Selasa, 01 Desember 2009

Kelas Olahraga Selasa Pagi

PANAS! Baseball Field terasa seperti kuali raksasa hari itu, padahal minggu lalu tidak sepanas ini rasanya. Rasanya terik matahari seperti menusuk-nusuk kulit Naoto yang putih itu. Untung saja dia sudah memakai topi sehingga terik matahari tidak mengenai kepalanya langsung, bisa-bisa kepalanya pusing mendadak dan tak bisa ikut kelas olahraga. Iya, kelas olahraga. Kau tak salah baca, kok.

Aneh memang melihat seorang Naoto berolahraga, kalau okaasan tahu, mungkin dia akan langsung dijemput pulang ke rumah dan dikurung dalam kamar. Sebenarnya dia ingin bilang pada sensei yang hobi meniup-niup peluit itu—Naoto sudah memakai penyumbat telinga sehingga bunyi peluitnya tak terlalu menyakitkan, ngomong-ngomong—mengenai kondisi jantungnya. Tapi bocah jangkung itu merasa hal itu belum perlu melihat pelajaran kali ini juga hanya lempar-tangkap bola baseball—kali ini sungguhan, bukan bola tenis. Lagipula, kegiatan itu menyenangkan daripada harus melamun sendirian menonton teman-temannya bersenang-senang. Tubuh kurusnya ini setidaknya butuh sedikit olahraga supaya tidak penyakitan, asal tidak terlalu diforsir pasti akan baik-baik saja.

Setelah melakukan pemanasan seadanya dan semampunya—meniru teman-teman yang lain—Naoto memakai glove-nya lalu melempar-lempar bola baseballnya ke udara dan menangkapnya kembali.

Well—who wants to be my partner? Naoto cukup jago main lempar-tangkap, kok.

Tawaran yang disebutkan dalam hati tersebut langsung mendapat respon dari seseorang yang langsung melemparkan bolanya lurus ke arah Naoto. Bola tersebut melesat begitu kencang dan membuat Naoto terbelalak karena sama sekali tak menyangka bola akan datang begitu cepat bahkan sebelum dia mengiyakan ajakan orang itu. Dengan gerakan refleks, Naoto mengangkat tangan kirinya yang dilindungi glove tebal ke depan wajahnya.

Syuuut—

BUKK

Bola tersebut menabrak dinding glove yang empuk. Fiuh—Naoto menghela napas lega. Nyaris saja wajah gantengnya memar-memar karena lemparan serampangan seseorang. Malang benar berpasangan dengan orang seperti itu. Naoto mengarahkan browniesnya, hendak memastikan siapa sang pelempar. Dan sekali laga matanya terbelalak—mulutnya ternganga.

"Tuan Kepiting?! Galak seperti biasa ya, bro!" ujar Naoto sambil menggelengkan kepalanya.

Masih dendam rupanya?

****

Yeah, Tuan Kepiting jelas masih kesal padanya--terlihat jelas dari ekspresi wajah dan sorot matanya pada Naoto. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut masalah aib Tuan Kepiting di onsen, kesalahan tidak sepenuhnya berada di pihaknya. Toh, si Tuan Kepiting yang terlebih dahulu menuduhnya buang gas. Sudah bagus Naoto menutupi kenyataan perihal pelaku polusi udara yang sebenarnya. Ya sudahlah, manusia kalau malu pasti tingkah dan pikirannya jadi aneh--contohnya si Tuan Kepiting di hadapannya ini yang sekarang sibuk berteriak-teriak. Semangat sekali dia.

Dengan punggung tangannya, Naoto menggosok-gosok hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal. Mudah-mudahan bukan pertanda pilek, akan sangat menyebalkan jika terkena pilek di sekolah yang menyenangkan ini. Seringai nakal kembali terlukis di wajah kurusnya, kedua browniesnya menatap mata sang kepiting pemarah dengan binar-binar penuh tawa.

Biar saja dia marah-marah. Di mataku, justru terlihat lucu. Kalau diasah, sebenarnya dia bisa jadi asistenku di masa depan.

"Oke, oke, Tuan Kepiting. Kulempar bolanya sekarang. Sabar, honey," ujar Naoto iseng sembari mengambil ancang-ancang melempar bola--meniru pitcher yang sering dilihatnya di televisi. Tak kalah cepat dengan lemparan Tuan Kepiting--bola baseball tersebut melesat cepat bersama angin ke arah hidung sang kepiting.

"YOOSSSHHHAAA--"

****

Wow! Rupanya Naoto berbakat juga menjadi pitcher baseball meski dia hampir tak pernah berolahraga. Lihat saja lemparannya tepat pada sasaran dan hampir saja bola lemparannya itu mencium hidung Tuan Kepiting. Dengan sebuah lompatan mundur ditambah dengan tabrakan dengan anak lain, Tuan Kepiting berhasil menangkap bolanya. Bagus! Naoto tak salah menilai bocah di hadapannya itu. Mereka memang cocok menjadi partner—batin Naoto sembari mengusap hidung dengan ibu jarinya. Entah kenapa tiba-tiba hidungnya terasa gatal.

"O-OI! LIHAT-LIHAT KALAU MAU LEMPAR, MONYET GUNUNG!"


Seperti biasa, Tuan Kepiting marah-marah lagi. Memangnya sejak kapan bocah satu itu tidak marah-marah? Rasanya, Tuan Kepiting memang dilahirkan hanya dengan satu macam emosi di otaknya. Kasihan juga, ya. Padahal kalau dia tersenyum pasti akan terlihat tampan meskipun Naoto jelas lebih tampan.

"Jangan marah-marah terus, honey! Nanti gantengnya hilang, lho," ujar Naoto pada Tuan Kepiting—setengah berteriak.

Tiba-tiba saja sensasi gatal menyerbu di hidungnya, gosokkan lengan di hidungnya pun tak mampu menghentikan sensasi yang menggelitiknya dan menggodanya untuk bersin.

Ha—hatshhyiiiii—

"Sebentar ya, Honey!"

Ha—hatshhyiiiii—

Bocah jangkung itu masih menggosok-gosok hidungnya—rasanya dia benar-benar kena flu—dan tak sadar bahwa Tuan Kepiting telah melemparkan bolanya dua kali lebih cepat dari lemparan pertamanya. Bola melaju dengan kencang ke arah Naoto yang masih sibuk dengan hidung mancungnya. Kristal browniesnya kontan membelalak ketika tiba-tiba menyadari kedatangan benda bundar tersebut.

BUKK.


Bola tersebut menabrak dinding dada Naoto dengan keras tanpa bisa dihindarinya. Naoto jatuh berlutut di atas hamparan rumput sambil memegangi dadanya. Sial—Dia melengkungkan punggungnya sehingga kepalanya kini menyentuh tanah. Wajahnya memerah menahan sakit yang tiba-tiba menyerangnya. Untung saja yang terkena bukan dada sebelah kirinya. Nyaris.

"Uggh—" bocah itu mengerang kesakitan. Tak ada yang menyadari sebuah seringai kecil hadir di sudut bibir sang bocah.

****

Sial. Lemparan Tuan Kepiting benar-benar keras. Naoto yakin, di dadanya pasti tertinggal bekas memar berbentuk bundar nanti. Meski bocah itu bersyukur lemparannya bukan menabrak dada bagian kirinya, tetap saja rasanya sakit dan membuatnya kaget setengah mati. Tiba-tiba detak jantungnya terasa semakin cepat dan membuatnya merasa sesak. Seringai iseng yang tadi sempat hadir di wajahnya kini menghilang. Kepanikan mulai melanda dirinya sehingga membuatnya semakin sulit bernafas. Wajahnya pucat pasi. Pilek yang sedari tadi mengganggunya kini benar-benar mempersulit keadaannya. Bisa bayangkan kau bersin-bersin saat menarik nafas saja begitu sulit?

Oh, please. Jangan. Kumohon jangan kambuh sekarang.

Dia bisa mendengar seseorang berlari ke arahnya. Ya, seperti yang diduganya, Tuan Kepiting si pelaku lemparan maut itu yang menghampirinya. "Hei-hei, monyet gunung! Kau tak apa-apa?" Naoto bisa mendengar ekspresi panik dari nada suara bocah di hadapannya itu. Naoto berusaha menganggukan kepalanya agar Tuan Kepiting berhenti mencemaskan dirinya. Tapi ternyata, bocah satu itu malah berteriak memanggil sensei.

Bodoh—

"JUNTA-SENSEI! ADA MON--eh, ANAK YANG JATUH TERKENA BOLA!"

Cepat-cepat Naoto membungkam mulut anak itu dengan kedua tangannya sambil berharap sensei tidak mendengar teriakannya. Semoga saja peluit yang ditiupnya keras-keras itu sedikit membuat telinganya tuli. "Ja.. jangan," ujar Naoto terbata-bata, berusaha menghirup oksigen sebisanya. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya.

Perlahan bocah jangkung itu bangkit berdiri dengan susah payah lalu berbisik ke telinga partnernya, "Kita.. lanjutkan." Kemudian, dengan sedikit terhuyung bocah itu berjalan menjauhi Tuan Kepiting dan melemparkan bola ke arahnya. Lemparan yang lemah. Hanya melayang sekitar satu meter sebelum kemudian bola tersebut jatuh ke tanah. Naoto memandang partnernya dengan tatapan meminta maaf. Pandangannya sudah mulai kabur tapi dia harus bertahan sampai tugasnya selesai dan dia bisa beristirahat di klinik.

****

Bocah jangkung itu berdiri di tengah lapangan. Sekelilingnya kini tampak kosong dalam pandangan permata browniesnya. Pijakannya sedikit goyah namun dia tetap berusaha berdiri tegak. Dia belum ingin menyerah. Tidak di depan orang banyak seperti ini. Terik matahari yang menyengat terasa dua kali lebih panas di kulitnya, suhu tubuhnya mendadak meningkat—demam. Sempurna. Flu kini benar-benar resmi menyerangnya ditambah dengan serangan jantung ringan karena tertabrak bola baseball yang keras. Brengsek. Perlahan bocah itu melepas topinya dan membantingnya ke tanah. Sebuah bantingan lemah untuk melampiaskan kemarahannya pada diri sendiri. Baru kali itu dia merasa benar-benar benci dengan kelemahannya.

Hhh—

Hhh—

Tubuhnya benar-benar sudah tak bisa diajak kompromi lagi, pandangannya sudah benar-benar buram dan mulai gelap. Bocah jangkung itu jatuh terduduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menggerak-gerakan tulang lehernya seolah berharap hal itu bisa membuatnya sedikit lebih sadar. Nihil. Pandangannya tetap buram dan gelap. Seperti melihat layar hitam putih.

Samar-samar didengarnya suara partnernya datang menghampiri dirinya—kesadarannya sedikit kembali. Bocah itu hanya menganggukkan kepala namun dia tak sanggup bergerak. Kemudian Nagata pergi meninggalkannya sebentar dan kembali membawa sekaleng cola untuknya. Dalam diam Naoto menerima kaleng cola yang dingin tersebut dan menempelkannya di kening.

"Maaf soal tadi kalau lemparanku terlalu keras,tapi jujur aku tak menyangka kalau... kau ternyata payah ya."

Naoto sedikit tersentak mendengar pernyataan dari Nagata. Bocah itu tersenyum miris. Ya, dia tahu, dia memang payah. Bukan sosok laki-laki yang kuat dan aktif seperti bocah yang dia juluki Tuan Kepiting atau yang lainnya. Dia tak bisa diandalkan dalam hal apapun. Meramaikan suasana, mungkin itu pun sesungguhnya hanya topeng yang dia kenakan untuk menutupi kekecewaannya pada diri sendiri.

"Kau benar. Aku... memang... payah," ujar Naoto pelan di sela nafasnya yang sesak. Perlahan tubuh kurusnya kehilangan tenaga, tak mampu lagi menopang berat badannya sendiri. Kesadaran pun seolah ditarik dari dalam dirinya, pandangannya semakin gelap.

BRUKK.

Dan tubuh kurus Naoto kini tergeletak lemah di pangkuan Nagata. Matanya terpejam. Wajahnya pucat kebiruan.

Maaf karena monyet gunung ini payah, Tuan Kepiting...

****

2 post terakhir dari Tuan Kepiting.. keren..
__________________________________________________________________
Naga mengerling heran pada si monyet gunung norak di sebelahnya ini. Benar-benar sakit, sepertinya, meski Naga mendiamkannya saja. Bukan berarti Naga kejam atau apa, hanya saja rasanya tidak etis bila kau melihat orang sedang kesakitan seperti bahan tontonan. Jadi Naga memilih diam di sebelah si Monyet Gunung ini, meneruskan meminum cola-nya sambil sesekali melayangkan pandangannya ke anak-anak perempuan yang masih bermain lempar-tangkap bola. Koreksi, ternyata ada anak laki-laki juga. Ahh si Fujiwara itu, selalu saja berhasil menipu matanya.

Oke, sekarang mulai jadi benar-benar aneh. Bagaimana bisa monyet gunung supernorak itu mengakui bahwa dirinya memang payah? Naga jadi tidak enak sendiri telah mengata-ngatainya. Ah, tidak-tidak. Jangan tertipu dulu! Siapa tahu ini hanya tipu daya anak itu supaya bisa mengerjainya lebih parah lagi. Yeah kita tunggu saja sejenak, pasti anak itu akan melakukan hal norak lainnya tidak lama—

BRUKK!

—lagi. Benar 'kan apa kata Naga? Apa-apaan anak ini tahu-tahu jatuh di pangkuannya? Naga yang ketika itu tengah menenggak tegukan terakhir cola-nya, jadi tersedak dan tanpa sengaja menyemburkannya ke kepala si monyet gunung. Yeah, baguslah, hitung-hitung 'menyegarkan' ke kepalanya. Naga bersiap-siap untuk menerima protes dari si anak norak, atau setidaknya, tapi—tidak ada reaksi. "O-OI! BANGUN, MONYET GUNUNG!", Naga mengguncang-guncangkan tubuh anak itu, namun tetap tidak ada reaksi. Dan jidat anak ini benar-benar panas, omong-omong.

Sepertinya anak ini benar-benar sakit sampai pingsan, kalau memang belum bisa dibilang mati. Entahlah, Naga sama sekali tidak mengerti tentang hal-hal yang berbau medis. Memberikan napas bantuan atau memberikan pertolongan pertama, tetek-bengek seperti itu sama sekali tidak dikuasainya. Sial, kalau begitu hanya ada satu cara, membawa monyet gunung ini ke klinik sekolah.

"Ikuya, tolong laporkan pada Junta-sensei kalau ada mon—anak yang pingsan. Aku akan langsung membawa Mo—er Matsushima ke klinik," ujar Naga pada Ikuya yang berada tidak jauh darinya. Tadinya Naga hendak berteriak memanggil Junta-sensei seperti sebelumnya, tapi tampaknya cara itu tidak efektif. Kemudian Naga membalikkan posisi tubuh si monyet gunung, dan menggendongnya pada bahu-nya untuk bergegas ke klinik seperti pemadam kebakaran menggendong korban kebakaran. Bukan menyamping seperti pangeran menggendong putri, tentu saja. Memangnya kau kira Naga apa?

Dan ini bukan cerita drama percintaan, asal kau tahu.
Ini cerita tentang—
—permusuhan jadi persahabatan?
Bukan, lebih tepat cerita tentang anak ketiban sial yang terpaksa mengurus anak tak tahu diuntung.

__________________________________________________________________
Naga kesusahan setengah mati menggendong monyet gunung yang ternyata beratnya tidak sebanding dengan julukannya yang terdengar enteng. Tapi, anak-anak lain malah membombardirnya dengan segudang pertanyaan tentang monyet gunung yang tergolek lemah dalam gendongan Naga. Euh, tidak adakah yang tahu betapa beratnya monyet gunung ini, anak-anak manis? Untuk bernapas saja Naga sudah kesulitan, apalagi untuk menjawab semua pertanyaan yang sama berulang-ulang seperti burung beo. Dan tidak adakah yang sadar bahwa semakin cepat monyet gunung ini diantar ke klinik akan semakin baik baginya? Dan bagi Naga juga sebenarnya. Bahunya mulai terasa terbakar karena berat si Monyet gunung ini.

"Entahlah, yang jelas dia sakit dan harus dibawa ke klinik," jawab Naga pendek kepada Mizuno yang terlihat panik, sambil terus berjalan menjauhi lapangan baseball. Sebenarnya Naga ingin menceritakan kronologi-nya dari sebelum monyet gunung ini pingsan, tapi tidak ada waktu. Nanti saja belakangan. Takafumi yang sepertinya tadi berpasangan dengan Ikuya juga mendekatinya dan berkomentar--err, lebih tepatnya mencela si monyet gunung dan mengata-ngatainya lemah. Ohh, jadi kau pikir kau kuat hanya karena bisa main lempar bola, eh?

"Dia sakit dan tutup mulut manis-mu, Nona, suatu saat kau bisa saja bernasib sama dengannya, dan kalau itu terjadi, jangan harap ada yang menolongmu dengan sifatmu yang seperti ini," ujar Naga dengan ekspresi sedingin es, pertanda ia sedang marah. Entahlah, meski Naga juga sering mencela monyet gunung ini, entah kenapa ia juga tidak terima bila ada orang lain yang mencela si monyet gunung. Cukup seorang Naga saja yang mencelanya, yang lain jangan. Naga yang masih terus berjalan pendek, kembali berpaling kepada anak lain yang menegurnya. Ternyata Fujiwara, dengan pertanyaan yang sama, meski lagi-lagi hanya dia yang selalu menawarkan tindakan nyata setelah berbasa-basi.

"Dia sakit, ikut saja, tapi bisa sekalian ambilkan tas miliknya? Mungkin saja di dalamnya ada obat," ujar Naga pada Fujiwara, sambil membenarkan letak gendongan si monyet gunung yang mulai melorot ke bawah, dan kemudian meneruskan perjalanannya kembali ke klinik. Setelah ini, mudah-mudahan saja tidak ada anak lain yang mencegahnya dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kalaupun ada, jangan salahkan Naga bila tidak mengacuhkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar