. Pokoknya, Naoto anti lapar!

"Konnichiwa, pesan 1 kamar dan makanan yang paling lezat di sini dong. Lapar, nih," ujar Naoto seraya melipat kedua tangannya dan meletakkannya di konter bar --nyengir pada si pegawai magang.

*****

Maniknya yang sewarna brownies masih asyik mengamati seluruh penjuru ruangan. Mengamati lampion-lampion yang bergelantungan di langit-langit. Lucu juga, menggunakan lampion sebagai media penerangan. Sepertinya pemilik toko ini menyukai suasana remang-remang romantis. Kemudian bocah itu mengamati berbagai tipe manusia yang wara-wiri di sekelilingnya. Menarik juga, pikirnya. Banyak sekali bocah-bocah yang modis. Sedikit membuatnya minder karena pakaian favoritnya hanya celana pendek dan kaos oblong tua. Adem kalau dipakai. Mungkin setelah memesan makanan nanti, dia akan menyapa satu-dua orang untuk dijadikan teman di awal kehidupan barunya sebagai err-- calon penyihir.

"Hm, kamar nomor 117, kalau makanan, kusarankan ramen. Mau? Harganya 250 yen, sedangkan kamar, dibayar kalau sudah selesai dipakai." ujar salah seorang pegawai magang.

Ramen, eh? Salah satu masakan yang sangat dikuasai oleh Naoto. Ramen dengan kuah miso ditambah sedikit cabai bubuk --hmm, tak ada yang bisa membandingi kenikmatannya. Liur Naoto membayang di sudut bibirnya, perutnya semakin keroncongan. Mungkin lama-lama bisa membuat Naoto sedikit bergoyang, musik keroncong-an gitu, lho! Becanda.

"Boleh. Saya pesan ramen. Doumo," ujar Naoto sambil menyodorkan uang 250 yen pada si pegawai magang.

Bocah itu membalikan badan, menatap meja-meja yang ada di bar itu. Ramai juga, sepertinya akan cukup sulit mendapatkan meja kosong untuk makan sendirian. Itu artinya dia harus bergabung dengan seseorang. And, that's what Naoto wants!

Matanya memandang ke sebuah meja yang terletak di tengah ruangan, ada seorang bocah yang sebaya dengannya sedang duduk disana. Entah sedang apa. Mungkin bocah itu juga sama seperti dirinya, calon tukang sihir --takkan sehebat Naoto pastinya. Dengan ringan, Naoto melangkahkan kaki panjangnya kesana, menarik kursi dan menghempaskan pantatnya dengan nyaman disana.

"Halo," sapa Naoto pada bocah tersebut --melemparkan senyuman tipis yang mampu membuat gadis-gadis jatuh pingsan dan sebuah kedipan mata.

First Letter (2000)

“Nao, kita putus saja ya.”
“Apa? Apa alasanmu?”
“Aku menyukai orang lain.”
“…”



Sial! Ingatan itu terus membayangi benaknya. Membuatnya tak bisa tidur hampir setiap malam. Padahal kejadian itu sudah lewat sekitar 3 bulan. Nagisa, gadis yang sudah bersamanya hampir selama 2 tahun itu tiba-tiba memutuskannya secara sepihak. Dengan alasan yang sangat tidak bisa diterima olehnya. Gadis itu juga telah membuatnya jatuh sakit sehingga harus terbaring selama 3 minggu di rumah sakit. Tidak secara langsung, sih. Tapi karena perlakuan gadis itu, Naoto jadi sangat terluka. Dengan geram, Naoto mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya –hendak membanting sesuatu sebenarnya—namun dia tak berani mengambil resiko membuat ibunya marah dan akhirnya melapor pada ayah. Bisa-bisa dia didetensi tak boleh keluar rumah selama seminggu. Bisa gila.

Bosan! Naoto berdiri dari duduknya –melangkah ke pintu rumah. Hendak berkeliling ke Shibuya dengan motornya. Siapa tahu ada gadis cantik lain yang mungkin mampu memikat hatinya disana. Bukankah gadis-gadis di Shibuya cantik-cantik?
Motornya adalah model terbaru tahun ini. Sudah puas dia memamerkannya pada semua kenalannya. Jelas mereka iri dengan motornya itu. Sebentar Naoto memeriksa kondisi motornya –kemudian memanaskan mesinnya. Supaya tidak mogok di jalan lah.

“Mau kemana, Nao?”

Cih! Haha sejak kapan berdiri di pintu rumah? Bukankah tadi beliau sedang memasak?

Dengan segan, Naoto turun lagi dari motornya. Menghampiri ibunya yang memandanginya dengan tatapan galak. Memberikan pelukan hangat –cara yang sangat efektif untuk meluluhkan hati sang ibu. Trik yang belakangan ini ikut ditiru oleh adik-adiknya, Hayabusha dan Inochi. Seharusnya mereka membayar ongkos menjiplak pada Naoto, tuh.

“Aku mau ke Shibuya. Hanya berkeliling sebentar. Haha mau titip sesuatu?” tanya Naoto –menyunggingkan senyuman yang mampu meluluhkan hati wanita, tak peduli berapa usianya. Terkecuali ibunya, tentu.

“Tak perlu. Kamu masih kepikiran soal Nagisa, Nao?” tanya ibunya prihatin. Dia tahu benar betapa putranya begitu menyayangi gadis itu. Sungguh kesal hatinya saat mengetahui bahwa hati gadis itu kini beralih pada laki-laki lain. Dengan penuh sayang, perempuan tua itu mengelus rambut putra tertuanya.

Naoto terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Toh, ibunya sudah tahu jawabannya. Anak itu hanya melemparkan seulas senyum penuh luka dan berbalik kembali ke motornya.

PPONG!

Sebuah suara keras tiba-tiba terdengar di area rumahnya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Nagisa ada di hadapannya –membawa buntalan hijau sambil nyengir lebar.

“Nagisa?”

"Konnichiwa, tuan-tuan dan nyonya serta calon murid yang terhormat!"

Ee!? Tuan-tuan? Nyonya? Calon murid?

Naoto terpaku menatap Nagisa yang ada di hadapannya –mulutnya megap-megap. Reaksi ibunya pun kurang lebih sama hingga akhirnya beliau menyadari bahwa Nagisa yang ini mempunyai ekor luak yang menjuntai di bokongnya.

“Tanuki?” ujar perempuan tua itu.

“Tanuki? Ini Nagisa, Haha. Bukan Tanuki,” balas Naoto dengan nada suara yang penuh keraguan.

“Lihat ekornya!”

“Ee!? Nagisa, sejak kapan kau punya ekor?” tanya Naoto –masih belum menyadari bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah mantannya.

"Seperti yang sudah bisa Anda duga sebelumnya dan seperti apa yang tertera pada surat tugas saya bahwa dengan ini saya hendak memberitahu bahwa anak Anda mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dan menjadi bagian dari akademi sihir kami; Ryokushoku o Obita,” Nagisa berekor itu melanjutkan.

“Yang benar saja. Nagisa, jangan bercanda!”

Nagisa berekor itu malah tersenyum dan menjejalkan buntalan hijau yang dibawanya pada Naoto. Naoto hanya bisa menelan ludah. Oke—ini sudah jelas bukan Nagisa. Tapi siapa?

“Di dalam buntalan hijau ini terdapat bundelan kertas berisi ketentuan-ketentuan beserta keterangan lainnya mengenai akademi kami, silakan dibaca baik-baik. Harap form yang yang terlampir dikembalikan ke pihak sekolah ketika ketibaan di akademi kami. Dan yaa...siswa-siswi harus berada di stasiun Hakamadote atau stasiun Akita—di ruang bawah tanah lobby selatan—dimana perlu kata kunci khusus untuk mengaksesnya. Bagi siswa-siswi asing, tentunya diharapkan sudah berada di Jepang minimal sehari sebelum keberangkatan. Tentu saja kami akan mengirimkan utusan dari pihak akademi guna membimbing dan membantu anak anda agar tidak kesulitan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan sekolahnya," Nagisa berekor terus meracau. Tak peduli pada 2 manusia yang terbelalak di hadapannya.

"akhir kata, izinkan saya undur diri dari hadapan Anda sekalian. Adiosu, Mata nee!"

Tiba-tiba, Nagisa berekor itu lenyap –meninggalkan serpihan-serpihan daun yang entah berasal darimana.

Naoto menoleh ke arah ibunya.

“Haha mengerti maksud ini semua?” tanya anak itu seraya memeluk ibunya.

Ibunya hanya menggelengkan kepala. Wajahnya sedikit pucat.

“Mungkin Chichi-mu tahu soal ini. Kita tunggu saja ia pulang,” ujar ibunya pelan.

Biodata

Ryokushoku o Obita
Japanese Academy of Magic




[Nama Lengkap]: Naoto Matsushima

[Nama Panggilan]: Nao, Toto, Natto

[Tempat dan Tanggal Lahir]: Shizuoka, 13 Januari 1985

[Kewarganegaraan]: Jepang

[Asrama]: -

[Mahou no Tsue (Tongkat Sihir)]: Elder 30cm dengan inti nadi Kappa Kribo

[Peliharaan]: Tidak suka binatang

[Alat Transportasi yang Dibawa di Ryokubita]: -

[Barang Elektronik yang Dibawa di Ryokubita]: Walkman, Jam saku hadiah dari mantannya

[Kegiatan yang Diikuti]: Music, Cooking


Latar Belakang Keluarga

[Nama Ayah]: Hirosaki Matsushima

[Nama Ibu]: Nozomi Minagawa

[Nama Saudara]: adik kembar yang 2 tahun lebih muda; Kazuhiro Matsushima (13), Kouhaku Matsushima (13)

[Latar Belakang Keluarga]: Keluarga biasa saja. Ayah bekerja sebagai pegawai bank setempat, Ibu seorang ibu rumah tangga. Mereka berdua pindah ke Tokyo setahun setelah kelahiran Naoto. Dalam perjalanan menuju Tokyo, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Ketiganya selamat, meski jantung Naoto terluka dalam kecelakaan tersebut sehingga membuat jantungnya lemah hingga sekarang.


Data Personal

[Tinggi / Berat]: 180cm / 65kg

[Golongan Darah]: O

[Warna Mata]: coklat tua

[Warna Rambut]: coklat tua

[Warna Kulit]: putih

[Ciri khusus]: terdapat bekas luka memanjang di dadanya

[Personaliti Karakter]: Lemah jantung sehingga mudah sakit, iseng, suka melucu untuk menghibur teman yang sedih, apa adanya, tertutup jika sudah menyangkut masalah pribadinya, cenderung suka menyendiri jika sedang sedih. Naoto tidak tahan melihat perempuan menangis dan tidak suka bila melihat kedua adiknya dijahati orang. Jangan sekali-kali membuat Naoto marah atau tinjunya akan melayang ke wajahmu. Naoto sangat menghargai kaum hawa, menganggap bahwa memuji mereka cantik atau manis akan membuat mereka senang—karena okaasan senang dipuji seperti itu olehnya.

[Bakat dan Kekurangan]: Jago main gitar dan memasak masakan Jepang. Ingatannya sangat kuat. Sering lupa dengan kondisi tubuh sendiri. Kurang sensitif pada perasaan orang lain. Tak bisa baca buku teks —langsung tertidur pulas.


TRIVIA

Naoto tidak suka penyakit jantungnya diketahui orang banyak.