Selasa, 10 November 2009

Mahou no Tsue Shop

Hoah!!

Woah!!

Desahan-desahan kekaguman entah sudah berapa kali terdengar keluar dari bibir Naoto saat permata browniesnya memandangi setiap bentuk arsitektur bangunan di sepanjang Jumonji Shopping Avenue. Kuno. Kuno abis malah. Sedikit menyesal menolak tawaran oyaji untuk menemaninya kemari. Tahu bakal tersesat begini, lebih baik dia melupakan gengsi untuk pergi sendirian ke tempat asing. Ah cuek, Naoto bukan orang yang mudah panik. Tersesat? Have fun saja, baby! Takut apa? Tinggal tanya sedikit di sini dan tanya sedikit di sana, nanti juga dia bisa balik lagi ke Fujisaki Inn. Bukankah disini banyak komunitas penyihir?

Dengan santai Naoto kembali menyusuri jalan itu --mencari toko-toko yang menjual barang-barang kebutuhan sekolahnya. Jujur, dia sudah lupa apa saja yang diperlukan. Maafkan kecerobohan bocah satu ini. Onegai.

Setidaknya ada satu yang bocah itu ingat. Tongkat sihir! Kenapa dia bisa ingat? Karena dia sendiri begitu antusias ingin cepat-cepat membeli tongkat sihir. Tongkat sihir beneran, saudara-saudara. Tidak seperti pesulap-pesulap gadungan yang tongkatnya hanya tongkat buatan dan tidak bisa mengeluarkan apa yang disebut dengan -MAGIC.

Oyaji bilang, sebaiknya Naoto memilih tongkat dengan kayu Elder dengan inti nadi Kappa. Cih! Masa Kappa. Bukankah itu monster sungai gundul yang membawa-bawa tempurung seperti kura-kura dan memiliki paruh seperti bebek? Apa sih yang hebat dari monster itu? Bukankah naga atau shikigami lebih keren?

Ah! Itu dia toko tongkatnya. Hebat, kan Naoto. Bagaimana tidak, papan nama toko itu terpampang sedemikian besarnya. Hanya orang buta saja yang tidak bisa melihatnya.

Dengan bersemangat, bocah itu masuk ke dalam toko antik tersebut. Desahan kekaguman kembali terdengar tak henti-henti dari bibirnya. Dengan cepat dia mengintip-intip ke setiap rak. Memegang-megang benda yang terlihat unik di matanya sambil meracau mengungkapkan kekagumannya. Kemudian, matanya menangkap sebuah daftar harga dan jenis-jenis tongkat serta daftar intinya.

"Wah, Japanese Dragon? Shinigami? Bakeneko? Gila, segini banyak yang keren, Chichi malah menyuruhku memilih Kappa sebagai inti tongkatku?! Tsk--"

Dengan sebal, bocah itu menjatuhkan begitu saja daftar tersebut ke atas meja. Kemudian menuju konter dan memesan. Ya, tongkat yang disuruh oyaji, tentu. Berani melawan bisa-bisa Naoto digunduli.

"Sumimasen. Saya pesan tongkat Elder dengan nadi Kappa," ujar Naoto --terdiam sesaat,"kalau bisa pilihkan yang Kappa-nya keren, ya!"

“Err—coba saya cari, semoga stok nadi Kappa pemenang kontes kebugaran tahun lalu masih ada.”

E? Kappa pemenang kontes kebugaran? Memangnya ada kontes kebugaran khusus Kappa? Tanpa bisa dikontrol, Naoto tertawa terbahak-bahak di tempat —bodo amat, deh meski dilihat orang-orang dengan tatapan aneh. Justru mereka-mereka yang tidak tertawa itulah yang aneh. Betul?

“Sayang sekali Kappa pemenang kontes kebugaran sepertinya habis, yang ada tinggal Kappa jenis langka, yang berambut kribo, masih mau? Elder inti Kappa kribo, tiga puluh sentimeter; 4,800 yen. Agak sedikit mahal, memang, tetapi namanya juga langka; konon bagus untuk mantra perubahan bentuk dan mantra ilusi.”

Kappa kribo? Apa lagi itu? Ha-Ha-Ha. Tawa Naoto semakin keras, man —ini tak baik untuk jantungnya. Dia harus mengontrolnya segera sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Brengsek, bisa-bisanya dia mendapatkan tongkat yang sama konyolnya dengan dirinya sendiri. Mungkin mereka memang jodoh. Ha-Ha-Ha.

"Ano —saya mau beli yang ini. Keren banget ya, ada Kappa yang kribo," ujar Naoto —masih terkikik. Bocah itu menggoyang-goyangkan tongkat barunya, sambil membayangkan wujud Kappa kribo. Pfft—

Bocah itu segera menyerahkan uang 4,800 yen pada pegawai magang tadi seraya berbisik, "Eh, Yang Mulia Dai kalian itu nyentrik sekali. Dia pemain opera, ya? Sepertinya dia bakal tampak lebih keren jika rambut gondrongnya itu dikribo seperti Kappa kribo ini."

Tanpa menunggu jawaban dari si pegawai magang, Naoto melenggang keluar sambil cekikikan.

Oh My Red Ribbon

Ohayou gozaimasu~

Samar-samar terdengar suara-suara orang bertegur sapa di telinganya. Berisik sekali. Bocah itu membenamkan kepalanya di dalam bantal, mencoba menghilangkan suara-suara ribut yang mengganggu tidurnya itu. Siapa, sih pagi-pagi sudah bertandang ke rumah orang? Apakah ibunya lagi-lagi mengadakan arisan pagi? Atau lagi-lagi adik-adiknya membawa teman-teman sekolah ke rumah? Kuso-- ini masih jam berapa? Ayam pun belum berkokok --err, mungkin sudah.

Berisik. Berisik. Berisik.

Naoto membuka matanya dan duduk di futonnya dengan geram. Hampir saja ia berteriak jika tidak disadarinya bahwa ia tidak berada di kamar rumahnya.

Oh yea. Aku di Fujisaki Inn.

Kruyuuukk~

Naga di perutnya kelaparan sampai berbunyi senada dengan suara ayam jago. Membuat lambungnya terasa sedikit perih dan kembung. Bocah itu menggeliat --meregangkan otot-otot kakunya setelah tertidur pulas lalu bangkit berdiri. Masih mengenakan pakaian kebangsaannya --kaos oblong tipis ditambah celana pendek sedengkul. Cukup dengan cuci muka dan gosok gigi, menyisir rambut --VOILA, dia sudah siap untuk turun ke bar dan sarapan pagi --memuaskan naga lapar di perutnya sebelum naga itu menyemburkan api yang akan membuatnya jumpalitan di tempat tidur.

Kedua kaki panjangnya melangkah seirama dengan sedikit ritme teratur. Sayang dia lupa membawa walkmannya kemari. Kalau ada kan, dia setidaknya bisa berdansa sedikit. Mungkin nanti dia akan minta ibunya mengirimkan walkmannya ke sekolah.

Lapar. Bocah itu segera melangkah ke konter dan memesan dua porsi Okonomiyaki ukuran besar dan segelas ocha panas. Jangan salah, meski badannya kurus, Naoto termasuk pelahap apa saja alias rakus. Sambil melenggang, dia melangkah ke sebuah meja yang nampaknya telah dihiasi oleh dua sosok cantik. Apa yang lebih bagus daripada menyambut pagi dengan sarapan bersama dua bidadari? Tak ada. Apalagi di rumah Naoto, satu-satunya wanita adalah ibunya.

"Hei, nona-nona. Boleh saya bergabung bersama kalian disini?" ujarnya sambil mengedip pada kedua bidadari itu.

*****

"Ohoho, silahkan~" balas salah satu bidadari itu –ikut mengedip, "Silahkan duduk~ aku Nao, namamu?".

E? Kedipanku dibalas. Yatta– anak satu ini manis juga kalau dilihat.

“Arigatou,” ujar Naoto lalu menghempaskan bokongnya di kursi, “Namaku juga Nao. Lengkapnya Naoto Matsushima. Kebetulan sekali, ya nama panggilan kita sama.”

Bocah 15 tahun yang kelaparan itu tanpa basa-basi ataupun menunggu reaksi dari Nao –langsung melahap okonomiyakinya. Oishii! Boleh juga masakan di bar ini. Tak kalah dengan okonomiyaki buatannya. Gini-gini Naoto jago masak, lho! Mau coba? Boleh. Kapan-kapan.

Ohayou, minna-san~ Boleh aku duduk di sini? Namaku Arisa Shinohara, panggil saja Arisa. Douzo yoroshiku!”

Masih mengunyah okonomiyakinya, Naoto melirik ke arah suara milik Arisa Shinohara. Another girl? Sugee-. Rupanya dewi fortuna sedang berpihak padanya. Dengan begini, mungkin lebih mudah untuk melupakan Nagisa.

“Ohayou, Arisa-chan. Naoto desu,” ujarnya setelah menelan potongan okonomiyaki di mulutnya lalu menoleh pada satu bidadari yang sejak tadi belum membuka mulut padanya (Sakura Ieyoshi,red), “Kalau kamu? Siapa namamu?”

"Minna-chan tidak makan?"

Tiba-tiba gadis bernama Nao yang imut dan lucu itu melontarkan pertanyaan yang membuat Naoto bingung -nyaris tersedak. Bukankah dia sedang makan di hadapannya? Oh, mungkin pertanyaan tersebut dilontarkan untuk kedua anak perempuan yang lain. Cuek. Naoto lapar, nanti saja bercandanya. Naga di perut harus dilayani sebelum lambung Naoto terbakar. Ada saatnya bercanda, ada saatnya makan.

“Aku sedang makan, kok,” ujar Naoto singkat sambil terus melahap okonomiyakinya.

Confused

Sambutlah para hadirin sekalian, pesulap dan komedian muda paling terkenal di Jepang!!
Beliau akan segera melakukan debutnya sebagai pesulap Internasional!!
Tak usah menunggu lebih lama, mari kita sambut...
NAOTO MATSUSHIMA-san!!


Tepuk tangan dari para hadirin memenuhi seluruh ruangan, sorakan-sorakan yang mengelu-elukan namanya terdengar bagai sebuah dendangan manis di telinganya. Tokyo Dome terasa seperti sedang gempa. Luar biasa. Dan di tengah-tengah panggung, kini berdiri satu sosok yang luar biasa tampan, dengan kostum hitam-hitam khas seorang pesulap. Di kepalanya bertengger sebuah topi koboi hitam mengkilat. Ada sebuah hiasan bulu perak di sisi kanannya. Pemuda tersebut kemudian mengangkat kedua belah tangannya, menyambut para penggemar setianya yang masih sibuk berteriak-teriak mengelukan namanya. Banyak dari mereka saling dorong hendak naik ke atas panggung hanya untuk sekedar memeluk atau mencium pipinya. Beberapa dari mereka sangat manis seperti halnya para model-model di majalah fashion. I'm so damn lucky~ Pemuda itu kemudian membungkukkan badannya --memberi hormat pada para hadirin. Melakukan manuver-manuver yang sebenarnya sangatlah konyol tapi terlihat mengagumkan HANYA di mata para penggemarnya yang tak kalah konyol.

Hahaha --kagum padaku bukan? Dasar bodoh, takkan ada pesulap sehebat aku. Takkan ada komedian selucu diriku. Aku kan penyihir. Tak bisa dibandingkan dengan pesulap dan komedian biasa! Ciee...

Tiba-tiba sesuatu mendorong pemuda itu dari panggung. Seorang fans, mungkin.



Pemuda konyol itu terjungkal dari ranjangnya.

Ara? Ranjang?

Bocah itu menggosok-gosok dahinya yang baru saja mencium lantai. Mimpi rupanya. Sial. Bisa-bisanya ia bermimpi tentang masa depannya di malam pertamanya menginap di Fujisaki Inn. Tsk-- Dahinya sedikit berdenyut-denyut.

"Dasar lantai. Kau begitu cinta padaku sampai mengecup kening kerenku ini, ya?" ujar bocah itu pada sang lantai --kemudian mengecupnya. Konyol.

Kebanyakan orang sulit untuk kembali tidur setelah terbangun dengan cara yang tidak biasa seperti yang dialami Naoto barusan. Begitu pula dengan bocah itu. Ia memeriksa dahinya yang kini berbercak kemerahan --berbentuk seperti bibir --serius. Nyengir melihat bayangannya di cermin, terlihat seperti Casanova. Kalau sudah begini, bukan waktunya berdiam di kamar. Bocah itu segera merapikan kaos oblongnya yang bergambar tokoh kartun atom boy dan mengenakan celana corduroy pendek warna coklat. Sip. Kakkoi nee~ Setengah berlari, bocah itu menuruni tangga menuju bar Fujisaki Inn.

Ramai.

Enak juga ya pemilik penginapan ini. Bar dan penginapannya selalu ramai sejak tadi pagi sampai semalam ini. Pasti omset bulanannya lumayan, nih. Boleh dong bagi-bagi sedikit? *ditampar

Permata browniesnya mencari-cari ke sekeliling ruangan. Mencari apa? Tempat duduk pastinya. Memang mau cari siapa? Belum ada seorangpun yang ia kenal dekat di tempat ini. Baka.

Ah! Browniesnya menemukan tempat yang tepat. Ada kursi kosong di meja yang telah ditempati oleh 3 orang. 1 diantaranya adalah anak perempuan yang cantik dengan rambut coklat menawan. 2 orang lagi laki-laki. Tak perlu penjelasan, untuk apa sesama laki-laki saling memandang? Memangnya homo?

Kedua tangan masuk dalam kantong celana, mulut menggigiti tusuk gigi, Naoto melenggang menuju meja tersebut. Benar-benar melenggang lho. Jalannya agak berirama gitu.

"Yo~ Boleh gabung, manis?" ucapnya pada si nona manis --menyisir rambut dengan tangannya, mau pamer bekas "bibir" lantai kamar ceritanya --lalu melirik sekilas pada dua anak lelaki lainnya --mengedip.

*****

"E-etto...douzo...tidak ada yang menempati kok." ujar nona manis tersebut terbata-bata.

"Arigatou, bijin-san," balas Naoto cepat dan langsung saja menghempaskan diri di kursi yang paling dekat dengannya, tepat di hadapan si nona meja. Browniesnya memandangi wajah gadis di hadapannya. Manis, kulitnya putih, rambutnya cenderung hitam dan matanya hitam sekelam malam. Terkesan misterius. Sayang sekali usahanya memamerkan 'bekas ciuman' sang lantai yang berbentuk bibir menjadi sia-sia karena si gadis muda itu tidak menyadarinya.

"Jangan gugup, aku nggak makan orang, kok," ujar Naoto, mencoba bercanda agar kegugupan gadis itu berkurang lalu menyodorkan tangannya, "Naoto, Matsushima Naoto. Salam kenal."

Tiba-tiba, sesuatu terasa membentur pelan kakinya. Spontan Naoto menggerakan kepala dan menatap ke arah kakinya.

E? Botol jus? Darimana datangnya kau botol? Masih terisi penuh pula. Lucky!

Naoto buru-buru mengambil botol itu hendak membuka dan meminumnya.

"M-maaf, permisi..."

E? Siapa?

Naoto mengarahkan browniesnya ke arah datangnya suara. Ha! Seorang anak perempuan lagi. Cool! Seumur hidup, Naoto belum pernah sekalipun dihampiri kaum eva! Padahal meski kurus, wajah Naoto terbilang tampan -sayang selera berpakaiannya nol besar. Well, jika nona mau duduk pasti dia terima dengan senang. Kalau tak ada kursi, dipangku saja. Tapi, mata anak itu bukan memandang ke arah si bocah konyol, melainkan pada botol jus yang dia pegang. Botol jus rupanya lebih menarik ketimbang Naoto. Kuso--

"Botol...Emm...Maksudnya...Itu..."

Botol heh? Ada apa dengan botol?

"Ya, nona? Ada apa dengan botol ini? Kamu juga mau? Kita berbagi saja, aku bukan orang yang pelit. Apalagi sama nona manis seperti kamu," ujar Naoto pada nona-pecinta-botol tersebut -memberi senyum menggoda dan tak lupa kedipan mata sekilas.

*****

Pertama kali Naoto ditatap oleh makhluk bernama perempuan adalah pada hari dia jatuh cinta pada Nagisa. Lupakan soal ditatap saat lahir oleh okaasan. Itu tak masuk hitungan, lho. Back to topic. Ya, Nagisa. Cinta pertamanya sekaligus patah hati pertamanya. Sebenarnya, bocah konyol ini masih belum bisa menerima keputusan sepihak dari gadis itu. Persetan dengan kekasih barunya. Apa sih yang kurang dari Naoto? Bukankah selama mereka berpacaran, Naoto tak pernah menuntut apa-apa? Malah lebih sering membuat gadis itu tertawa. Apa Nagisa lebih suka dengan laki-laki yang suka membuatnya menangis? Cih, perempuan memang sulit dimengerti.

Demikian pula dengan gadis yang berdiri di depannya saat ini. Bicara terbata-bata, putus-putus tak jelas seolah-olah sedang bicara dengan monster. Begitu juga dengan gadis yang satunya lagi. Apa perempuan jaman sekarang semua seperti itu? Blah –bodoh namanya.

"Emm...Itu...Punya saya... Tapi ya sudahlah..."

E? Jadi jus ini miliknya? Ara– Ngomong daritadi dong, Nona.

“Oh ini milikmu? Kenapa nggak langsung bilang saja. Nih, kukembalikan. Maaf, ya. Untung belum sempat kubuka,” ujar bocah itu tergelak seraya menyodorkan botol jus yang dimaksud pada nona-terbata-bata yang kini duduk di sampingnya –setelah diberikan tempat duduk oleh nona-gugup bernama Ryuna Sagara, “Lalu, siapa namamu, cantik?”

Naoto menyandarkan tubuh kurusnya ke sandaran kursi yang keras –meluruskan kakinya supaya lebih santai dan nyaman. Hmm, enaknya ngapain sekarang?

"Halo, aku Tetsuyama Ikuya, panggil saja Tetsu, sedang apa kalian di sini? Boleh ikut bergabung, eh?"

Naoto mendelik ke arah suara berat tersebut. Heran, bukankah sejak tadi bocah bernama Tetsu itu sudah bergabung disini? Bahkan lebih dulu darinya. Lantas kenapa sekarang minta bergabung lagi? Hen na– Sepertinya di Fujisaki penuh orang-orang yang aneh. Err –mungkin dirinya sendiri juga sama anehnya? Tak peduli.

"Duduk saja, Tetsu. Naoto Matsushima tidak menggigit, kok," ujarnya santai.

Welcome to Fujisaki Inn

Gila! Well, cuma itu satu kata yang cukup mewakili perasaan Naoto saat ini. Masalahnya, dia sampai kehilangan kata-kata karena begitu gembira. This is crazy, man!! Seorang anak lelaki konyol macam Naoto diundang masuk di sekolah penyihir. Bisa-bisa dunia ini runyam nanti. Sekarang saja, di otaknya sudah muncul bermacam-macam ide usil untuk mengerjai teman-temannya dan mungkin kedua adiknya saat dia sudah menguasai sihir nanti. Mulai dari melenyapkan barang dan memunculkannya kembali, mengubah benda menjadi serangga yang banyak dibenci seperti kecoa --tentunya target yang dituju adalah kaum hawa dong, sampai pura-pura jadi super hero. Barangkali dengan sihir, dia bisa berubah wujud seperti ksatria baja hitam. Henshin! Gila, keren banget kan!

Karena itulah, suasana hatinya dengan cepat terisi dengan euforia --bahagia, lah. Lupakan yang sedih-sedih, lupakan Nagisa. Kalau dia menguasai sihir, dengan mudah dia pasti bisa menggaet gadis yang jauh lebih seksi dan cantik daripada nona-tukang-selingkuh itu. Lihat saja nanti, Naoto bakal jadi pesulap sekaligus komedian ulung. Catat, ya. KOMEDIAN. Bukan badut! Naoto benci jika dijuluki badut. Okay, kembali berandai-andai. Humor Naoto yang agak basi bisa menjadi lebih berisi dengan pertunjukan sihir --pasti dong. Pikirannya membawa dia dalam khayalan tingkat tinggi yang semakin jauh. Dia membayangkan dirinya akan jadi terkenal karena kekuatan sihirnya dan membuatnya menjadi milyuner dalam sekejap! Dia akan belikan orang tuanya rumah baru, mobil baru, motor baru untuk kedua adiknya --masing-masing satu tentu dan apartemen untuk dirinya sendiri. Mantap!

Tiba-tiba sebuah jitakan keras di pelipis kanannya membuyarkan segala mimpi dan angannya. Naoto mendelik --kesal karena diganggu dalam saat-saat krusial yang menggetarkan jiwanya. Lebay.

"Mau bengong sampai kapan, Nao? Kereta sudah hampir berangkat ke Akita!!"

Rupanya sang ibu tercinta lah yang telah menjitaknya dan langsung memberi umpatan keras. Apa katanya tadi? Kereta hampir berangkat? Wooo, benar juga. Saat ini dia sedang di stasiun kereta Tokyo hendak berangkat menuju Akita!!

"Oh.. Arigatou Haha. Jaa," ujar Naoto seraya mengecup kedua belah pipi sang ibu dengan cepat, kemudian berlari masuk ke dalam kereta. Nyaris saja tertinggal. Begitu anak itu masuk, pintu kereta langsung menutup.

Perjalanan ke Akita memakan waktu cukup lama. Tidak tahu tepatnya berapa lama karena selama di perjalanan, Naoto tertidur pulas. Aliran air bening sampai mengalir dengan manis dari sudut bibirnya yang terbuka. Jelas menarik perhatian orang-orang yang duduk di dekatnya. Cakep-cakep ngiler, sih. Tak sadar dia bahwa beberapa anak perempuan tertawa cekikikan saat melihat pemandangan tersebut, tak sedikit pula yang merekam momen tersebut dalam kamera mereka. Dasar bodoh.

Okay, sekarang Naoto sudah ada di depan pintu Fujisaki Inn. Penginapan dan bar penyihir, eh? Entah seperti apa isi dalamnya. Apakah makanan dan minuman melayang sendiri menuju meja pembeli? Apakah banyak orang-orang dengan topi runcing penyihir dan berhidung bengkok penuh bisul? Penasaran.

Brakkk

Dengan cepat dan cukup keras, Naoto membuka pintu penginapan tersebut dan langsung kepalanya membentur bel yang tergantung di sana. Ouch~

Manik coklatnya melahap seisi bar itu. Mencari-cari keanehan yang bisa dikaitkan dengan sihir.

Hmm..

Tak ada..

Mengecewakan. Bar itu bar biasa.

Ya sudahlah. Dengan cuek Naoto melangkah menuju konter untuk memesan kamar dan tentunya makanan. Perutnya sudah keroncongan setelah perjalanan yang begitu panjang. Bayangkan saja jika di dalam perutmu ada seekor naga yang perlu diberi makan. Jika kelaparan, maka naga itu akan mengamuk dan membakar seluruh isi lambungmu! Yah, tidak separah itu sih. Pokoknya, Naoto anti lapar!

"Konnichiwa, pesan 1 kamar dan makanan yang paling lezat di sini dong. Lapar, nih," ujar Naoto seraya melipat kedua tangannya dan meletakkannya di konter bar --nyengir pada si pegawai magang.

*****

Maniknya yang sewarna brownies masih asyik mengamati seluruh penjuru ruangan. Mengamati lampion-lampion yang bergelantungan di langit-langit. Lucu juga, menggunakan lampion sebagai media penerangan. Sepertinya pemilik toko ini menyukai suasana remang-remang romantis. Kemudian bocah itu mengamati berbagai tipe manusia yang wara-wiri di sekelilingnya. Menarik juga, pikirnya. Banyak sekali bocah-bocah yang modis. Sedikit membuatnya minder karena pakaian favoritnya hanya celana pendek dan kaos oblong tua. Adem kalau dipakai. Mungkin setelah memesan makanan nanti, dia akan menyapa satu-dua orang untuk dijadikan teman di awal kehidupan barunya sebagai err-- calon penyihir.

"Hm, kamar nomor 117, kalau makanan, kusarankan ramen. Mau? Harganya 250 yen, sedangkan kamar, dibayar kalau sudah selesai dipakai." ujar salah seorang pegawai magang.

Ramen, eh? Salah satu masakan yang sangat dikuasai oleh Naoto. Ramen dengan kuah miso ditambah sedikit cabai bubuk --hmm, tak ada yang bisa membandingi kenikmatannya. Liur Naoto membayang di sudut bibirnya, perutnya semakin keroncongan. Mungkin lama-lama bisa membuat Naoto sedikit bergoyang, musik keroncong-an gitu, lho! Becanda.

"Boleh. Saya pesan ramen. Doumo," ujar Naoto sambil menyodorkan uang 250 yen pada si pegawai magang.

Bocah itu membalikan badan, menatap meja-meja yang ada di bar itu. Ramai juga, sepertinya akan cukup sulit mendapatkan meja kosong untuk makan sendirian. Itu artinya dia harus bergabung dengan seseorang. And, that's what Naoto wants!

Matanya memandang ke sebuah meja yang terletak di tengah ruangan, ada seorang bocah yang sebaya dengannya sedang duduk disana. Entah sedang apa. Mungkin bocah itu juga sama seperti dirinya, calon tukang sihir --takkan sehebat Naoto pastinya. Dengan ringan, Naoto melangkahkan kaki panjangnya kesana, menarik kursi dan menghempaskan pantatnya dengan nyaman disana.

"Halo," sapa Naoto pada bocah tersebut --melemparkan senyuman tipis yang mampu membuat gadis-gadis jatuh pingsan dan sebuah kedipan mata.

First Letter (2000)

“Nao, kita putus saja ya.”
“Apa? Apa alasanmu?”
“Aku menyukai orang lain.”
“…”



Sial! Ingatan itu terus membayangi benaknya. Membuatnya tak bisa tidur hampir setiap malam. Padahal kejadian itu sudah lewat sekitar 3 bulan. Nagisa, gadis yang sudah bersamanya hampir selama 2 tahun itu tiba-tiba memutuskannya secara sepihak. Dengan alasan yang sangat tidak bisa diterima olehnya. Gadis itu juga telah membuatnya jatuh sakit sehingga harus terbaring selama 3 minggu di rumah sakit. Tidak secara langsung, sih. Tapi karena perlakuan gadis itu, Naoto jadi sangat terluka. Dengan geram, Naoto mengacak-acak rambut dengan kedua tangannya –hendak membanting sesuatu sebenarnya—namun dia tak berani mengambil resiko membuat ibunya marah dan akhirnya melapor pada ayah. Bisa-bisa dia didetensi tak boleh keluar rumah selama seminggu. Bisa gila.

Bosan! Naoto berdiri dari duduknya –melangkah ke pintu rumah. Hendak berkeliling ke Shibuya dengan motornya. Siapa tahu ada gadis cantik lain yang mungkin mampu memikat hatinya disana. Bukankah gadis-gadis di Shibuya cantik-cantik?
Motornya adalah model terbaru tahun ini. Sudah puas dia memamerkannya pada semua kenalannya. Jelas mereka iri dengan motornya itu. Sebentar Naoto memeriksa kondisi motornya –kemudian memanaskan mesinnya. Supaya tidak mogok di jalan lah.

“Mau kemana, Nao?”

Cih! Haha sejak kapan berdiri di pintu rumah? Bukankah tadi beliau sedang memasak?

Dengan segan, Naoto turun lagi dari motornya. Menghampiri ibunya yang memandanginya dengan tatapan galak. Memberikan pelukan hangat –cara yang sangat efektif untuk meluluhkan hati sang ibu. Trik yang belakangan ini ikut ditiru oleh adik-adiknya, Hayabusha dan Inochi. Seharusnya mereka membayar ongkos menjiplak pada Naoto, tuh.

“Aku mau ke Shibuya. Hanya berkeliling sebentar. Haha mau titip sesuatu?” tanya Naoto –menyunggingkan senyuman yang mampu meluluhkan hati wanita, tak peduli berapa usianya. Terkecuali ibunya, tentu.

“Tak perlu. Kamu masih kepikiran soal Nagisa, Nao?” tanya ibunya prihatin. Dia tahu benar betapa putranya begitu menyayangi gadis itu. Sungguh kesal hatinya saat mengetahui bahwa hati gadis itu kini beralih pada laki-laki lain. Dengan penuh sayang, perempuan tua itu mengelus rambut putra tertuanya.

Naoto terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Toh, ibunya sudah tahu jawabannya. Anak itu hanya melemparkan seulas senyum penuh luka dan berbalik kembali ke motornya.

PPONG!

Sebuah suara keras tiba-tiba terdengar di area rumahnya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Nagisa ada di hadapannya –membawa buntalan hijau sambil nyengir lebar.

“Nagisa?”

"Konnichiwa, tuan-tuan dan nyonya serta calon murid yang terhormat!"

Ee!? Tuan-tuan? Nyonya? Calon murid?

Naoto terpaku menatap Nagisa yang ada di hadapannya –mulutnya megap-megap. Reaksi ibunya pun kurang lebih sama hingga akhirnya beliau menyadari bahwa Nagisa yang ini mempunyai ekor luak yang menjuntai di bokongnya.

“Tanuki?” ujar perempuan tua itu.

“Tanuki? Ini Nagisa, Haha. Bukan Tanuki,” balas Naoto dengan nada suara yang penuh keraguan.

“Lihat ekornya!”

“Ee!? Nagisa, sejak kapan kau punya ekor?” tanya Naoto –masih belum menyadari bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah mantannya.

"Seperti yang sudah bisa Anda duga sebelumnya dan seperti apa yang tertera pada surat tugas saya bahwa dengan ini saya hendak memberitahu bahwa anak Anda mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dan menjadi bagian dari akademi sihir kami; Ryokushoku o Obita,” Nagisa berekor itu melanjutkan.

“Yang benar saja. Nagisa, jangan bercanda!”

Nagisa berekor itu malah tersenyum dan menjejalkan buntalan hijau yang dibawanya pada Naoto. Naoto hanya bisa menelan ludah. Oke—ini sudah jelas bukan Nagisa. Tapi siapa?

“Di dalam buntalan hijau ini terdapat bundelan kertas berisi ketentuan-ketentuan beserta keterangan lainnya mengenai akademi kami, silakan dibaca baik-baik. Harap form yang yang terlampir dikembalikan ke pihak sekolah ketika ketibaan di akademi kami. Dan yaa...siswa-siswi harus berada di stasiun Hakamadote atau stasiun Akita—di ruang bawah tanah lobby selatan—dimana perlu kata kunci khusus untuk mengaksesnya. Bagi siswa-siswi asing, tentunya diharapkan sudah berada di Jepang minimal sehari sebelum keberangkatan. Tentu saja kami akan mengirimkan utusan dari pihak akademi guna membimbing dan membantu anak anda agar tidak kesulitan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan sekolahnya," Nagisa berekor terus meracau. Tak peduli pada 2 manusia yang terbelalak di hadapannya.

"akhir kata, izinkan saya undur diri dari hadapan Anda sekalian. Adiosu, Mata nee!"

Tiba-tiba, Nagisa berekor itu lenyap –meninggalkan serpihan-serpihan daun yang entah berasal darimana.

Naoto menoleh ke arah ibunya.

“Haha mengerti maksud ini semua?” tanya anak itu seraya memeluk ibunya.

Ibunya hanya menggelengkan kepala. Wajahnya sedikit pucat.

“Mungkin Chichi-mu tahu soal ini. Kita tunggu saja ia pulang,” ujar ibunya pelan.

Biodata

Ryokushoku o Obita
Japanese Academy of Magic




[Nama Lengkap]: Naoto Matsushima

[Nama Panggilan]: Nao, Toto, Natto

[Tempat dan Tanggal Lahir]: Shizuoka, 13 Januari 1985

[Kewarganegaraan]: Jepang

[Asrama]: -

[Mahou no Tsue (Tongkat Sihir)]: Elder 30cm dengan inti nadi Kappa Kribo

[Peliharaan]: Tidak suka binatang

[Alat Transportasi yang Dibawa di Ryokubita]: -

[Barang Elektronik yang Dibawa di Ryokubita]: Walkman, Jam saku hadiah dari mantannya

[Kegiatan yang Diikuti]: Music, Cooking


Latar Belakang Keluarga

[Nama Ayah]: Hirosaki Matsushima

[Nama Ibu]: Nozomi Minagawa

[Nama Saudara]: adik kembar yang 2 tahun lebih muda; Kazuhiro Matsushima (13), Kouhaku Matsushima (13)

[Latar Belakang Keluarga]: Keluarga biasa saja. Ayah bekerja sebagai pegawai bank setempat, Ibu seorang ibu rumah tangga. Mereka berdua pindah ke Tokyo setahun setelah kelahiran Naoto. Dalam perjalanan menuju Tokyo, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Ketiganya selamat, meski jantung Naoto terluka dalam kecelakaan tersebut sehingga membuat jantungnya lemah hingga sekarang.


Data Personal

[Tinggi / Berat]: 180cm / 65kg

[Golongan Darah]: O

[Warna Mata]: coklat tua

[Warna Rambut]: coklat tua

[Warna Kulit]: putih

[Ciri khusus]: terdapat bekas luka memanjang di dadanya

[Personaliti Karakter]: Lemah jantung sehingga mudah sakit, iseng, suka melucu untuk menghibur teman yang sedih, apa adanya, tertutup jika sudah menyangkut masalah pribadinya, cenderung suka menyendiri jika sedang sedih. Naoto tidak tahan melihat perempuan menangis dan tidak suka bila melihat kedua adiknya dijahati orang. Jangan sekali-kali membuat Naoto marah atau tinjunya akan melayang ke wajahmu. Naoto sangat menghargai kaum hawa, menganggap bahwa memuji mereka cantik atau manis akan membuat mereka senang—karena okaasan senang dipuji seperti itu olehnya.

[Bakat dan Kekurangan]: Jago main gitar dan memasak masakan Jepang. Ingatannya sangat kuat. Sering lupa dengan kondisi tubuh sendiri. Kurang sensitif pada perasaan orang lain. Tak bisa baca buku teks —langsung tertidur pulas.


TRIVIA

Naoto tidak suka penyakit jantungnya diketahui orang banyak.