Sabtu, 19 Desember 2009

Scar

[Nagata]

”Cepat, Yamada! Sebentar lagi kita sampai di puncak tebing”,
”Hhh… Hhh.. Sabar Hiroshi! Aku sudah agak lelah,”
“Ayo, kau pasti bisa! Ingat kata Toki-senpai, setelah sampai di atas, kita akan jadi anak paling hebat se-Osaka! Bukankah itu keren?”
”Ya! Pastinya itu akan keren sekali! Baiklah, aku datang, Hiroshi!”


Naga tak pernah menyangka ajakannya untuk memanjat tebing dengan Yamada akan ia sesali seumur hidupnya. Hanya karena termakan bualan kakak-kelasnya untuk memanjat tebing karang setinggi 20 meter yang terletak di pinggir pantai dekat sekolahnya itu, Naga membujuk teman dekatnya di sekolah—Yamada Takakura, untuk turut memanjat. Sama sekali tidak menyadari resiko di balik ulah nakalnya sedikitpun. Yeah, nyawa. Naga rela memberikan apapun miliknya, termasuk nyawanya kalau bisa, agar ia bisa mengulang waktu dan memperbaiki semuanya. Tapi ia tidak bisa. Tidak pernah. Dan tidak akan bisa.

”Hiroshi! Lihat, dibawah indah sekali!”
“Yeah, kau benar“
“AAARGH! Topi-ku jatuh!”
“Hey! Biarkan saja topinya, nanti kau jatuh!”
Tidak apa, aku akan ambil—AAAAAAAAAAARGH!
“Tidak. Kubilang HENTIKAN, YAMADA!

***

Tidak seperti biasanya, Naga menghadiri kegiatan klub Jum’at itu dengan lesu. Lingkaran hitam yang membayang di bawah matanya, mempertegas betapa buruknya penampilannya saat itu. Lagi, untuk ketiga-kalinya berturut-turut sejak hari Selasa, Naga bermimpi buruk. Dan bagaimana bisa mimpi-nya selalu sama persis dan seolah benar-benar nyata? Melelahkan sekali mengalami mimpi buruk yang sama berulang-ulang, asal kau tahu. Apalagi, mimpinya ini selalu membangkitkan kenangan buruk lima tahun lalu, ketika ia tidak sengaja membunuh seorang Yamada Takekura. Kejadian ini pula yang membuatnya terkadang menjaga jarak dari anak-anak seumurnya, dan amat berhati-hati dalam berteman. Yeah, Naga takut kelepasan ‘membunuh’ lagi. Selasa kemarin, nyaris saja ia mengulangi hal yang sama. Beruntung Monyet Gunung tidak kenapa-kenapa, hanya saja Naga masih menjaga jarak dengannya.

Hari menjelang sore, dan akhirnya latihan bola pun selesai. Satu demi satu teman-teman satu klub-nya meninggalkan lapangan, hingga tinggal ia sendiri yang berada di sana. Naga membasuh mukanya di keran dekat lapangan bola, membersihkan keringat yang mengalir deras di pelipisnya karena kelelahan. Genangan air di tanah memantulkan cahaya dan merefleksikan wajahnya dengan sempurna. Masih ada. Deretan luka jahitan sepanjang delapan centimeter itu masih berjejer rapi di dahinya, meski seringkali tak terlihat karena tertutup poni. Luka yang menjadi bukti nyata bahwa Naga juga turut terjatuh ketika hendak menolong temannya dalam insiden lima tahun lalu itu. Hanya saja terdapat perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Naga selamat, sementara Yamada tidak.

” Sudah puas kau menghilangkan nyawa orang, eh Hiroshi?”
JDUGG!
”Jangan berteman dengan Nagata! Nanti kau mati bila tak mengikuti keinginannya!
JDUGG!
”Pembunuh! PEMBUNUH!!”
JDUGG!

Naga menendang bola-nya ke arah dinding luar sports hall, pantulan bola-nya ia tendang kembali ke tembok, semakin lama semakin keras, untuk melampiaskan rasa frustasi-nya. Tidak perduli akan kaki-nya yang mulai lebam. Entah karena pemuda tanggung itu kurang tidur, atau karena panas matahari yang begitu menyengat siang itu, pikiran Naga mulai melantur dan berhalusinasi. Celaan dan makian orang-orang yang tidak terima bahwa Yamada telah meninggal dan beralih menyalahkan dirinya, mulai bergaung kembali di telinga Naga. Dan harap dicatat, tidak ada satupun yang perduli bahwa Naga juga terluka. Tidak ada. Bahkan kedua orangtuanya seolah malu telah memiliki anak seorang ‘pembunuh’ seperti dirinya. Apalagi keempat kakaknya yang sejak saat itu cenderung mengacuhkannya di depan publik dan tidak mengakuinya sebagai adik.

JDUGGG!

Tendangan terakhir-nya begitu keras sampai bolanya memantul tinggi sekali dan hilang entah kemana. Naga tidak berusaha sama sekali untuk mengambilnya. Ia kelelahan, baik fisik maupun mental. Melangkah gontai ke bangku terdekat, Naga berbaring di atasnya, kali ini mencoba jalan terakhir untuk melepaskan penat dan rasa frustasi-nya dengan memejamkan matanya—tidur. Menangkupkan sebelah tangan di atas matanya untuk menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan, Naga pun terlelap.

Keringat deras masih mengalir di sekujur tubuhnya.
Dan sekali lagi harap dicatat, setetes air yang mengalir di sebelah matanya, juga keringat.


[Naoto]

Tiga hari.

Tiga hari sudah terlewati sejak Naoto ambruk tak sadarkan diri di tengah kelas olahraga, membuat teman-teman dan sensei-nya terkejut dan kebingungan. Tiga hari itu pula, Nagata seolah-olah menganggap Naoto sebagai angin lalu yang tak terlihat di matanya. Atmosfer di sekeliling Naoto dan Nagata selama dua hari itu terbilang sangat suram. Masing-masing terlihat saling menghindar meski sebenarnya Naoto ingin menyapa tapi mengurungkan niatnya tiap kali bertemu muka dengan Nagata. Tak ada celaan-celaan dan adu mulut yang biasanya terdengar saat kedua bocah itu bertemu. Bukan berarti Naoto suka dicela, tapi celaan dari Nagata justru membuat dia lebih bersemangat untuk mengisengi si pencela. Bisa dipastikan, semua orang yang mengenal duo monyet gunung dan tuan kepiting pasti bertanya-tanya ada apa gerangan di antara mereka berdua. Mungkin hanya Yuuji, Hiro, Tetsu dan Aoi yang tahu persis apa yang membuat kedua bocah itu bertingkah aneh begitu.

Tak tahan sudah Naoto bersabar dengan keadaan yang aneh seperti ini, sulit untuk bersikap ceria jika partner debatnya yang satu itu mengacuhkannya. Rasanya seolah ada lubang besar dalam hatinya dan itu jelas terasa tak enak, membuatnya jadi sulit tidur setiap malam. Terlebih lagi, dia dan Nagata berada dalam satu kamar dan tempat tidur mereka juga berdekatan sehingga Naoto bisa dengan mudah melihat sosok Nagata yang dua hari ini selalu memunggunginya.

Entah sejak kapan, keberadaan Nagata telah menjadi satu poin penting dalam dirinya. Meski mereka hampir selalu terlihat bertengkar, bisa dibilang di situlah letak keakraban mereka. Dan benang merah imajiner itu mengikat mereka berdua lebih erat daripada dengan ketiga temannya yang lain. Tolong jangan berpikir macam-macam. Apabila kau diacuhkan oleh sahabatmu, apa yang akan kau rasakan? Nah, persis seperti itulah yang Naoto rasakan sekarang.

Ditinggalkannya Fukupi di kamar setelah diberi titah untuk tidak mengikutinya. Dia ingin mencari Nagata dan meminta maaf secara langsung pada temannya itu berdua saja. Bila perlu, dia akan ceritakan semua rahasianya pada Nagata bila memang itu bisa membuat Nagata kembali pada sikapnya yang biasa.

Naoto mengenakan hoodie putih tanpa lengan dan celana jeans gelap. Hari sudah menjelang sore, cuaca pun sudah tidak terlalu panas sehingga bocah jangkung itu memberanikan diri untuk keluar setelah tiga hari penuh beristirahat di kamar memulihkan diri. Demamnya sudah turun sejak semalam dan kondisi jantungnya sudah sehat kembali, flunya sudah berlalu pergi dari tubuhnya. Diayunkannya kedua tungkai panjangnya ke arah gymnasium, Naoto yakin Nagata ada di sports hall. Hari ini jadwal latihan klubnya, bukan?

Tinggal beberapa langkah menuju sports hall ketika tiba-tiba sebuah bola mendarat di dekat kakinya. Naoto memungut bola tersebut dan kembali melangkah menuju sports hall untuk mencari Nagata. Beruntunglah dia karena dengan cepat ditemukannya Nagata, tertidur di sebuah bangku di dekat lapangan. Sebelah tangannya ditangkupkan di atas matanya. Naoto menghampirinya dengan langkah perlahan, tak ingin membangunkan bocah yang terlihat kelelahan itu. Diletakannya bola yang tadi dipungutnya di bawah bangku yang ditiduri Nagata dan browniesnya menangkap sesuatu yang janggal di wajah Nagata. Ada setetes air mengalir di sebelah matanya. Tuan Kepiting menangis?

Ditepuknya lengan Nagata perlahan. Memang tadinya dia tak berniat membangunkan Nagata, tapi melihat keadaan temannya saat ini, Naoto merasa tak boleh meninggalkannya begitu saja.

"Tuan Kepiting, kau tak apa-apa?"


[Nagata]

“Oh, kau…”,

Naga terbangun kaget dari tidurnya, ketika ada seseorang yang membangunkannya. Yeah, itu Monyet Gunung. Tapi jujur saja, Naga agak kecewa mendapati si Monyet Gunung ini yang membangunkannya. Entahlah, di saat suram begini Naga berharap seseorang yang lebih lembut yang membangunkannya, yang setidaknya dapat menjadi sandaran bagi dirinya sejenak. Err, harap dicatat yang Naga maksud bukan laki-laki, tentunya. Maaf saja, Naga masih normal. Tadi dia sedikit berharap yang membangunkannya, err.. Ishibashi adik, mungkin? Whoa, mimpi saja kau, Naga!

Naga menguap lebar dan mengucek-ngucekkan matanya yang masih berat karena mengantuk. Sejenak, dalam kesadarannya yang masih belum kembali sempurna dari alam bawah sadarnya, Naga sama sekali lupa kalau ia sedang menghindari anak laki-laki di sebelahnya ini. Sifat monyet gunung ini di klinik dulu tidak dapat diterimanya--pertama, anak ini berbohong dan kedua, dia 'membuang' teman-temannya begitu saja dan lebih memilih si tikus biru keparat itu. Yea, sebenarnya Naga tahu dua alasan itu tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan, apalagi untuk ukuran laki-laki, tapi yah, entahlah, Naga sudah terlanjur kesal. Dan mungkin tidak ada yang terlalu menyadari, tapi sejak di klinik itu, Naga tidak hanya menjauhi Monyet Gunung saja, tapi ia juga menjaga jarak dengan Fujiwara, Ikuya, Natsuume-senpai, dan teman-temannya yang lain. Atau mungkin Naga akan lebih memilih tidak punya teman sekalian jika ia bisa. Rekornya dalam berteman tidak terlalu baik. Statusnya masih seorang mantan pembunuh, kau ingat? Beruntung keluarga Yamada tidak menuntutnya ke polisi, jika hal itu terjadi, mungkin Naga tidak akan ada di sini sekarang.

"Bukan urusanmu," ujarnya dingin, ketika Naga sudah benar-benar terbangun dari tidurnya. Mengambil handuk kecilnya dari tas olahraganya yang terletak di bawah bangku, Naga mengelap keringat di wajah dan lehernya, sedikit berusaha mengusapkan handuknya lebih keras pada keningnya, namun tentu saja sia-sia. Guratan luka jahitan itu masih berada di sana. "Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu," lanjutnya lagi dengan nada dingin sambil menatap tajam Monyet Gunung.



[Naoto]

Naoto menghempaskan bokongnya ke tanah dan bersandar pada bangku yang diduduki Nagata alih-alih duduk di petak kosong bangku di samping bocah galak itu. Kaki kanannya dia luruskan sedangkan yang kiri dia tekuk untuk lengannya bersandar. Ya, sang Tuan Kepiting sudah terbangun dari tidurnya dengan wajah tetap masam, dia tak senang Naoto ada disana. Wajar, saat ini keberadaan Naoto pasti sangat mengganggu apalagi bila Nagata benar-benar habis menangis. Tadinya Naoto hendak beranjak pergi meninggalkan Nagata karena merasa saat itu bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf, namun bocah jangkung itu membatalkan niatnya ketika serangkaian kata bernada menuntut mengalir keluar dari bibir Nagata.

"Lagipula, kurasa kau yang masih berhutang jawaban jujur padaku atas pertanyaan yang sama di klinik dulu,"

Naoto menghela nafas sembari menyunggingkan seulas senyum tipis yang mungkin tak terlihat oleh Nagata karena posisi duduknya. Ditengadahkannya kepala ke atas, kedua permata sewarna browniesnya mengarah ke langit dengan tatapan kosong. Langit mulai mengeluarkan semburat kemerahan dan matahari mulai bersembunyi di balik awan seputih kapas. Naoto menggigit bibirnya sekilas sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya pada Nagata.

"Ya, aku tahu. Maka dari itu aku kemari mencarimu," ujar Naoto singkat. Kini kepalanya sedikit tertunduk, tak lagi menatap Nagata. Tangan kanannya bergerak perlahan menuju ke dada kiri lalu ditempelkan telapak tangannya disana. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya sebelum akhirnya kisah yang selama ini dia tutupi perlahan mengalir seiring gerakan bibir tipisnya.

"Kau... pernah melihat bekas luka memanjang di dadaku ini, kan? Waktu usiaku satu tahun, aku mengalami kecelakaan bersama orangtuaku. Sebuah pipa besi berdiameter tiga sentimeter menembus dada kiriku dan melukai jantungku. Beruntung saat itu aku berhasil diselamatkan meski jantungku cacat dan lemah sampai sekarang." Jeda sejenak. Bocah jangkung itu melirik sekilas pada Nagata lalu menelan ludah yang tersangkut di kerongkongannya. "Hal itu membuatku sakit-sakitan, makanya aku lebih sering tidur di kamar karena demam atau flu ketimbang bermain-main di luar asrama setelah kelas berakhir. Aku juga tak bisa ikut klub olahraga meski aku ingin."

Naoto meluruskan kakinya dan sedetik kemudian dia telah berdiri untuk kemudian duduk kembali di bangku—di samping Nagata. "Penyakitku bukan asma.. tapi jantung."

Haruskah dia menjelaskan alasan mengapa dia menyembunyikannya?

Nanti saja, bila Nagata menanyakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar